1957 di Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebagai sastrawan ia kerap menggunakan nama samaran EM ES Koloq atau M.S. Koloq. Ayah Masriady bernama H. Mastur Dillah dan ibunya bernama Norasikin. Mastur Dillah adalah seorang pensiunan Dinas Peternakan Kalimantan Timur dan memiliki pengetahuan ilmu agama yang baik. Sosok sang ayah sering menjadi sumber inspirasi bagi Masriady dalam menulis karya sastra. Sastrawan ini tutup usia pada bulan Mei 2008.
Sejak lahir hingga remaja Masriady Mastur tinggal di Samarinda Seberang, tepatnya di Kampung Baka. Ia memiliki empat saudara yang semuanya laki-laki, yaitu Masriansyah, Masrianherdy, Masriawan, dan Heri Gunawan. Masriady menikah dengan Kustiah, wanita asal Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka memiliki seorang anak. Masriady menempuh pendidikan dasar hingga menengah atas di Kota Tenggarong. Ia menamatkan pendidikan sekolah dasar pada 1971, sekolah menengah pertama pada 1974, dan menamatkan sekolah menengah atas pada 1977.
Masriady pernah mencoba berbagai jenis pekerjaan, misalnya, pelayan warung nasi dan pramuniaga toko. Kariernya sebagai pegawai negeri sipil dimulai dengan menjadi tenaga honorer di kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Setelah menjadi pegawai honorer selama lima tahun, ia akhirnya menjadi pegawai negeri sipil di Bagian Humas Pemda Tingkat II Kabupatan Kutai Kartanegara dengan spesifikasi sebagai fotografer. Pekerjaan sebagai fotografer dimanfaatkannya untuk memperoleh berbagai infomasi aktual yang akhirnya dituangkan dalam puisi. Masriady sangat mencintai pekerjaannya sebagai fotografer dan penyair. Baginya kedua pekerjaan tersebut sudah mendarah daging walaupun ia tidak pernah bercita-cita sebagai penyair.
Masriady dalam mencipta puisi dimulai sejak duduk di bangku sekolah, Setelah lulus sekolah, ia mulai menunjukkan kemampuan melalui keikutsertaan dalam berbagai kegiatan sastra. Pada tahun 1978 ia mengikuti acara pembacaan puisi karya Alm. Drs. H. Ahmad Dahlan. Ia juga telah menulis hampir seratus judul puisi dan beberapa di antaranya sudah dibukukan. Di samping gemar membuat puisi, Masriady juga gemar berteater, menari, dan memotret. Berkat bantuan Lembaga Pengembangan Kebudayaan Kutai Kartanegara (LPKK), ia mengikuti kursus seni di Padepokan Bagong Kusudiarjo Yogyakarta dan bergabung dengan Teater Gandrik pimpinan Butet Kartajasa (1987). Bersama Yaya W.S., Masriady mendirikan dan membina Teater Gong Tenggarong. Anggota teaternya kini mencapai seratusan orang dan telah beberapa kali mengadakan pementasan, baik di Tenggarong maupun di Samarinda. Pada tahun 1980-an Koloq juga tergabung dalam Teater Total di LPKK pimpinan H. Zailani Idris.
Masriady sangat menyukai puisi-puisi Chairil Anwar, Hartoyo Andangjaya, dan Taufiq Ismail, seperti "Krawang Bekasi", "Aku", "Diponegoro", "Doa", "Manifestasi", "Benteng", dan lain-lain. Ia menyukai puisi-puisi karya para pengarang tersebut karena mengandung unsur sosial, perjuangan, kemanusiaan, dan ketuhanan. Selain membaca buku puisi-puisi hasil karya sastrawan nasional, Masriady juga membaca buku-buku yang berhubungan dengan pengetahuan Meninjau Sastra karangan A. Teuw, dan Prahara Budaya karya Taufiq Ismail.
Karya-karya Masriady terbit dalam berbagai buku antologi puisi bersama, misalnya Tempoyak (1980), Topeng (1981), Riak (1986), Menepis Ombak Menyusuri Sungai Mahakam (1999), dan Secuil Bulan di atas Mahakam (1999). Antologi puisi Tempoyak dan Topeng diterbitkan dalam bentuk stensilan bersama Karno Wahid. Antologi Riak diterbitkan oleh CV Bumi Kaltim Offset Tenggarong dan di dalamnya juga terdapat puisi-puisi karya Karno Wahid dan Budhi Warga.
Puisi karya Masriady yang paling berkesan baginya adalah puisi berjudul "Sebuah Renungan". Puisi tersebut pernah dipentaskan secara teatrikal oleh Teater Bintek (Bina Teater Kutai Kartanegara).
Berikut salah satu puisi yang ditulisnya pada masa awal era reformasi
Karya Masriady Mastur
kalau rakyat sudah berteriak ah, bosan!
karena sudah jemu habis kesabaran
tak heran bila suara mereka
tak ada pilihan lain
untuk berkata dalam barisan aksi demonstrasi
hanya menunggu janji resah mengganjal telinga
pada mulut bujuk rayu dalam pidato
mata berkedip-kedip, tapi tidak bertindak
keadilan, kebenaran, kemakmuran
dan kesamarataan
lantas pindah ke dalam slogan!
nah, tak ada bisik-bisik lagi
bila rakyat sudah berteriak
ah, sudah bosan terhadap kepalsuan dan kebohongan
MS. Koloq, 98
Banyak hal yang ingin dilakukan oleh Masriady untuk memajukan sastra di Kalimantan Timur. la sangat menginginkan adanya kritikus atau pengamat sastra yang serius memperhatikan perkembangan sastra di Kalimantan Timur. Menurutnya, ulasan-ulasan sastra di media massa sangat membantu perkembangan sastra di Kalimantan Timur. Bahkan, ia menganggap perlu didirikannya Dewan Sastra Kaltim (DSK) atau Forum Komunikasi Sastra Kaltim (FKSK). Ia merasa perkembangan sastra di Kalimantan Timur sangat lamban. Pengembangan aktivitas bersastra di Kalimantan Timur memerlukan kerja sama antarlembaga, misalnya kerjasama para sastrawan dengan koran daerah untuk memublikasikan realitas perkembangan sastra di Kalimantan Timur. Masriady juga menyoroti perlunya kehadiran karya-karya sastra yang mencerdaskan generasi muda, menampilkan cerita yang berkualitas sosial dan intelektual. Bahkan, Masriady memandang perlunya pengajaran sastra dan bahasa Indonesia di sekolah dilakukan secara terpisah.
Sumber: Biografi Pengarang Kalimantan Timur
0 comments:
Post a Comment