Konon, sakit hati dapat melahirkan perasaan sedih, kecewa, bahkan marah yang luar biasa. Suasana yang emosional itu terkadang menimbulkan masalah serius dalam kehidupan. Ya, tanpa pengendalian jiwa secara sehat, maka tak ada pula kontrol pribadi. Alhasil, timbullah sikap negatif yang merugikan semisal pembunuhan, baik pada diri sendiri, maupun orang lain.
Kasus gantung diri setelah putus cinta, misalnya, adalah contoh nyata hal di atas. Meskipun pada kenyataannya ada yang seperti itu, bukan berarti bahwa semua orang bersikap demikian jika sedang sakit hati.
Di tangan penyair, sakit hati bisa menjadi energi tersendiri dalam melahirkan karya-karya berkualitas. Setelah diramu sedemikian rupa, tak jarang para penikmatnya (baca: pembaca/penyimak puisi), dapat tersentuh hatinya. Bahkan, efeknya bisa lebih daripada itu.
Contoh, puisi yang lahir dari tangan penyair yang sakit hati karena terjadi pembakaran hutan dan lahan dapat mengunggah jiwa penikmatnya.
Ya, dengan diksi yang tepat dalam melukiskan kondisi pepohonan, semak-semak, dan hewan yang terbakar, juga adanya korban berjatuhan terpapar kabut asap, mereka yang membaca atau mendengarkannya pun tergugah jiwanya. Yang tadinya tak mau ambil pusing, menjadi bersimpati dan berempati terhadap kondisi alam dan sesamanya.
Lalu, bagaimana dengan sakit gigi? Saya yakin siapa pun tidak ada yang menginginkannya. Sebab, sakit gigi begitu menyengsarakan penderitanya.
Nah, sampai di sini tampaknya Anda sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan pada judul di atas. Benar begitu, 'kan? Semoga memang benar-benar sudah mendapatkannya.
0 comments:
Post a Comment