orang sastrawan yang banyak berkiprah dan
internasional. Karno lahir di Sebulu, Kabupaten
Kutai Kartanegara pada 18 Februari 1953 dari
ayah bernama Abdussaman Tuyuq dan ibu ber-
nama Zulaiha. Masa kecil hingga remaja diha-
biskannya di Samarinda, tempat ia menyelesai-
kan pendidikan dasar dan menengahnya. Setelah menamatkan sekolah khusus guru agama, pada pertengahan 1970-an ia meninggalkan Samarinda menuju Bandung. Di Kota Kembang tersebut ia mengikuti pendidikan diploma bidang kehumasan dan jurnalistik di Universitas Padjadjaran. Selama di Bandung, selain menjadi mahasiswa, ia bekerja sebagai wartawan di berbagai surat kabar dan majalah.
Karno Wahid juga pernah mengikuti kursus kepenulisan. Namun, menurut Karno, kemahirannya menulis karya sastra berkembang secara autodidak serta didukung oleh kegemarannya membaca. Ia sangat menyukai membaca novel, baik karya pengarang dari dalam maupun luar negeri.
Karno Wahid adalah seorang Putra Kalimantan Timur. Ia menikah dengan perempuan pilihan hatinya, Astuti, dan hingga kini mereka dikaruniai dua orang anak.
Pengalaman Karno Wahid dalam bidang tulis-menulis dimulai pada tahun1970-an. Karya pertamanya yang dimuat di media massa adalah sebuah cerita pendek. Cerpen tersebut dimuat di sebuah majalah hiburan yang terbit di Jakarta, Violeta. Pada era 1970-an itu, Karno mulai menulis puisi, cerpen, esai, serta artikel kebudayaan dan pembangunan. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa, baik daerah maupun nasional. Selain menulis, Karno Wahid juga belajar menyanyi dan membaca puisi. Ia beberapa kali mengikuti pentas seni di Gedung Kesenian Rumentang Siang di Bandung pada tahun1979--1980.
Kegiatan Karno dalam berkesenian tidak berlangsung lama. Ia lebih menyukai bidang penulisan puisi dan novel. Ia mulai berkonsentrasi menulis pada awal tahun 1980-an. Ketika itu puisi-puisi karyanya banyak dimuat di media massa lokal dan ibukota, antara lain, adalah harian Pikiran Rakyat, Surabaya Post, dan majalah mingguan Santana. Ia juga banyak berkenalan dan menimba ilmu dari para pengarang terkenal pada masa tersebut, misalnya penyair Diah Hadaning dan Dinullah Rayes.
Aktivitas kepengarangan Karno Wahid tidak terbatas di dalam negeri saja. Sebagai anggota Himpunan Penulis Melayu, ia banyak mengunjungi wilayah-wilayah di Asia dalam rangkaian kerjasama kegiatan kesastraan. Ia, antara lain, pernah menghadiri Pertemuan Dunia Melayu di Malaka, Malaysia (1982), Apresiasi Puncak Penyair ASEAN I di Bali (1983), Hari Sastra di Johor Bahru, Malaysia (1983), Hari Puisi di Kuching, Malaysia (1984), Hari Sastra di Penang, Malaysia (1985), dan Dialog Penyair ASEAN di University Princes of Songkhla Pattani di Thailand (1986). Di dalam negeri sendiri ia pernah diundang untuk membaca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Karno Wahid pernah menjabat Ketua Ikatan Pencinta Sastra (IPS) Tenggarong. Ia pun masih tercatat sebagai anggota Himpunan Penulis, Penyair, dan Pengarang Nusantara (HP3N) Kaltim.
Karno Wahid adalah penulis yang sangat produktif. Dari tangannya telah lahir banyak puisi yang terkumpul dalam beberana buku antologi. Ia juga banyak menulis cerita pendek dan novel. Pada awal kariernya, Karno kerap menggunakan nama samaran Kawe Tuyuq yang merupakan gabungan dari inisial namanya sendiri (KW) dan nama ayahnya (A. Tuyuq).
Puisi-puisi yang ditulis oleh Karno Wahid telah diterbitkan dalam beberapa antologi puisi, baik antologi bersama maupun antologi tunggal. Antologi-antologi tersebut, seperti Tempoyaq (1981), Topeng (1982), Istana Malam (1983), Lanskap (1984), Sajak Delapan Kota (antologi bersama delapan penyair Indonesia, 1985), Riak (1986), Secuil Bulan di Atas Mahakam (1999), Menepis Ombak Menyusuri Sungai Mahakam (1999), Getar-Getar Aorta (2000), Pernikahan Batu (2005), dan Seteguk Mahakam (2006). Selain antologi-antologi tersebut, beberapa puisi Karno Wahid tercantum dalam antologi penyair Kaltim dan ASEAN yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka di Malaysia. Beberapa puisi Karno Wahid juga diterbitkan di Thailand bersamaan dengan penyelenggaraan kegiatan Dialog Penyair ASEAN di University Princes of Songkhla Pattani pada tahun 1986. Puisi-puisi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Thailand.
