Tadi, ada sebuah status di salah satu media sosial yang dibuat seorang teman. Ia dikenal sebagai sastrawan Indonesia. Untuk menjaga privasi, saya sengaja tidak menyebutkan namanya. Ya, sebutlah namanya Kumbang.
Apa bunyi statusnya? Jika pihak medosnya menanyakan, "Apa yang Anda pikirkan?", maka sang Kumbang ini menjawabnya sedikit jengkel. Kok begitu?
Sebenarnya kejengkelan diriya tersebut bercampur dengan candaan. Ia jengkel karena kalau dirinya mempublikasikan puisi di medsos, tidak ada yang berkomentar atau mengkritisinya. Akan tetapi, saat ia membuat status yang menyangkut perkara fisik dalam pembahasan "dewasa" malah banyak sekali yang berkomentar.
Kalau kita mau memperhatikan media sosial, memang hal-hal demikian sering terjadi. Khusus perkara fisik, terutama yang indah dan rupawan kerap menjadi buah bibir masyarakat di dunia maya. Sebutlah artis. Ada berapa banyak yang menanggapi, termasuk yang berkomentar? Tak hanya puluhan, tapi ratusan ribu.
Kembali ke status sang Kumbang, setidaknya ada yang patut kita perhatikan. Apakah itu? Minimal satu hal, yakni kemenarikan sastra di mata masyarakat luas.
Saya sebut luas karena konteks yang dipersoalkan sang Kumbang memang sifatnya umum. Siapa pun asal berteman di akun medsosnya dapat membaca status itu. Dengan kata lain, bukan hanya dikonsumsi sesama sastrawan.
Nah, dalam hal ini, suka tidak suka kita harus memahami bahwa masyarakat termasuk sastrawan menyukai segala hal yang menarik. Itu realitasnya. Kemenarikan inilah yang sangat perlu menjadi perhatian utama jika ingin karya sastra diminati banyak orang. Dan, ini pulalah syarat yang "tidak tertulis" guna dapat membumikan sastra di masyarakat.
Pertanyaannya, sudahkah sastra itu menarik secara luas? Bahkan, lebih menarik daripada fisik yang indah lagi rupawan?
0 comments:
Post a Comment