Cerpen karya B. Soelarto
Selesai mendengarkan amanat-amanat resmi dan tiga orang pemrasaran, keesokan harinya sidang Musyawarah Seniman Musik Progresif Revolusioner yang diselenggarakan oleh Front Nasional setempat melanjutkan acaranya dengan pemandangan umum para peserta. Tidak kurang dari enam orang naik pentas untuk angkat bicara. Dan setiap pembicara turun, menggemuruhlah tepuk tangan disertai pekikan bertubi-tubi: "Hidup Manipol. Hidup Nasakom! Ganyang Nekolim. Ganyang Manikebu!"
Setelah memakan waktu lebih dari tiga jam tibalah giliran pembicara terakhir. la seorang komponis tua. Tubuhnya jangkung, kurus. Rambutnya sudah memutih, pakai kacamata. Dengan menjepit map dia tenang melangkah ke pentas. Batuk-batuk, yang segera disapu dengan sapu tangan yang kumal. Letak kaca matanya dia betulkan. Wajahnya tenang, secerah pandangannya yang menyorot ke depan. Semua orang sudah mengenalnya. Setidak-tidaknya sudah mengenal nama komponis tua tu lewat ciptaan-ciptaannya, baik jenis keroncong maupun jenis seriosa. Memang, dulu, di tahun tiga puluhan dia sudah sangat terkenal sebagai buaya dan komponis keroncong. Setelah suasana menghening, dia menoleh ke arah meja pimpinan musyawarah. Melempar salam hormat dengan anggukan beriring pernyataan terima kasih untuk kesempatan yang diberikan. Lalu dengan dasar nada bas, suaranya tertuju ke arah sidang itu.
"Kalau para pembicara yang penuh semangat tadi masing-masing mewakili sesuatu organisasi, saya di sini tidak mewakili siapa pun, kecuali berbicara atas nama diri pribadi. Maklumlah saya tidak menjadi anggota partai. Tidak menjadi anggota organisasi kebudayaan partai. Saya hanya anggota organisasi koperasi pensiunan pegawai negeri...."
Komponis tua itu batuk-batuk, para hadirin ketawa singkat. Suasana agak segar sedikit. Tapi kesegaran yang sedikit itu segera melenyap ketika komponis tua tadi sampai pada ucapan: saya tidak setuju dengan pendapat para pemrasaran bahwa politik adalah panglima kesenian."
Para hadirin yang sebagian sudah lesu dan sedikit ngantuk, sama menegakkan kepala. Komponis tua itu sejenak berhenti untuk menutupi mulut dengan sapu tangan, dia terbatuk-batuk sebentar. Lalu melanjutkan bicaranya.
".... Juga, saya tidak sependapat dengan para pemrasaran bahwa musik Barat musti identik dengan kebudayaan imperialis-kolonialis, bahwa musik Barat adalah sumber dekadensi kebudayaan nasional. Bukankah kita secara sadar dan penuh tanggung jawab telah mengoper sistem musik Barat sejak kita untuk pertama kalinya mengenal sistem diatonik! Apakah sekarang kita musti melemparnya jauh-jauh, dan kembali pada sistem pentatonik, slendro-pelog belaka? Saya rasa, tak ada sangkut-paut antara Nekolim, antara politik dengan asas diatonik yang bersumber pada musik Barat itu. Tidak semua aspek musik Barat itu jahat buat kehidupan kebudayaan kita. Tidak semua musik Barat musti dengan sendirinya kita klasifikasi sebagai sumber dekadensi. Ya, Saudara-saudara, tidak semua ciptaan para komponis Barat baik klasik maupun modern musti begitu saja kita cap sebagai musik dekaden. Bagaimana dengan Beethoven? Schubert, Bach, Da Curtis sampai Gershwin, Irving Berlin? Ya, Saudara-saudara, bagiku pribadi ini, Nekolim itu politik. Sedangkan musik itu seni...."