Dalam menulis puisi-puisinya, Karno Wahid sangat gemar mengangkat tema kehidupan, alam, dan percintaan. Hal tersebut terlihat dalam puisi-puisi yang terangkum dalam berbagai buku antologinya. Salah satu puisi yang mengangkat tema kehidupan adalah puisi "Seteguk Mahakam" yang termuat dalam antologi bersama beberapa penyair Tenggarong dengan judul Seteguk Mahakam. Antologi tersebut diterbitkan Komunitas Masyarakat Seni Kutai Kartanegara bekerja sama dengan Penerbit Mahatari pada tahun 2006.
Karya Karno Wahid
menelan laju sejarah panjang
danau-danau yang
diam
air keruh kekuning-kuningan
menyimpan dendam
gelombang pasang
dalam deras air
ke arah petang
bermula dari gunung-gunung
yang menyimpan hakikat batu
dan hutan-hutan sajadah alam
sujud dalam taqarrub yang diam
namun diamnya
ada gelombang yang mengalir
ke arah muara
tempat hidup mendulang
cakrawala
dan ratusan anak sungainya
menelan bukit
menelan gunung-gunung
menelan danau
dan
menelan kebermulaan kita
Kutai, 2004
Kegemaran Karno Wahid mengangkat tema kehidupan, seperti dalam puisi di atas dilatari kekaguman penyair itu pada keagungan dan kemahakuasaan Tuhan dalam menciptakan bumi dan isinya. Dalam puisi di atas terlihat pula latar kehidupan pengarang yang lahir dan besar di pinggir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur Sebagai "anak" Mahakam, Karno akrab dengan segala hal mengenai Sungai Mahakam. Kemegahan sungai yang panjangnya mencapai lebih kurang 775 km tersebut diwujudkannya dalam pilihan kata yang sangat cermat.
Berbeda dengan puisi-puisinya yang sangat banyak jumlahnya, novel karya Karno Wahid hanya beberapa. Novel-novel Karno yang telah diterbitkan adalah Di Antara Dua Hati (1991), Daerah Penantian (1992), Ajeng (1998), dan Biarkan Cinta Mengalir (2003). Terdapat pula dua novel yang akan diterbitkan, yaitu "Di Antara Reranting Patah" dan "Maafkan Bila Gita Mencintaimu". Entah saat ini, mungkin sudah terbit. Dari novel-novel yang telah diterbitkan tersebut, Di Antara Dua Hati dan Biarkan Cinta Mengalir telah dijadikan sinetron dan ditayangkan di TV3 Malaysia.
Karno Wahid telah menulis cerita pendek sejak tahun 1970-an. Karya sastranya yang terbit kali pertama adalah sebuah cerita pendek yang berjudul "Di Balik Tirai Kenangan". Cerita itu dimuat di majalah ibukota, Violeta, pada tahun 1978. Setelah sekian lama menulis cerpen dan mengirimkannya ke berbagai media massa, seperti Kompas, Republika, dan Suara Merdeka, ia berencana untuk menerbitkan antologi cerpen-cerpennya. Selain itu, Karno Wahid juga tengah mempersiapkan sebuah buku yang berisi kumpulan prosa. Di antara beberapa cerpen yang pernah ditulis Karno Wahid, salah satunya dimuat dalam antologi cerpen Bingkisan Petir yang diterbitkan oleh Jaring Penulis Kaltim (JPK) bekerja sama dengan Penerbit Mahatari (2005). Cerpen Karno yang termuat dalam antologi tersebut berjudul "Pensiun". Cerpen tersebut pernah dimuat di Majalah Selecta pada 1990-an. Cerpen "Pensiun" bercerita tentang kegelisahan seorang pegawai negeri sipil dalam menghadapi masa pensiun.
Karno Wahid kerap pula menulis esai kebudayaan dan kesastraan di beberapa media nasional dan daerah, misalnya Kompas, Republika, Merdeka, Kaltim Post, Suara Kaltim, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Surabaya Post, Jawa Pos, dan sebagainya. Buku-buku kebudayaan yang telah ditulisnya, antara lain, adalah Puisi Anak-Anak Genre Folklore (1982), Mantra Tradisional Mahakam (1982), dan Masjid Jami' Hasanuddin dalam Catatan (1984).
Perhatian Karno Wahid terhadap upaya-upaya pelestarian sastra di daerahnya memang sangat tinggi. Ia berencana menulis buku mengenai tradisi tarsul, salah satu jenis tradisi lisan suku Kutai di Kalimantan Timur. Ia juga tengah mengumpulkan bahan-bahan untuk penulisan buku puisi tradisional dan mantra Kalimantan Timur serta buku dokumentasi kebudayaan daerah Kutai Kartanegara.
Sumber: buku "Biografi Pengarang Kalimantan Timur"
0 comments:
Post a Comment