Sosok
sastrawan yang satu ini lahir di Kulonprogo, 27
Desember 1973. Telah banyak menghasilkan cerpen, puisi, esei, dan
novel. Karya-karya sastranya,
terutama cerpen, tersebar di berbagai media
massa cetak dan daring.
Media massa cetak yang memuat karya-karyanya, antara
lain SKH Kompas, Majalah Horison, Media Indonesia,Nova, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Bernas, Minggu Pagi,
Annida, Koran Tempo, dan Republika.
Adapun buku-buku
tunggalnya yang sudah terbit, seperti Di Bawah Hujan (2000), Orang-orang Bertopeng (2002), Bidadari Bersayap Belati (Gama
Media, 2002), Perempuan Semua
Orang (Ar-Ruzz, 2004), Kabar dari Langit (Syaamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan Tunggu Aku di
Ulegle (2005).
Selain
itu, karya-karyanya juga terkumpul
dalam antologi bersama Kepak Merpati (1996), Tamansari (1998), Aceh Mendesah dalam Napasku (1999), Embun
Tajali (2000), dan Waktu Nayla (2003).
Berikut sebuah
cerpen karya Teguh Winarsho AS.
Ramadan Ayah
RAMADAN selalu membuat kampung
kami bergairah. Orang-orang seperti berlomba memperbanyak ibadah. Bahkan,
banyak di antara mereka yang sebelumnya tak pernah datang ke masjid, tiba-tiba
di Bulan Ramadan ini rajin ke masjid. Tapi sayang, Ayah, laki-laki tua yang
suka mendengus dan meludah, tetap tidak berubah. Setiap malam Ayah masih suka
begadang di gardu ronda dekat pasar, sibuk memelototi kartu ceki dan sedikit
minum alkohol; mabuk. Pulang jam lima pagi dengan langkah gontai dan
mata merah, berpapasan dengan orang-orang yang baru pulang dari masjid.
Kami, anak-anaknya, sebenarnya malu melihat tingkah laku Ayah. Tapi kami tak berani memperingatkannya. Kecuali kami siap mendapat tamparan di pipi atau tendangan di pantat. Dan begitulah, kami, aku dan kedua adikku, tumbuh sebagai anak-anak yang terkesan pendiam dan patuh pada orang tua. Meski kepatuhan kami terutama pada Ayah karena terpaksa. Tapi, itu tidak masalah. Karena bagi kami, yang terpenting adalah menghindari tamparan dan caci maki Ayah yang sering mengundang perhatian tetangga kanan kiri. Dan itu artinya kami tidak menyakiti perasaan Ibu. Sebab, di antara kami, Ibulah yang paling banyak menanggung malu jika Ayah marah-marah sampai mengeluarkan kata-kata kasar dan jorok.
Ibu adalah kesejukan embun di pagi hari. Tatapan matanya menentramkan hati kami. Menyegarkan kekeringan jiwa kami. Ibu laksana batu karang yang berdiri kokoh di tengah empasan gelombang. Ibu tak pernah marah meski perlakuan Ayah demikian menyakitkan. Ibu tertunduk diam, dan paling-paling hanya menangis sesenggukan ketika Ayah memarahi, membentak-bentak, bahkan menamparnya. Mungkin bagi Ibu, kepatuhan pada suami merupakan nilai ibadah tersendiri. Entahlah.
Sayang, orang yang sangat kami sayangi itu lebih cepat pulang ke pangkuan-Nya. Ramadan tahun lalu, Ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya ketika sesungguhnya kami masih sangat membutuhkan kehadirannya. Dan mungkin itulah awal petaka yang menimpa keluarga kami. Ayah semakin jarang berada di rumah. Selain menghambur-hamburkan uang di meja judi, Ayah juga mulai berani main perempuan. Bahkan, beberapa kali Ayah sempat membawa perempuan menginap di rumah. Kami sangat tersiksa melihat kelakuan Ayah. Tetangga kanan kiri sepertinya juga jijik melihat keluarga kami.
Sedikit demi sedikit perabotan rumah tangga dijual Ayah. Kami tak bisa berbuat apa-apa selain hanya menatap hampa ketika Ayah dan beberapa temannya datang dengan membawa truk lalu mengangkut meja, kursi, almari, dan barang-barang berharga lain. Seorang teman Ayah bilang pada saya, bahwa Ayah kalah judi jutaan rupiah sehingga barang-barang tersebut harus disita.
