Suatu hari seorang teman mengatakan ingin menerbitkan buku karyanya dengan biaya sendiri. Untuk mewujudkan niatnya itu, ia pun harus menyisihkan sebagian uangnya terlebih dahulu beberapa waktu. Dan apa yang terjadi? Barulah setelah dirinya meninggalkan dunia ini, buku itu dapat terbit dengan bantuan beberapa teman sesama sastrawan.
Apa yang direncakan olehnya tersebut terkesan begitu gigih dan terasa menyesakkan dada.
Ya, jauh sebelum penerbit-penerbit indie ramai beriklan secara daring di media sosial, sebagian sastrawan sudah begitu bersahaja menerbitkan karya masing-masing dengan biaya sendiri. Ada yang cetak 500 eksemplar, 200 eksemplar, bahkan hanya sebatas hitungan satu digit.
Kadangkala buku-buku itu tidak dijual, melainkan diberikan secara cuma-cuma kepada sesama sastrawan. Selanjutnya dijadikan bahan diskusi kecil-kecilan, atau kalau mujur bisa diangkat dalam acara di kampus-kampus besar.
Sebagiannya lagi memang dimaksudkan dijual sebagai pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pokok hidup keluarga sastrawan bersangkutan. Maka, teringatlah pula saya pada seorang teman yang lain lagi. Ia menerbitkan dan menjual buku-buku karyanya sendiri secara apa adanya.
Buku-buku yang diterbitkannya jauh dari kesan elit. Sampul atau kovernya sangat sederhana dengan isi berupa hasil fotokopian. Jadi, ia mencetaknya dengan mesin printer lalu diperbanyak dengan memfotokopinya. Kemudian dijilid sederhana menggunakan staples.
Setelah jadi, ia pun menjualnya di lapak sederhana di pasar malam atau di mana saja yang strategis.
Memperhatikan kondisi demikian, sangat berbeda jika kita melihat bagaimana buku-buku diterbitkan oleh pemerintah negara lain, semisal melalui Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Bahkan, saya sedikit terkejut ketika tahu lembaga pemerintah tersebut juga menjual buku-buku yang mereka terbitkan. Keterkejutan itu membuat saya merasa terharu. Betapa tidak? Pemerintah di sana begitu membantu para sastrawan atau penulis lain dalam berkarya tulis. Selain itu, sebenarnya juga dapat meningkatkan pendapatan negara melalui penjualan buku-buku tersebut.
Lantas, bagaimana dengan Pemerintah Indonesia dalam hal membantu sastrawan?
Sejauh yang saya tahu, sebenarnya pemerintah di negara ini sudah banyak dan sering menggelontorkan dana segar untuk kegiatan-kegiatan sastra. Banyak pertemuan sastra dan penerbitan antologi bersama telah didanai Pemerintah Indonesia. Jumlah yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Satu acara lokal saja bisa menelan dana 300 jutaan rupiah.
Lalu, mengapa di negeri ini masih ada sastrawan yang begitu berlelah-lelah dalam menerbitkan karya-karya mereka?
Ini pertanyaan yang cukup menggelitik alam pikir kita. Selama ini, agaknya pengeluaran dana lebih kepada kegiatan umum. Seperti seminar dan penerbitan antologi bersama. Sementara untuk penerbitan buku-buku yang ditulis sastrawan tunggal masih jauh dari sentuhan pemerintah. Tunggal di sini maksudnya adalah buku ditulis oleh satu sastrawan saja, semisal kumpulan cerpen karya sastrawan A.
Hal terakhir di atas idealnya mendapatkan perhatian khusus. Sebab, dalam hal ini dukungan pemerintah sangat membantu para sastrawan produktif mewujudkan penerbitan karya ke bentuk buku. Sekaligus juga membantu dalam hal perekenomian sastrawan yang bersangkutan. Bahkan, jika buku-buku ini dijual dapat meningkatkan pendapatan negara kita di luar pajak.
Saya membayangkan, dana-dana besar yang selama ini digelontorkan dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan sastra dialihkan sebagian ke penerbitan seperti itu. Tidak perlu menggunakan hotel sebagai tempat acara, misalnya, maka sebagian anggaran dapat digunakan untuk menerbitkan buku-buku karya para sastrawan berkualitas, 'kan?
Agaknya kita juga dapat belajar dari masa pandemi saat ini. Banyak acara diadakan secara daring. Itu berarti ada penghematan pengeluaran anggaran. Panitia tidak perlu menyediakan tempat pelaksanaan, penginapan, sajian kuliner, dan sebagainya. Cukup dengan menggunakan aplikasi berbayar, acara sudah dapat terlaksana. Tentunya dengan penghematan yang demikian, akan ada dana tidak terpakai yang dapat digunakan untuk menerbitkan karya-karya tunggal para sastrawan.
Kita memang tidak berharap pandemi berlangsung lama, akan tetapi dapat menjadi inspirasi dalam menggunakan dana agar dapat lebih mengena banyak sasaran strategis.
0 comments:
Post a Comment