Siapakah
dia?
Perempuan
cantik ini dikenal sebagai
penyair, novelis, dan juga cerpenis yang hingga saat ini tinggal di kota budaya (Yogyakarta). Abidah
dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, tepat pada 1 Maret tahun
Masehi. Setamat dari
Madrasah Ibtidaiyah, dia melanjutkan sekolah ke
Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil,
Pasuruan. Nah, di Pesantren itulah,
dia mulai belajar menulis puisi dan cerpen dengan menggunakan nama samaran Idasmara
Prameswari, Ida Arek Ronopati, atau Ida Bani Kadir.
Dirinya
memperoleh ijazah persamaan dari
Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten dan menyelesaikan pendidikan
di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN).
Bakatnya menulis dibuktikan dengan menjadi juara Lomba Penulisan Puisi Remaja se-Jawa Tengah (1984). Aktif dalam Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1987—1988), Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) Yogyakarta (1988—1989), dan menjadi peserta dalam pertemuan APWLD (Asia Pasific Forum on Women, Law And Development) 1988.
Bakatnya menulis dibuktikan dengan menjadi juara Lomba Penulisan Puisi Remaja se-Jawa Tengah (1984). Aktif dalam Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1987—1988), Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) Yogyakarta (1988—1989), dan menjadi peserta dalam pertemuan APWLD (Asia Pasific Forum on Women, Law And Development) 1988.
Karya-karya Abidah
dipublikasikan di berbagai media massa lokal maupun nasional, diantaranya, The Jakarta Post, Jurnal Ulumul Quran, Majalah Horison, Koran Republika,
Media lndonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan
Rakyat, Jawa Pos, dan lain-lain,
serta dikumpulkan dalam
berbagai buku antologi (bersama), seperti: Kitab Sastra Indonesia, Angkatan
Sastra 2000, Wanita Pengarang Indonesia, ASEANO: An
Antologi of Poems Shousthenst Asia, Album Cyber Indonesia (Australia), Selendang
Pelangi (antologi perempuan penyair
Indonesia), Para Pembisik, Dokumen Jibril
(antologi cerpen), Nyanyian Cinta
(antologi cerpen santri pilihan), Mikraj Odyssey (antologi cerpen), dan lain-lain.
Buku-bukunya yang sudah terbit, diantaranya, berupa cerpen: Menari di Atas Gunting (1991), Jalan Ke Sorga (2007), dan The Heavens Gulf (2008); berupa novel: Ibuku Laut Berkobar (1987), Atas Singgasana (2002), Genijora (2004), Mahabbah Rindu (2007), Nirzona (2008), Perempuan Berkalung Sorban, Akulah Istri Teroris, Menembus Impian, Kartini, Bait-Bait Multazam, Nyanyian Seribu Bulan, Mimpi Anak Pulau, Santri Cengkir, dan yang terbaru adalah Yusuf Zulaikha (2018).
Buku-bukunya yang sudah terbit, diantaranya, berupa cerpen: Menari di Atas Gunting (1991), Jalan Ke Sorga (2007), dan The Heavens Gulf (2008); berupa novel: Ibuku Laut Berkobar (1987), Atas Singgasana (2002), Genijora (2004), Mahabbah Rindu (2007), Nirzona (2008), Perempuan Berkalung Sorban, Akulah Istri Teroris, Menembus Impian, Kartini, Bait-Bait Multazam, Nyanyian Seribu Bulan, Mimpi Anak Pulau, Santri Cengkir, dan yang terbaru adalah Yusuf Zulaikha (2018).
Beberapa cerpennya
di harian Bernas berjudul Shappire Pengembara (10 Mei 1998),
dan Andainya Aku (6 Desember 1998);
harian Suara Merdeka: Putri Sang
Pemimpi (23 Januari 2011), Penjagal
Kota Tua (18 September 2006); di Jawa Pos: Kamar Dua Belas (1 April 2012), dan Menunggu Kapak Ibrahim (29 Januari 2012).
