Ilustrasi - Pixabay |
Tim berseragam khusus--Hazmat--sudah menunggu di pekarangan. Si Bungsu terpaku lesu sambil memegang tangkai kopernya. Sesaat kemudian dia menatap Ayah dan Ibu, lalu kepadaku. Kulihat ada linangan air mata yang mulai meluap di sudut matanya. Aku mendekati si Bungsu sambil tersenyum untuk menguatkan jiwanya. Usianya masih belasan tahun. Kepergiannya ke ibukota provinsi dua minggu lalu, sebelum pemberlakuan pembatasan sosial, diduga penyebabnya. Kota itu sebenarnya sudah berlabel merah, namun karena ada keperluan mendesak, dia terpaksa pergi sendiri. Walau sudah aku ingatkan agar melakukan prosedur keamanan diri, mungkin karena kurang hati-hati, akhirnya dirinya terpapar virus Corona. Bagi si Bungsu, kematian laksana diujung mata.
Kutatap lekat kedua bola matanya. "Dek, kamu orang yang kuat. Kamu bukan orang yang gampang panik. Jangan sedih! Jangan putus asa! Ingatlah, virus ini akan menguasaimu jika kamu lemah dan tidak berpikir optimis bahwa kamu pasti sembuh. Ibu, ayah, dan kakak menunggu kamu balik ke rumah."
Berminggu-minggu kami dilanda resah. Para tetangga tak berani bertandang. Bahkan, tukang sayur langganan ibu pun takut mampir. Duhai adik kesayangan keluarga, tanpa ada dia, rumah ini kehilangan roh. Rumah bagai berselimutkan mendung yang panjang. Aku selalu menyemangati Ayah dan ibu agar tak berpikiran buruk. Apalagi si Bungsu beberapa kali mengirim pesan bahwa dia baik-baik saja. Sesekali melakukan panggilan video dengan kami. Hingga suatu pagi terdengar suara lantang bergema dari depan rumah, "Aku pulaaaaang!"
Jorong, 8 April 2020
Syahrian Tanjung, sastrawan tinggal di Kalimantan Selatan.
0 comments:
Post a Comment