Ucapannya itu ditukas dengan teriakan dan ejekan dari belakang: "Seni untuk seni, ha-ha-ha.... " Dan meledaklah tawa hadirin, suat-suit dan deham-deham. Nadanya, ejekan. Tetapi komponis tua itu sama sekali tidak terpengaruh. Dengan tempo tenang dia meneruskan bicaranya: "Bagiku pribadi, musik adalah puisi dalam lagu. Musik dicipta manusia untuk kemanusiaan. Musik bersifat universal. Sebagaimana sifat fitri insani."
Ucapannya distop oleh teriakan lantang, lagi-lagi dari belakang: "Humanisme universil!" dan meledaklah lagi tawa, suat-suit dan deham-deham ejekan, bersusul teriakan-teriakan bertubi-tubi: "Manikebu... bu... bu!"
Yang segera ditimpa koor gemuruh: "Ganyang Manikebuuuu..."
Suasana jadi panas. Juga para pimpinan musyawarah sama memperlihatkan sikap kurang senang terhadap pembicara. Mereka saling berunding dan berbisik. Tapi komponis tua itu tidak berubah wajah. Dengan tenang kedua tangannya dia angkat sendiri ke atas. Meski belum sama sekali tenang, namun keriuhan sudah mulai berkurang. Dan komponis tua itu cepat meneruskan bicaranya:
"Soal ganyang Manikebu, itu urusan Saudara-saudara. Saya bukan politikus. Namun sebagai musikus saya berhak untuk berpendapat bahwa sifat universal musik tidak ada kena-mengenanya dengan Manikebu dan Nekolim segala. Satu contoh: Apakah hymne kaum proletar sedunia Internationale itu, bukan suatu lagu yang universal bagi kaum komunis sejagad? Termasuk kaum komunis Indonesia juga ?! Ya, apakah karena sifatnya yang universal dan karena kebaratannya itukah, Saudara, maka kaum komunis Indonesia juga hendak mengklasifikasikan Internationale sebagai musik dekaden?"
Komponis tua itu berhenti sejenak. Tantangannya ternyata udak mendapat jawaban. Ada beberapa hadirin yang terpesona oleh ucapannya itu, sedangkan para hadirin di barisan belakang cuma saling berbisikan. Tapi tidak ada terdengar teriakan ejekan.
Komponis tua itu sedikit senyum. Dan masih dengan ketenangan semula dia meneruskan bicaranya:
"Saya bukannya tidak sependapat, bahkan saya menganjurkan agar kita menolak tingkah mode musik Barat yang absurd. Tapi penolakan dengan motif politis tidak tepat! Kita musti menilainya dari fokus dan penilaian kultural saja. Dan yang lebih penting ialah, agar para komponis dan para musisi kita sanggup menciptakan lagu-lagu dan aransemen-aransemen yang kultural, dan tanpa paksa diterima oleh angkatan muda kita dewasa ini. Rebut cukup, Saudara-saudara, saya berharap semoga kita bermusyawarah ini tidak untuk agitasi. Tidak untuk diskusi politik. Semoga musyawarah ini akan menghasilkan pemikiran-pemikiran dan konsepsi-konsepsi kreatif, yang merintis jalan dalam memperkembangkan kualitas dan produktivitas musik kita di masa depan. Kalau kita semua mengaku patriot, nasionalis progresif revolusioner, mari kita bina kebudayaan nasional secara kreatif Bukan dengan slogan dan agitasi. Sekian. Terima kasih."
Komponis tua itu turun, langkahnya tenang-tenang saja. Namun sama sekali tidak ada iringan pembangkit semangat berupa tepukan tangan. Para hadirin cuma senyum-senyum kecut. Sebagian diam saja, sebagian lagi bahkan memaki-maki, tapi dengan suara yang ditahan-tahan.
