Apakah media sudah mendapatkan kemerdekaan bersuara? Bebas dari tekanan? Lepas dari kekangan dan tuduhan?
Tampaknya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas, adalah belum sepenuhnya terwujud. Kasus terbaru dialami para jurnalis The Wall Street Journal.
Bermula dari sebuah artikel yang diterbitkan pada tanggal 3 Februari di media itu. Isinya berupa kritik atas tanggapan Negara China terhadap wabah COVID-19 yang mematikan.
Akan tetapi, pihak China (Republik Rakyat China) tidak dapat menerima kritikan ini. Seperti terlansir BBC, Juru bicara Kementerian Luar Negeri China--Geng Shuang--mengatakan artikel itu "rasis" dan "merendahkan" upaya China untuk memerangi wabah yang telah menewaskan lebih dari 2.000 orang di negara tersebut.
Alhasil, China telah memerintahkan tiga jurnalis asing The Wall Street Journal untuk meninggalkan negara itu karena pendapat yang dikatakan "rasis" itu.
Ini untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade wartawan yang memiliki kredensial sah telah diperintahkan untuk meninggalkan Cina, kata wartawan BBC, John Sudworth, di Beijing.
Sementara itu, Klub Koresponden Asing China menyebut keputusan itu "suatu upaya yang ekstrem dan jelas oleh otoritas Cina untuk mengintimidasi organisasi-organisasi berita asing".
Selain jurnalis asing, dua jurnalis warga China yang menghilang minggu lalu setelah meliput COVID-19 di Wuhan, pusat penyebaran wabah di Provinsi Hubei, juga tetap hilang hingga sekarang. Ya, ialah Fang Bin dan Chen Qiushi yang telah berbagi video dan gambar secara daring dari dalam kota yang dikarantina itu.
Sebenarnya, terkait kebebasan pers di China tidak melulu sebatas perkara COVID-19. Sebutlah pada 2018, Kepala Biro Beijing untuk BuzzFeed News, Megha Rajagopalan, tidak dapat memperbarui visanya setelah melaporkan penahanan minoritas Muslim Uighur dan lainnya di wilayah Xinjiang, China.
0 comments:
Post a Comment