Dulu saya mengira Ayah akan berubah menjadi baik sepeninggalnya Ibu. Saya masih ingat bagaimana pesan terakhir Ibu pada Ayah, hanya beberapa menit sebelum ajal menjemput. Ketika itu, kami anak-anaknya dan juga Ayah ada di samping Ibu yang terbaring lemah di atas ranjang. Dengan terputus-putus Ibu bilang pada Ayah, agar mau menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Ayah diam tak berkutik. Dan baru kali itu saya lihat Ayah yang biasanya garang dan angker mendadak berubah lembut. Sorot matanya redup seperti menyiratkan kesedihan dan penyesalan.
Kami, anak-anaknya, sebenarnya malu melihat tingkah laku Ayah. Tapi kami tak berani memperingatkannya. Kecuali kami siap mendapat tamparan di pipi atau tendangan di pantat. Dan begitulah, kami, aku dan kedua adikku, tumbuh sebagai anak-anak yang terkesan pendiam dan patuh pada orang tua. Meski kepatuhan kami terutama pada Ayah karena terpaksa. Tapi, itu tidak masalah. Karena bagi kami, yang terpenting adalah menghindari tamparan dan caci maki Ayah yang sering mengundang perhatian tetangga kanan kiri. Dan itu artinya kami tidak menyakiti perasaan Ibu. Sebab, di antara kami, Ibulah yang paling banyak menanggung malu jika Ayah marah-marah sampai mengeluarkan kata-kata kasar dan jorok.
Ibu adalah kesejukan embun di pagi hari. Tatapan matanya menentramkan hati kami. Menyegarkan kekeringan jiwa kami. Ibu laksana batu karang yang berdiri kokoh di tengah empasan gelombang. Ibu tak pernah marah meski perlakuan Ayah demikian menyakitkan. Ibu tertunduk diam, dan paling-paling hanya menangis sesenggukan ketika Ayah memarahi, membentak-bentak, bahkan menamparnya. Mungkin bagi Ibu, kepatuhan pada suami merupakan nilai ibadah tersendiri. Entahlah.
Sayang, orang yang sangat kami sayangi itu lebih cepat pulang ke pangkuan-Nya. Ramadan tahun lalu, Ibu meninggalkan kami untuk selama-lamanya ketika sesungguhnya kami masih sangat membutuhkan kehadirannya. Dan mungkin itulah awal petaka yang menimpa keluarga kami. Ayah semakin jarang berada di rumah. Selain menghambur-hamburkan uang di meja judi, Ayah juga mulai berani main perempuan. Bahkan, beberapa kali Ayah sempat membawa perempuan menginap di rumah. Kami sangat tersiksa melihat kelakuan Ayah. Tetangga kanan kiri sepertinya juga jijik melihat keluarga kami.
Sedikit demi sedikit perabotan rumah tangga dijual Ayah. Kami tak bisa berbuat apa-apa selain hanya menatap hampa ketika Ayah dan beberapa temannya datang dengan membawa truk lalu mengangkut meja, kursi, almari, dan barang-barang berharga lain. Seorang teman Ayah bilang pada saya, bahwa Ayah kalah judi jutaan rupiah sehingga barang-barang tersebut harus disita.
Dulu saya mengira Ayah akan berubah menjadi baik sepeninggalnya Ibu. Saya masih ingat bagaimana pesan terakhir Ibu pada Ayah, hanya beberapa menit sebelum ajal menjemput. Ketika itu, kami anak-anaknya dan juga Ayah ada di samping Ibu yang terbaring lemah di atas ranjang. Dengan terputus-putus Ibu bilang pada Ayah, agar mau menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Ayah diam tak berkutik. Dan baru kali itu saya lihat Ayah yang biasanya garang dan angker mendadak berubah lembut. Sorot matanya redup seperti menyiratkan kesedihan dan penyesalan.
Ternyata kesedihan Ayah tak berlangsung lama. Hanya tiga minggu setelah Lebaran, Ayah mulai pada kebiasaan lamanya. Bahkan semakin bertambah parah.
***
TAK tahan mendengar gunjingan tetangga kanan kiri, saya memberanikan diri mengingatkan Ayah agar mau melaksanakan pesan terakhir Ibu, setidaknya bersikap baik di Bulan Ramadan ini. Tapi Ayah justru tertawa, katanya, "Kamu pikir kalau aku puasa lantas kita akan jadi kaya, heh? Kamu rajin puasa, bahkan puasa Senin-Kamis, tapi apa Tuhan terus ngasih duit sama kamu? Kamu masih tetap miskin. Sudahlah, aku nggak mau ngomong lagi soal itu. Aku mau puasa atau tidak, itu urusanku sendiri. Kamu tidak perlu ikut campur!"