Selain itu, puisi
dan cerpennya terpublikasikan dalam antologi: Sembilu, Pagelaran, Embun Tajjali, Ambang dan Perempuan
Bermulut Api (2009), Sosok sosok Inspiratif: Antologi Bioyrafi dan Karya
Cerpenis Yogyakarta
Di samping memiliki kemampuan menulis, Abidah dikenal sebagai pembaca puisi. Ia membacakan karya-karyanya di
Taman Ismail Marzuki (1994 dan 2000), di sekretariat ASHAN (1998), di Konferensi Perempuan Islam Se Asia-Pasifik dan
Timur Tengah (1999), dan dalam acara Internasional
Literary Biennale (2007).
Dirinya
juga mewakili Indonesia dalam ASEAN Writers Conferenc/ Workshop
Poetry di
Manila, Philipina (1995), menjadi pendamping dalam Bengkel Kerja Penulisan Kreatif MASTERA (Majlis Sastra Asia Tenggara, 1997), mengikuti Program SBSB (Sastrawan
Bicara Siswa Bertanya) di berbagai SMU di kota besar
Indonesia (2000—2005) yang diprakarsai oleh Taufik Ismail,
menjadi pemakalah dalam Pertemuan Sastrawan
Melayu-Nusantara (2005), dan mengikuti
dialog tentang Sastra, Agama dan Perempuan bersama Camillia Gibs di Kedutaan
Kanada (2007).
Penghargaan yang
pernah diperolehnya, di antaranya Penghargaan Seni dari Pemerintah
DIY (1998), pemenang Lomba Penulisan Novel (Dewan Kesenian Jakarta, 2003), dan
dinobatkan sebagai salah satu tokoh muda "Anak Zaman Menerobos Batas" versi Majalah Syir'ah
(2004).
Kamar Dua Belas
Abidah El Khalieay
KAMAR hotel jadi
sunyi. Tiba-tiba saja, Komar dan Syamsu, dua
penghuni kamar mewah nomor dua belas itu saling berpikir tentang kematian. Tentu banyak versi, banyak cara
pandang yang bisa
diulang untuk melihat kematian seseorang. Seperti keduanya, meski titik awal
dan akhir telah ditemukan, masih juga berdebat untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Sampai keduanya membisu, berdiam diri di antara kemewahan
lampu merkuri.
Beberapa saat
kemudian, Komar tak tahan dengan kebisuan dan
memulai percakapan dengan nada bijaksana. Ringan
saja kata-katanya, seolah sedang memberi
nasihat pada murid-muridnya di
sekolahan.
"Bagiku tak
sulit mengenali kematiannya. Manusia bisa dilihat diakhir hayatnya. Karena sebaik-baiknya kematian
adalah khusnul khatimah. Dan kematiannya menunjukkan hal itu. Ia dipanggil Tuhan saat sedang sujud di atas sajadah. Saat ia
pasrah dan ikhlas jiwa raga melakukan
kehendak-Nya. Keindahan apalagi selain dipeluk
Kekasih saat kita ingin memeluk-Nya."
"Tapi...
bagaimana kalau ternyata dia itu seorang koruptor kelas kakap?" jawab Syamsu singkat.
"Koruptor atau
bukan, kita ndak tahu. Karena ia tidak termasuk dalam DPO, tidak terdaftar
sebagai DOT, belum pernah disidik
oleh KPK, dan tidak bermewah-mewah dalam hidupnya
Orang tua yang
meninggal itu bukan juga pensiunan pejabat negara, apalagi pernah menjadi ketua
partai politik. Yang jelas orang kampung
itu tahu bahwa ia telah mewakafkan sebagian dari tanahnya untuk membangun sekolah meski hanya untuk
sekolah taman kanak-kanak.”
"Kalau
ternyata pernah merampok, bagaimana?”
“Aku tak yakin ada manusia mau jadi perampok
kecuali karena kebodohan. Kebodohan bisa dimaafkan
jika ia taubat nasuha. Namun jika
seseorang secara sadar dengan pengetahuan
yang dimiliki dan
tetap menjadi perampok, Tuhan pasti murka dan
tak ada maaf bagi pelakunya!"
"Menurutmu,
mungkinkah seorang perampok itu khusnul khatimah. Impossible!
"Semoga ia khusnul khatimah."
"Kau doa
baginya?'"
Syamsu kian bertanya-tanya. Komar mendelong
meneliti wajah teman sekamarnya itu kalau-kalau bakal
ditemukan
keganjilan. Ada dorongan kuat
untuk bertanya, namun gagal
untuk diucapkan.
