Sumber RFA |
KEMANUSIAAN. Apa pun yang terkait dengan kemanusiaan, terutama kejahatan terhadap manusia, adalah tindakan keji yang tak beradab. Sebutlah penjajahan sebagai contohnya. Maka, semua kejahatan terhadap kemanusiaan harus dihapuskan dari muka bumi.
Mengutip RFA, Jumat (6/3/2020), penganiayaan oleh Pemerintah Republik Rakyat China (RRC) terhadap etnis Uyghur, termasuk penahanan massal di kamp-kamp interniran, merupakan “kejahatan terhadap kemanusiaan,” menurut Museum Peringatan Holocaust A.S. Dan kejahatan ini membuka jalan bagi apa yang dikatakan seorang pakar bisa menjadi tindakan hukum di pengadilan internasional.
Berbicara di Museum Peringatan Holocaust AS di Washington, 5 Maret 2020, bertema "Penganiayaan Sistematik terhadap Uighur China," Naomi Kikoler, Direktur Pusat Pencegahan Genosida Simon-Skjodt, mengatakan situasi di barat laut Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang China (XUAR) menunjukkan bahwa "Ada alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa China bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan”
"Penting untuk mengingat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan lahir dari pengalaman pembasmian (penyiksaan dan genosida) dan pertama kali dituntut di Nuremberg," katanya, merujuk pada serangkaian pengadilan militer yang diadakan setelah Perang Dunia II pada 1945--1946 oleh pasukan Sekutu di bawah hukum internasional dan hukum perang.
Masih dari sumber yang sama, ia juga mengatakan bahwa setiap pemerintah telah berkomitmen untuk melindungi masyarakat mereka dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal ini, ada dasar yang masuk akal untuk percaya bahwa pemerintah China gagal dalam hal perlindungan itu, dan mereka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan dan pemenjaraan atau perampasan kebebasan fisik lainnya yang parah.
Kikoler mengutip laporan "menakutkan" tentang indoktrinasi politik, penyiksaan, kerja paksa, dan bahkan kematian dalam tahanan oleh mantan tahanan jaringan kamp tahanan XUAR yang luas, di mana sebanyak 1,8 juta warga Uyghur dan minoritas Muslim lainnya dituduh menyembunyikan "paham agama yang keras" dan ide-ide "salah secara politis" diyakini telah diadakan sejak April 2017.
Mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan ini, semula Beijing menyangkal keberadaan kamp interniran di XUAR. Kemudian mereka (pihak Beijing/RRC) tahun lalu mengubah taktik, yakni dengan menggambarkan kamp tersebut sebagai "sekolah berasrama" yang menyediakan pelatihan kejuruan untuk Uyghur, mencegah radikalisasi, dan membantu melindungi negara dari terorisme.
Meski pihak RRC mencoba taktik baru tersebut, pelaporan oleh Layanan Uyghur RFA dan outlet media lainnya menunjukkan bahwa mereka yang berada di kamp ditahan dan menjadi sasaran indoktrinasi politik yang secara rutin menghadapi perlakuan kasar di tangan pengawas mereka, dan menjalani diet yang buruk, serta kondisi yang tidak higienis di tempat yang sering sesak.
"Pelaku biasanya menemukan alasan untuk kejahatan mereka," kata Kikoler di acara Kamis tersebut. Ia menambahkan, "Dalam hal ini, pemerintah China mengklaim memerangi terorisme atau memberantas kemiskinan, tetapi ini adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai dengan penganiayaan sistematis terhadap populasi Uyghur."
Menurut Kikoler kejahatan semacam itu bukanlah hal baru. Orang-orang Yahudi juga dianiaya oleh Nazi Jerman berdasarkan identitas mereka. Ada sekitar enam juta orang Yahudi dibunuh secara sistematis dalam genosida oleh Nazi waktu itu.
Dengan berani dirinya menyatakan, “Kita perlu mendesak agar kejahatan terhadap Uyghur berakhir, dan mengakui keberanian mereka—Uyghur dan yang lainnya—yang berjuang untuk mewujudkannya.”
Dalam media itu disebutkan pula Kikoler bergabung dengan Perwakilan AS, Jim McGovern, dari Massachusetts yang bersama dengan Senator AS, Marco Rubio, dari Florida bersama-sama mengetuai Komisi Kongres-Eksekutif untuk China (CECC) dalam laporan tahunannya yang dirilis awal tahun ini juga menyarankan bahwa kebijakan Beijing dalam XUAR dapat memenuhi definisi "kejahatan terhadap kemanusiaan."
McGovern mengumumkan pada acara Kamis tersebut bahwa ia dan Rubio berencana untuk memperkenalkan undang-undang yang disebut Uyghur Forced Labor Prevention Act. Undang-undang ini akan melarang impor dari XUAR ke AS, yaknj berdasarkan laporan bahwa China secara bertahap memindahkan tahanan keluar dari kamp-kamp interniran ke pabrik-pabrik tempat mereka bekerja dengan sedikit atau tanpa upah.
Juga berbicara di acara Kamis itu adalah Sam Brownback, Duta Besar AS untuk Kebebasan Beragama Internasional, meminta Beijing untuk "segera melepaskan semua yang ditahan secara sewenang-wenang dan untuk mengakhiri kebijakan kejam yang selama lebih daripada dua tahun telah meneror warganya sendiri di Xinjiang."
Sementara itu, pada hari Jumat, (6/3/2020) Dolkun Isa, Presiden Kelompok Pengasingan World Uyghur Congress (WUC) yang berbasis di Munich, menganggap penunjukan Museum Peringatan Holocaust sebagai "makna bersejarah".
"Ini adalah fakta bahwa China telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembersihan etnis dan genosida budaya, di Turkestan Timur terhadap orang-orang Uyghur," katanya, menggunakan nama pilihan Uyghur untuk tanah air mereka.
Dirinya juga mendesak komunitas internasional untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi rakyat Uyghur.
0 comments:
Post a Comment