Belajar sudah menjadi hal yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Betapa tidak? Segala sesuatu akan dapat lakukan dengan baik dan benar jika kita tahu caranya. Bagaimana kita mengetahuinya? Ya dengan belajar.
Belajar bisa dilakukan dari hal yang paling sederhana. Sebutlah seorang anak yang menyimak bahasa di sekitarnya. Dari menyimak itulah, yang semula ia tidak tahu kata-kata, menjadi tahu. Seiiring kemampuan motoriknya, huruf demi huruf dan kata demi kata pun dapat dilafalkannya untuk berkomunikasi. Kepada ibunya, ayahnya, dan orang-orang lain di dekatnya.
Dalam perjalanan kehidupan manusia, tingkat pembelajaran juga kian banyak dan rumit. Tentunya banyak jalur bagi kita melakukan proses belajar. Bisa di rumah, sekolah, dan masyarakat.
Setelah melalui banyak tahapan belajar, kecerdasan-kecerdasan manusia semakin meningkat. Ya, bukan hanya kecerdasan intelektual yang konon sangat mendapatkan perhatian, tetapi juga kecerdasan emosional, sosial, budaya, hingga kecerdasan spiritual manusia.
Lalu, pernahkah Anda mengalami rasa kantuk yang luar biasa saat belajar?
Saya punya sebuah cerita tentang hal ini. Pernah suatu hari, teman sekelas saya tertidur dengan sangat pulas di dalam kelas. Saking pulsanya, suara guru kami yang nyaring di depan kalas pun tak membuatnya terbangun.
Contoh di atas adalah cerita nyata. Lantas, bagaimana jika rasa kantuk mulai menyerang Anda saat sedang belajar seperti itu? Benar, teman saya tersebut pastilah diserang kantuk yang luar biasa sebelum akhirnya ia tertidur dengan sangat pulas.
Nah, apakah pertanyaan dalam judul di atas menjadi pilihan utamanya, yakni lebih baik tidur daripada belajar?
Sebenarnya, perkara tidur dan belajar ini hanya merupakan bagian kecil yang saya jadikan contoh berkenaan dengan pilihan hidup kita. Lantas apa pertanyaan intinya?
Pertanyaan inti yang ingin saya sampaikan adalah, sudahkah kita mampu memilih yang lebih utama atau terpenting dalam hidup ini?
Banyak isu yang terjadi saat sekarang. Mulai dari pendidikan, impor, hingga perkara agama. Terkadang saya melihat hal-hal yang lebih penting malah dinomorsekiankan.
Perhatikan jalur transportasi antara rumah siswa dan sekolah, misalnya. Masih banyak yang rusak, bahkan sangat memperihatinkan. Tetapi, apa? Hal tersebut seakan-akan lepas dari perhatian. Ada saja anak-anak sekolah yang harus menyeberangi sungai melalui jembatan yang sangat tidak layak digunakan. Benar, hanya dua tali, satu untuk melangkah dan satunya lagi digunakan sebagai pegangannya agar tidak jatuh.
Begitu pula tentang ketersediaan pangan hingga perkara agama yang terus dikaitkan dengan isu radikal dan intoleran.
Baiklah, akhirnya, mengenai pilihan hidup ini terpulang kembali kepada masing-masing individunya. Sudah mampukah?
0 comments:
Post a Comment