Yang muncul justru sebaliknya, hanya bisa berdoa
dalam hati semoga hal serupa tidak terjadi pada dirinya
“Seperti banyak orang di kampungnya, apa salah
jika aku ikut mendoakan?"
“Tidak juga. Tidak ada salahnya.”
"Jadi?"
tanya Komar memburu.
"Kecintaan
orang-orang dan doa mereka baginya bikin aku cemburu," jawab Syamsu.
“Makanya jangan hanya bikin puisi. Sesekali
bikin masjid atau sekolahan atau rumah
yatim piatu, biar punya amal banyak."
"Ya ndak harus begitu. Nanti dikira malah menipu malaikat, karena seringnya berbuat jahat lalu mengundang seribu
anak yatim piatu, diberi makan dan amplop di depan
wartawan infotainment ...."
“Apa salahnya jika memang itu yang hanya bisa
dilakukan.
Ya... seperti tokoh-tokoh kita di
negeri ini mengira gampang mencari
khusnul khatimah. Mengira gampang mencari pintu
surga, haha
...!"
Syamsu
tersipu-sipu. Mana bisa penyair membangun masjid memberi makan dan amplop seribu anak yatim piatu,
bisiknya dalam hati. Sementara Komar berusaha
memahaminya dengan lapang dada. Sebagai
guru, Komar sudah biasa memahami arti senyuman.
Dan merasa bahagia bisa bertemu seorang penyair dalam sebuah acara dan sekamar dalam hotel berbintang
lima.
"Tapi apa
daya Pak Guru. Makan saja sulit, gimana bangun masjid?" Syamsu menambah kata dengan rasa hampa.
"Mudah aja,
Bung Penyair. Kalau tak kuat bangun seluruhnya, kan bisa bangun fondasinya atau
pintu-pintunya atau genting-gentingnya. Bahkan sebiji di antara genting-genting
itu,"
Komar menjawab
tanpa tujuan untuk menyindir atau mengguruinya.
“Sedekah maksudmu?"
"Sedekah juga
bisa, tapi itu tidak istimewa. Kalau amal jariyah itu baru super istimewa."
"Haha. kayak martabak saja!"
"Sekarang ini
banyak orang suka beramal, tapi tanpa jariyah....
Bukan amal jariyah maksudku, atau amal-amal lain yang termasuk amal fi
sabilillah.”
“Apa jika begitu, kematianku bakal memperoleh
banyak doa?"
“Mungkin. Lebih dari semuanya, amal-amalmu
itulah yang bakal menggerakkan lidah banyak orang untuk mendoa bagimu.”
"Kini aku
merasa begitu kecil. Swear!"
"Dibanding?"
"Ya,
dibanding orang tua yang dipanggil Tuhan ketika sedang berada di atas sajadah itu, orang tua yang
sedang kita
bicarakan itu. Mungkin tak tamat
SMA, tak pintar bikin puisi, tak pernah tidur
di hotel seperti kita. Mungkin juga tak pernah naik pesawat namun masih sempat beramal jariyah dan
menggerakkan lidah banvak orang untuk mendoakannya
saat ia telah di alam barzakh.”
"Bukan hanya
itu. Ia bakal dikenang banyak orang meski bukan
penyair sepertimu. Bahkan penyair-penyair menuliskan kisahnya dan memperoleh inspirasi dari pola hidupnya
yang unik di zaman
ultra kibul ini."
"Yeah, makin
kecil saja diri ini rupanya....”
"Tak usahlah
berkecil-kecil diri begitu, segera bangun masjid biar agak pede!”
"Nasihat
bagus. Nantilah sepulang acara kita ini, separoh honorku bakal jadi
karpet-karpet cantik di masjid."
"Gitu dong,
dan karpet-karpet itu bakal jadi puisi terindah mu saat di alam barzakh nanti, InsyaAllah!'"
“Begitukah? Tolong tulis cita-cita indahku ini,
kalau-kalau tak sampai umurku seribu tahun lagi, hik hik hik...."
"Ye, mengapa
tak kau tulis saja sendiri. Kau ini penyair be- neran atau gadungan?"
