Begitulah yang saya ingat sewaktu kecil. Kata "film" dan "action" dilafalkan /pelem aktion/ dengan sangat lugunya.
Benar, sewaktu saya kecil sering nonton film laga, terutama produk luar negeri. Bukan hanya betapa indahnya adegan beladiri yang ditampilkan, tetapi juga kelicikan tokoh-tokoh antagonisnya.
Dalam kisah penyanderaan, misalnya, betapa tidak kesatrianya para teroris itu. Padahal mereka berbadan dan berotot besar. Bahkan, semuanya bertato tanda kejantanan dengan dilengkapi senjata api canggih.
Begitu pula dengan kelicikan para penganut radikalisme dalam upaya merebut pemerintahan yang sah. Mereka menggunakan segala cara termasuk pembunuhan besar-besaran untuk mencapai tujuan semu.
Dan, dari semua film laga yang saya tonton itu para teroris dan penganut radikalisme tidak ada yang berjanggut. Perempuannya juga tidak bercadar. Di jidat mereka juga tidak ada tanda hitam sebagai tanda bekas sujud. Selain itu, mereka tidak ada yang bercelana cingkrang.
Nah yang paling penting, mereka juga sama sekali tidak menggunakan atribut keagamaan mana pun. Yang tampak pada mereka adalah kejahatan dan kelicikan luar biasa.
Mungkin banyak orang mengatakan, "Itu, 'kan dalam film?"
Ya, itu ada dalam film. Akan tetapi, jangan lupa bahwa film atau naskah-naskah cerita sebenarnya merupakan pengejawantahan kembali kehidupan nyata.
Kebiasaan manusia seperti cara berpakaian, jenis makanan, dan lainnya dalam kehidupan sehari-hari tidak diganti dengan yang lain saat ada dalam film. Artinya, ada latar sosial, budaya, selain latar tempat dan waktu yang dipertontonkan kepada publik lewat film.
Lalu, bagaimana dengan sekarang?
0 comments:
Post a Comment