Terhadap pembicara terakhir yang berbicara paling singkat dan paling menimbulkan suasana panas dan tegang itu, pimpinan musyawarah tidak memberikan komentar apa-apa. Dan palu diketuk tanpa acara pemandangan umum. Langsung rampung. Lalu dibentuk panitia ad hoc, panitia perumus. Semua pemrasaran dan para pembicara dalam pemandangan dalamnya. Kecuali komponis tua itu. Dia tidak diikutsertakan.
Dan sesuai dengan rencana, pada malam harinya diselenggarakan upacara penutupan musyawarah. Meriah! Dihadiri segenap pembesar tinggi dan para utusan dari Ibukota sekalipun. Pengunjungnya melimpah ruah. Komponis tua itu pun ikut hadir dan dapat tempat duduk.
Dan tibalah saatnya ketua musyawarah membacakan resolusi-resolusi dengan lantang penuh semangat:
"Atas nama segenap seniman Manipolis yang progresif revolusioner berporoskan Nasakom. Yang berpanjikan ajaran PBR/ Pangti ABRI/ Presiden Republik Indonesia, Doktor Insinyur Soekarno tercinta, musyawarah secara demokratis dan aklamasi telah memutuskan pernyataan-pernyataan berikut. Pertama: Semua seniman musik maupun Manipolis Progresive Revolusioner Daerah Istimewa bertekad bulat untuk selalu tanpa reserve melaksanakan komando Bung Karno, komando Dwikora mengganyang Nekolim Malaysia!"
Tepuk tangan meledak, menggemuruh sehingga yang berbicara berhenti sebentar. Senyum bangga. Dan dengan suara lebih lantang hingga serak-serak dia teruskan membaca resolusi berikutnya.
"Kedua: Mengutuk musik Nekolim, musik ngak-ngik-ngok, yang jelas bertujuan melemahkan semangat juang revolusioner rakyat Indonesia."
Lagi-lagi meledak tepuk tangan gemuruh.
"Ketiga: Mengutuk dan menuntut, agar Pemerintah melarang Manikebu yang nyata-nyata hendak mendiskreditkan, menyaingi Manipol, dan jelas sangat membahayakan jalannya revolusi rakyat Indonesia! Atas nama Musyawarah Seniman Musik Progresif Revolusioner Daerah Istimewa, Pimpinan, tertanda..."
Untuk ketiga kalinya meledaklah tepuk tangan yang
menggemuruh, disertai koor: "Ganyang Malaysia! Ganyang Nekolim! Ganyang Manikebu... bu... buu!"
Dalam keriuhan itu terdengar suara orang batuk-batuk, yang tidak lain adalah komponis tua tadi. Sambil memegangi sapu tangan di mulut dia bangkit. Kepalanya terasa pening. Dia terus ke luar. Langkahnya sering beriring batukan dia percepat, seolah-olah gema tepuk tangan yang dilarikan angin malam itu memburunya. Bagaimanapun juga, dia beruntung pulang duluan. Kalau tidak dia akan sangat parah hatinya. Karena dalam acara konser malam itu, dua buah lagu ciptaannya yang semula sudah dipilih, tidak jadi diperdengarkan.
Tiga hari kemudian terbetik berita yang cepat menjalar luas, ke seluruh penjuru kampung dan kota. Berita bahwa komponis tua itu menghilang, membiarkan pondoknya terkunci sepi. Para tetangga ada yang bilang, mungkin dia pergi ke Jakarta ikut putrinya yang menjadi istri jutawan. Ada pula yang bilang, mungkin berlayar ke Medan, ikut putrinya yang jadi pengusaha di sana. Tapi lawan-lawannya menyebarkan desas-desus bahwa komponis tua itu berlayar menyeberang ke Malaysia, menjadi antek Nekolim.