"Gadungan
atau bukan, rasa-rasanya nyawaku dah di teng- gorokan, dan keringatku dah bau
tanah, hahaha...."
"Welah, gagal
dong dapat honor buat bikin karpet-karpet indah."
“Ow! By
the way, kapan honor kita terima ya? Masaknunggu keringat mengering?"
"Tuh! Ada
yang ketuk pintu. Siapa tahu panitia yang datang."
Benar ternyata.
Dugaan itu tak meleset. Dua panitia datang membawa stopmap dan amplop-amplop tebal. Penyair dan
guru itu senyum dikulum menyambut kedatangannya. Tak
peduli teve
sedang Breaking News tentang tokoh-tokoh besar yang ditangkap KPK.
Usai tanda tangan dan kedua panitia hengkang, keduanya sibuk menghitung
lembaran merah istimewa dalam amplop cokelat
tua.
"Jangan lupa,
separonya untuk karpen-karpet merah ber gambar kuban masjid," Komar
membisik pada telinga Syamsu.
"Ah, terlalu
banyak kalau separo. Ternyata honor kita besaaar!! Nanti tak muat karpet-karpet
itu dijajar di satu masjid," jawab
Syamsu mulai ragu pada apa yang beberapa saat lalu telah diucapkannya.
"Jadi berapa
persen untuk amal jariyahnya?" tanya Komar sembari terpana menatapnya tak percaya.
Syamsu terhenyak.
Tampak merah padam wajahnya. Namun kecintaannya
pada kata-kata masih tergambar jelas di urat lehernya. Mungkin saja ia sedang
berpikir bahwa puisi juga termasuk amal
jariyah selama masih ada orangyang membacanya. Namun lupa sama sekali jika di zaman ini nyaris tidak ada
orang yang
mau membaca puisi. Sementara
Komar telah membagi dan menetapkan diri dalam hati, entah berapa persen dari
isi amplop
itu yang akan diberikan kepada
tetangga yang membutuhkannya.
"Sori, Pak
Guru, aku mau keluar dulu!" Komar menyela sehabis ganti pakaian dan
menyisir rambut gondrongnya.
"Mau ke mana,
Bung Penyair. Mau cuci mata atau cuci lidah?"
"Lidah
penyair tak perlu dicuci, tak perlu dibersihkan. Lidah penyair itu sudah bersih sejak dari sononya, apalagi
kata-katanva....”
“Kalau begitu mah, nabi namanya. Bukan
penyair!"
"Penyair juga
bisa jadi nabi, walau mungkin hanya sehari, hahaha..!!!
Tenang saja, kita masih punya waktu semalam di kamar mewah ini. Masih bisa berdebat tentang kematian
indah
di atas selembar
saiadah."
Dasar seniman,
baru saja dapat honor sudah muncul kata-kata
besarnya. Tapi Syamsu tak mau menanggapi. Tak mau bincang-bincang soal
begituan. Apalagi teman sekamarnya itu ke buru keluar dengan
langkah kaki seribu kuda. Lenyap tanpa bayangan.
Begitu cepat menghilang seperti kilat di tengah hujan. Syamsu menduga, teman sekamarnya itu keburu pergi ke
toko sepatu, karena katanya ingin segera mengganti
terompah kakinya dengan yang baru. Katanya pula, terompah kaki itu penting bagi seorang penyair yang sering berjalan ke
sana-kemari guna mencari ilham sejati.
Syamsu paham soal
itu, tapi kenapa secepat kilat ia menghilang. Maka ia coba intip sekadarnya.
Dari jendela kamar nomor dua
belas, di lantai dua belas, pada sekitar jam dua belas, Pak Guru itu melihat Sang Penyair sedang berdiri di
samping hotel
Beberapa saat kemudian masuk ke dalam taksi warna biru
yang berhenti di sampingnya. Lalu melesat ke arah
tikungan ibu kota.
Moga saja benar
membeli terompah baru, kata Syamsu dalam hati.
Kalau tak, ya ke scbuah masjid di pinggiran kota. Menyumbang karpet dan sajadah
seperti yang pernah dijanjikan. Tapi jangan-jangan
malah kebalikan, mengira jalan raya sebagai masjid dan toko sepatu, lalu tersesat di antara dua dunia.
Entah di mana. (*)
0 comments:
Post a Comment