MUSIK PANTING.
Namanya terdengar seperti bahasa Mandarin, "pan" dan
"ting". Terlebih, cara memainkan alat musik ini dengan cara dipetik.
Maka, terbayanglah alat musik kecapi dari daratan China yang dipetik dan menghasilkan alunan suara merdu khasnya.
Meski demikian,
panting bukanlah kecapi. Musik tradisional ini berasal dari Suku Banjar
yang telah lama sekali mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Bentuknya mirip
gambus Arab yang memakai senar (panting). Akan tetapi, ukurannya lebih kecil
daripada gambus. Pada awalnya, musik panting hanya dimainkan secara perorangan
atau secara solo.
Belakanganan,
barulah musik panting sekarang ini dimainkan dengan disertai alat-alat musik
lainnya seperti babun, gong, dan biola. Itulah sebabnya, pemainnya pun menjadi beberapa orang.
Lalu, bagaimanakah
kehidupan musik ini sejurus dengan pergerakan zaman yang kian modern?
Berikut
adalah hasil wawancara saya dengan salah seorang penggerak musik panting bernama Ahmad
Firhansyah yang tinggal di sebuah desa terpencil
(Bantuil) di Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
Setelah “berbasa-basi” saya
mulai menanyainya dengan
serius seputar pamantingan atau dunia
musik panting, khususnya grup musik panting bernama Ambar Kasturi di Bantuil.
Tahun
berapa dan bagaimana awalnya Ambar Kasturi didirikan di Bantuil?
Tahun 1994. Semula
saya melihat orang-orang (baca: pemain musik
panting) di Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar atau dikenal dengan Pal 7 ramai memainkan dan menikmati musik panting.
Setelah pulang ke
kampung (baca: Bantuil), lalu saya berdiskusi dengan teman-teman di sini. Waktunya sangat tepat karena saat itu di kampung ada pak Maskuni yang bekerja di Pemda Batola menangani kesenian
dan budaya.
Siapa
saja personil angkatan pertama Ambar Kasturi?
Personil
(angkatan) pertamanya:
Panting : Hamidin,
M. Yusuf, Harnadi
Biola : Firhansyah
Babun : Basran
Suling : Asni
Tamborin :
Sarmidin
Rumba : Rusmin
Vokal : M. Norman,
Rahimah, Maria.
Dari
mana awalnya Ambar Kasturi mendapatkan alat-alat musik panting?
Saat itu di rumah
pak Maskuni ada alat alat panting meski tidak lengkap milik pemerintah. Dan
kami sempat membuat sendiri dua buah panting untuk melengkapi kekurangan
tersebut.
Siapa
yang melatih personil angkatan pertama bermain musik panting?
Setelah alat-alat
musik lengkap, kami belajar secara otodidak.
Pernah
pentas di mana saja?
Di beberapa tempat seperti di Upacara Peringatan Hari
Guru Nasional dan HUT ke-50 PGRI Tahun 1995 Dati II Batola.
Upacara Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-50 PGRI Tahun 1995 Dati II Batola. |
Bagaimana dengan busana yang digunakan saat tampil?
Busananya semula
dipinjami Pemda Batola. Pak Maskuni yang mencarikan pinjamannya. Setelah itu ada kas sedikit
dan tambahan dana dari Bapak Camat Cerbon sehingga kami bisa membuat seragam
untuk tampil.
Setelah sekian lama berlalu, bagaimanakah keadaan Ambar Kasturi saat ini?
Para personilnya
terpencar ke mana-mana karena banyak yang bekerja di luar kampung. Meski
demikian, kami berencana akan menghidupkan Ambar Kasturi kembali.
Tak terasa
pertanyaan demi pertanyaan dijawab Ahmad Firmansyah atau yang sering dipanggil
banyak orang dengan sebutan Ancah ini mengalir dengan lancar. Dia adalah sosok pemuda
desa yang peduli terhadap eksistensi seni musik Banjar.
Selain berkenaan
dengan sosoknya, artikel ini saya tulis sekaligus
sebagai rangsangan terhadap kepedulian kita saat ini terhadap warisan nenek moyang yang berharga. Dan, sebenarnya dapat kita tangkap satu kenyataan bahwa sesungguhnya menjaga eksistensi musik panting merupakan perjuangan yang tidak mudah di tengah era teknologi
secanggih saat ini. Meski demikian tampaknya
para seniman sudah paham bahwa berkesenian memang menuntut etos kerja yang
tinggi dan pantang menyerah. Di samping semua itu, juga perlu uluran bantuan dari semua pihak termasuk pemerintah. (MJA)
0 comments:
Post a Comment