Hari ini, bertepatan dengan Hari Pahlawan di Indonesia, Habib Rizieq Shihab (HRS) tiba di Indonesia. Sudah beberapa waktu lamanya beliau bermukim di Arab Saudi. Banyak orang yang merindukan sosoknya. Benar saja, kepulangan beliau kembali di Indonesia disambut hangat oleh jutaan orang.
Jujur saja, sejak pagi tadi saya memperhatikan media sosial terkait beliau. Hal itu membuat saya teringat pada salah seorang penyair yang menyindir kepulangan HRS ke tanah air. Dalam sebuah komentar di media sosial, penyair yang tidak suka terhadap HRS itu menanyakan hal tersebut kepada saya. Ia mengira saya pendukung orang nomor satu di Front Pembela Islam ini.
Karena pertanyaannya sangat tidak ideal, saya pun menjawabnya dengan sangat sederhana bahwa manusia pasti akan kembali kepada tanah dan air. Didekap erat-erat oleh keduanya dalam liang bernama makam. Lalu saya ajukan pertanyaan balik kepada penyair yang sudah berusia cukup tua itu dengan pertanyaan santai, "Kalau Bapak sendiri kapan kembali ke tanah dan air (meninggalkan dunia) ini?"
Saya yakin sebagai penyair, ia sangat menyukai pertanyaan terkait kematian. Sebab, kematian termasuk bahan kontemplasi berharga dalam menghasilkan karya sastra berkualitas.
Dan perihal rasa tidak suka, entah berapa banyak yang tidak menyukai HRS. Mungkin puluhan, ribuan, atau jutaan. Realitas seperti itu wajar terjadi. Hidup ibarat mata uang. Ada yang suka dan sebaliknya kepada kita.
Terlepas dari hal demikian, kalau dipikir-pikir, HRS adalah penyair juga, yakni penyeru agama Islam tanah air (tanah air adalah satu makna yang merujuk kepada Indonesia).
Nah, sebagai umat Islam, saya pribadi menghormati para penyeru seperti HRS. Mereka gigih menyerukan ajaran agama Islam kepada umat. Sungguh perjuangan yang bukan main-main. Bahkan, para penyeru ini merupakan pahlawan yang bergerak demi perubahan manusia ke arah kebaikan dan kemajuan. Manusia yang diseru pun beragam. Mulai masyarakat biasa hingga pejabat tertinggi negara (semisal presiden dan raja).
Tak jarang mereka yang menyeru kebenaran kepada raja, misalnya, berakhir dengan ketragisan hidup duniawi. Sebutlah penjara dan hukuman mati.
Terakhir, baik penyair yang sastrawan, maupun penyair (penyeru) sama-sama orang baik dan bijak. Maka, sikap kedewasaan berupa rasa hormat dan menghargai penyair adalah kemuliaan tersendiri bagi kita sebagai manusia.
0 comments:
Post a Comment