Sutardji Calzoum Bachri - Youtube |
Bukan hanya di dunia politik kita mengenal istilah presiden. Di dunia sastra pun demikian adanya. Ialah presiden penyair Indonesia.
Bagi kaum sastrawan, istilah itu sudah tidak asing lagi. Tetapi, bagi masyarakat umum, agaknya masih belum familier dengan penyebutan presiden penyair tersebut.
Tidak mengherankan memang jika benar seperti itu. Adalah hal yang wajar mengingat pengenalan dunia sastra secara utuh belum terjadi di dunia pendidikan kita. Hanya beberapa nama sastrawan yang sering disebut dalam buku teks pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, misalnya Taufiq Ismail dan Chairil Anwar. Selebihnya, entah kapan?
Kembali ke istilah di atas, satu orang yang menduduki "jabatan" Presiden Penyair Indonesia bernama Sutardji Calzoum Bachri (SCB). Sebenarnya ini hanyalah julukan kepadanya. Artinya, jauh berbeda daripada presiden politik.
Nah, SCB sendiri merupakan salah seorang pelopor penyair angkatan 1970-an, lho.
Pria ini dilahirkan pada 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Nah, pada tahun 1974 dan bertepatan dengan musim panas ia diundang mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda.
Tepat bulan Oktober 1974--April 1975 dirinya mengikuti International Writing Program di Universitas Lowa, Lowa City, USA.
Presiden penyair Indonesia ini juga pernah diundang ke Pertemuan Internasional Para Penyair di Baghdad, Irak. Diundang pula oleh Dato Anwar Ibrahim--saat menjabat Menteri Keuangan Malaysia--untuk membacakan puisi di Departemen Keuangan Malaysia.
Selain itu, pada tahun 1997 Tardji (panggilan akrab SCB) memenuhi undangan untuk membacakan puisi di Festival Puisi Internasional Medellin, Columbia.
Adapun puisi-puisinya dimuat dalam berbagai media, baik media cetak semisal Majalah Horison (majalah sastra paling top di kalangan sastrawan saat itu), maupun buku.
Dalam media buku, puisi-puisinya dimuat dalam berbagai antologi, yakni tunggal dan bersama. Khusus yang bersama, sebut saja Arjuna in Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from the World (USA), Westerly Review (Australia), Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975), Ik Wil nog dulzendjaar leven, negen moderne Indonesische dichter (1979), dan Journal of Southeast Asian Literature 36 dan 37 (1997).
Sementara antologi puisi tunggalnya ialah O, Amuk (1972) yang mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976/1977, Kapak (1979), Atau Ngit Cari Agar (2008), Kucing (1973), Aku Datang Padamu, Perjalanan Kubur David Copperfield, dan Realities Tanah Air.
Nah, pada tahun 1981, antologi puisinya O, Amuk, dan Kapak digabung dan diterbitkan dengan judul buku O, Amuk, Kapak.
Jika ditanya penghargaan yang pernah ia terima, antara lain adalah, Anugerah Seni Dewan Kesenian Jakarta (1977), Sea Write Award dari Kerajaan Thailand (1979), Anugerah Seni Pemerintah RI (1993), Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), Sastrawan Perdana oleh Pemda Riau (2008), dan Bakrie Award (2008).
Di usianya yang sudah lebih daripada 78 tahun ini, ia masih aktif dalam bersastra. Orang-orang pun masih setia menyebutnya Presiden Penyair Indonesia.
Dari berbagai sumber.
0 comments:
Post a Comment