Video baca puisi oleh Isbedy Setiawan ZS - YouTube |
Akhir-akhir ini, terkhusus saat berada pada masa pandemi virus Corona jenis baru, sastra diramaikan dengan pembacaan puisi di media sosial. YouTube menjadi pilihan sebagian sastrawan untuk tetap eksis dalam bersastra.
Sebutlah penyair Isbedy Setiawan ZS, Sang Paus Sastra Lampung, yang begitu bersemangat memublikasikan video-video dirinya saat membaca puisi, di Channel YouTube pribadinya. Itu baru satu contoh. Masih banyak penyair lainnya yang beraktivitas demikian.
Ini mengingatkan saya pada era dunia blog yang pernah ramai saban hari. Sesama blogger saling mengunjungi dan meninggalkan jejak di kotak pesan tertunda (chat box) atau langsung di bawah artikel yang dipublikasikan di sana. Bahkan, saya pribadi pernah menanyakan harga ban sepeda motor melalui kotak pesan di blog salah seorang teman yang menjalankan usaha bengkel motor.
Sejalan dengan kondisi itu, komunitas blogger pun menjamur di Indonesia. Beberapa waktu sekali diadakan kopdar (kopi darat) untuk saling berbagi pengalaman, pengetahuan, dan ilmu. Nah, khusus di dunia sastra, ada blogger tertua saat itu bernama Arsyad Indradi. Penyair kelahiran 1949 tersebut tidak hanya mengelola satu blog. Seingat saya dia mengelola sekitar 60-an blog. Ada tiga puluhan blog miliknya yang khusus memuat biodata dan karya sastrawan setiap provinsi di Indonesia. Waw!
Namun sayang, dunia blog mulai mengalami kemunduran seiring ramainya Facebook sebagai jejaring sosial di negeri ini sekitar sebelas tahun yang lalu. Betapa tidak? Di Facebook, setiap orang dapat memublikasikan tulisan termasuk karya sastra dengan mudah. Selain mudah, jalur komunikasinya lebih luas. Jangkauannya pun semakin jauh sehingga berpotensi untuk dibaca oleh banyak kalangan.
Tapi, satu hal yang tak bisa diabaikan, meski bersastra melalui media Facebook terus bertahan hingga sekarang. Sebagian blogger juga memanfaatkan Facebook untuk mempromosikan blog masing-masing. Begitu pula dengan YouTubers sastra melakukan hal yang sama.
Terbukti tautan-tautan video tersebut disebar melalui akun pribadi dan grup-grup sastra di Facebook yang ada seperti, Grup Apresiasi Sastra dan Grup Pembaca Buku Tume.
Lantas, apakah dalam hal ini sastrawan bisa dikatakan latah?
Ikutan-ikutan menjadi blogger atau YouTuber selama positif adalah sebuah kemajuan dalam bersastra. Dulu, sebelum teknologi canggih, orang bersastra secara lisan, lalu mulai ditulis dalam media secara manual (tulis tangan). Kemudian, semenjak ada mesin tik, orang-orang termasuk sastrawan menggunakannya. Muncul lagi komputer, tulisan pun dicetak, baik sekadar beberapa lembar, maupun dalam wujud buku.
Kini, saat kita berada di era digital, mau tak mau, sastra perlu menyesuaikannya. Maka, semakin banyak konten pembacaan puisi atau aktivitas-aktivitas sastra lainnya yang diunggah di YouTube, misalnya, adalah sebuah langkah maju yang bermanfaat bagi kaum sastrawan dan masyarakat luas. Jadi, apa pun medianya, dapat dipakai selama untuk tujuan positif.
Dan sekali lagi, eksistensi sastrawan di YouTube mengingatkan saya pada era blog yang pernah ramai saban hari.
0 comments:
Post a Comment