Sebuah fakta bahwa Cina tumbuh menjadi "pabrik dunia" selama 40 tahun terakhir. Semula Republik Rakyat Cina di bawah Mao Zedong sangat menutup diri dari negara-negara kapitalis. Akan tetapi, sejak Deng Xiaoping berkuasa, keadaan berubah.
Mantan Presiden Deng Xiaoping yang memerintahkan reformasi ekonomi pada akhir tahun 1970-an dan memperkenalkan konsep pasar bebas ke Cina untuk pertama kalinya membuat perekonomian negeri itu akhirnya maju pesat.
Bagaimana tidak? Dengan peraturan negara yang dilonggarkan dan akses ke tenaga kerja terbesar, menjadikan Cina tempat yang tepat untuk melakukan outsourcing (alih daya) manufaktur.
Maka, jadilah Cina salah satu pusat bisnis paling menguntungkan di dunia. Negara-negara lain untung dari berbisnis, Cina meraup untung dari pajak dan biaya administrasi, juga terbukanya peluang mendirikan perusahaan-perusahaan sendiri.
Akan tetapi, dalam bulan-bulan terakhir, manufaktur Cina mulai surut oleh kumpulan masalah yang seakan menjadi satu. Tarif tinggi, COVID-19, ketegangan geopolitik menyebabkan eksodus massal dari manufaktur Cina ke negara-negara lain. Semua itu memicu dimulainya jatuhnya dominasi manufaktur negara tirai bambu tersebut.
Ketika manufaktur Cina mulai merosot, negara-negara Asia Tenggara di dekatnya mulai dengan cepat bersiap untuk mengambil alih beberapa bisnis Cina.
Vietnam, misalnya, melakukan upaya besar-besaran untuk meraih produksi pakaian sehari-hari. Merek pakaian olahraga populer seperti Nike dan Adidas dengan cepat telah mengalokasikan kembali sebagian besar pangkalan manufaktur dan alas kaki ke Vietnam, dari Cina.
Selain itu, perang perdagangan global dengan AS juga memberikan pukulan fatal bagi manufaktur Cina.
Hal terkahir di atas menyebabkan penurunan volume ekspor ke AS dan ke negara lain yang menghadapi tekanan Amerika untuk mengurangi ketergantungan global pada manufaktur Cina.
Dalam sebuah laporan oleh Forbes, analisis menyebutkan bahwa ekspor Cina secara global diperkirakan turun $ 25 miliar sejak tarif pertama kali diterapkan.
Dan, di tengah ketidakpastian geopolitik, Covid-19 telah mendorong manufaktur Cina ke ambang penutupan.
Lantas, ketika Cina mengalami kesulitan dalam perekonomian, bagaimana nasib negara-negara yang berutang kepada negeri komunis terbesar di Asia ini? Terutama yang terkait dengan Belt and Road Initiative yang digulirkan pada tahun 2013 lalu.
Para akademisi Universitas Harvard pernah merilis laporan pada tahun 2018 yang menyebutkan Cina memberlakukan tingkat utang yang tinggi untuk negara-negara Asia Pasifik dengan tujuan memperoleh aset strategis atau pengaruh politik dari negara-negara pengutang.
Apakah, dengan kondisi yang kian sulit, Cina akan tetap kaya karena memperoleh aset strategis atau pengaruh politik dari negara-negara pengutang?
Jika demikian, negara-negara dimaksud yang akan mengalami kesusahan atau menanggung beban kebangkrutan Cina. Sementara negeri tirai bambu tetap bersinar di pentas global.
Atau? Bagaimana?
0 comments:
Post a Comment