Lain kali pernah juga saya bilang pada Ayah bahwa puasa itu tujuannya bukan untuk mencari rezeki, bukan agar bisa kaya raya, tapi semata-mata untuk mendekatkan diri pada Allah karena dengan begitu akan terhindar dari perbuatan tidak terpuji. Tapi Ayah justru marah-marah. Sambil menggebrak meja, Ayah bilang, "Anak kemarin sore, tahu apa kamu tentang hidup! Hidup itu makan. Dan makan itu perlu duit!"
Sejak itu saya tak pernah bercakap-cakap dengan Ayah. Saya benar-benar muak melihat kelakuannya. Apalagi kalau dia membawa perempuan yang entah dari mana asalnya menginap beberapa hari di rumah. Meski kami masih sering bertatap muka, tapi kami sudah seperti orang asing saja. Dan saya juga tahu ada sorot kebencian di mata Ayah ketika sedang menatap saya. Tapi saya tak acuh, cuek.
Berbeda dengan saya, kepada dua orang adik saya, Ayah bersikap biasa-biasa saja. Apalagi kepada Fiz adik bungsu. Saya sering melihat mereka bertiga asyik ngobrol di teras rumah. Saya tidak tahu dan memang tidak ingin mencari tahu apa yang sedang mereka obrolkan. Karena tiba-tiba saya juga benci pada dua orang adik saya itu. Di mata saya, Fiz dan Burhan yang lugu, polos, dan masih bersih itu, telah berkomplot dengan Ayah. Berkomplot dengan segala kebejatan moral Ayah. Saya benci mereka!
Jadilah saya tak punya orang dekat lagi di rumah.
***
SUATU pagi, saat pulang kerja lembur, saya terkejut mendapati suasana rumah yang lain dari biasanya. Dari pintu depan tiba-tiba Faiz berlari menyongsong saya dan sambil terisak-isak ia bilang bahwa Ayah meninggal dunia. Saya tidak tahu apa yang sesungguhnya ada dalam benak saya, sebab sedikit pun saya tidak terkejut mendengar kabar itu. Saya juga tidak merasa sedih kehilangan Ayah. Biasa-biasa saja seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Saya kemudian masuk ke dalam rumah. Tapi sepi. Tidak seperti layaknya kalau ada kematian. Hanya ada beberapa tetangga dan teman-teman dekat Ayah yang sering mangkal di gardu ronda. Saya maklum, orang-orang tentu banyak yang tidak menyukai Ayah. Karenanya wajar jika ketika meninggal pun mereka enggan datang ke rumah kami.
Jenazah Ayah sudah dimasukkan ke dalam peti. Sedikit pun saya tak ingin melihatnya. "Untuk apa?" jawab saya enteng, sekenanya, yang langsung disambut tatapan aneh beberapa orang di sekitar saya.
Dan entah, tiba-tiba saya merasakan ada seseorang merenggut lengan saya, kuat, ditarik masuk ke dalam kamar.
"Huss! Jangan bikin malu! Ayahmu tertabrak truk ketika sedang menyeberang jalan, mau salat Subuh! Dua hari sebelumnya Ayahmu bilang padaku kalau dirinya sudah tobat!" ucap Haji Biran sampai di dalam kamar.
Salat Subuh? tanya saya dalam hati, kaget, tak percaya. Sementara Haji Biran keluar meninggalkan saya, saya masih terpaku di tempat. Saya bingung, gelisah, sedih, kecewa, dan entah apalagi perasaan yang menyesak dalam benak saya.
Sampai tiba upacara pemberangkatan jenazah, rumah saya masih sepi. Yang hadir hanya itu-itu saja, tidak lebih enam belas orang. Itu pun lebih banyak bekas teman-teman main judi Ayah. Wajah mereka tampak sedih. Entah kesedihan yang bagaimana. Tapi, saya masih sempat mendengar bisik-bisik di antara mereka, "Untuk menghormati Wongso, si mati, tak ada salahnya nanti malam ketika orang-orang tarawih di masjid, kita main kartu di sini!" "Ide bagus!"
Yang lain mengangguk-angguk.
***
Depok, 2006
Depok, 2006
Dari
berbagai sumber
0 comments:
Post a Comment