Keruan saja orang-orang semakin kepingin tahu. Dan para pembesar pamong praja setempat dengan didampingi para pengurus kampung dan OPR, bersepakat untuk memeriksa pondok komponis tua yang ditinggalkan sepi itu. Lalu didobraklah pintu pondok. Mengherankan! Karena semua masih lengkap berada di tempat. Biolanya. Pakaiannya di almari. Buku-bukunya dalam rak buku. Alat-alat dapur. Bahkan ketika diperiksa, ternyata masih ada persediaan beras beberapa kilo.
Ketika para pejabat itu masih keheran-heranan dan mencari-cari tafsiran, datanglah sebuah mobil ambulans. Turun dua orang berseragam putih. Yang seorang permisi, bilang: "Kami diutus Bapak Komponis mengambilkan Kitab Suci dari rak beliau. Sekarang beliau dirawat di Sanatorium Pakem, Kaliurang."
Orang-orang semua minggir. Berbisik-bisik. Membiarkan juru rawat mengambil dan membawa pergi Kitab Suci. Lalu seperti ketakutan para pemeriksa itu cepat-cepat keluar. Rumah itu kembali dikunci. Tak ada sesuatu pun yang mereka sentuh-sentuh atau dipindahkan tempatnya. Dan secepat tiupan angin beredar lagi berita dari bisikan mulut yang satu ke mulut yang lain:
"Komponis tua itu dimakan TBC."
Yogya, Juli '64
Sumber: Sastra No. 2, Th VI, Februari 1968
Catatan
Nekolim : Neo Kolonialisme -Imperialisme, sebutan berdasarkan singkatan untuk Amerika Serikat dkk
Ganyang Malaysia : hancurkan Malaysia
Manipolis : penganut fanatik Manifesto Politik cetusan Bung Karno.
Manikebu : Manifest Kebudayaan, suatu pernyataan sekelompok budayawan dan cendikiawan non partai, yang berdasar Pancasila menolak dominasi politik di atas kesenian, dll.
OPR: Organisasi Pemuda Rakyat, semacam Hansip di zaman Orla.
Nasakom : Nasionalis, Agama, dan Komunis; suatu trio kelompok politik yang didambakan Bung Karno untuk mendukung ajarannya.
Dwikora : Dwi Komando Rakyat, perintah Presiden Soekarno untuk menyerbu sekalian menghancurkan Malaysia
PBR: Pemimpin Besar Revolusi, gelar yang paling disukai Bung Karno untuk dirinya.
Tentang cerpenis
Bambang Soelarto adalah salah satu sastrawan dalam lingkup sastra Indonesia. Ia lahir pada tanggal 11 September 1936 di Purworejo dan kemudian meninggal pada tanggal 3 Maret 1992 di Yogyakarta. Kiprahnya di dalam dunia sastra Indonesia diawali dengan menjadi redaktur kebudayaan harian Tanah Air dan Daulat Rakjat yang terbit di Semarang tahun 1955--1956. Sejak tahun itulah Bambang Soelarto banyak menulis cerpen, novel dan drama. Karya-karya sastranya terutama cerpen banyak tersebar di media cetak Siasat, Mimbar Indonesia, Budaja, Cerita, Sastra, Minggu Pagi, Star Weekly, Sinar Harapan dan Horison. Cerpen-cerpen Bambang Soelarto dikumpulkan menjadi antologi yang berjudul Catatan Tahun 60. Kedudukan Bambang Soelarto dalam dunia sastra Indonesia dianggap cukup penting oleh H. B. Jassin dan A. Teeuw dengan kemunculan dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi. A. Teeuw menganggap bahwa khususnya karya drama Domba-Domba revolusi mampu mengatasi realisme sehari-hari yang dalam kisah-kisah perang lain terlalu biasa.
--------------------------------------------
Sumber cerpen: Odah dan Kuli Kontrak: Sepilihan Cerpen Klasik Indonesia
Sumber biodata cerpenis: Wikipedia
Sumber foto cerpenis: Seputar Teater
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment