Ahmad Dahlan dilahirkan pada 17 Desember 1928 di Samarinda. Ahmad Dahlan memiliki empat orang saudara kandung, yaitu Umar Dahlan, Ibrahim Dahlan, Halimatu Sadiah, dan Burhan Dahlan. Dari keempat saudara kandung tersebut, hanya Burhan Dahlan yang mengikuti jejak Ahmad Dahlan sebagai pengarang.
Ahmad Dahlan menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Samarinda. la melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pengarang ini sering memakai nama samaran D. Adham. Walaupun bukan berlatar pendidikan sastra, Ahmad Dahlan tergolong penyair produktif pada masanya. Ia merupakan penyair yang sezaman dengan Ahmad Noor, H. Amir, Burhan Dahlan, dan Maswan Dahri.
Ahmad Dahlan juga seorang birokrat yang mengabdikan dirinya sebagai pegawai negara. Ia pernah menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara selama dua periode. Jabatan terakhir yang diembannya adalah anggota DPR/MPR RI perwakilan Provinsi Kalimantan Timur.
Ahmad Dahlan menikah pada 10 Agustus 1954 di Ambon. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai sepuluh anak, yaitu Wirasni Dahlan, Uni Gamayanti, Anita Fitriyani, Yuniar Wahyuni, Alfian Masrani, Zairin Fauzi, Muhammad Rizal, Erwin Rismawan, Farid Syahruddin, dan Muhammad Illiansyah. Pria, yang memiliki perhatian besar terhadap kesenian dan pendidikan di Kalimantan Timur tersebut, meninggal bersama istrinya akibat kecelakaan lalu lintas di Jakarta.
Perhatian Ahmad Dahlan terhadap pendidikan terbukti dengan keterlibatannya sebagai tokoh yang turut serta mendirikan Universitas Mulawarman di Samarinda. Ia pun pernah menjabat sebagai salah seorang dekan di Universitas Mulawarman. Kenangannya selaku insan pendidikan diabadikannya dalam puisi berjudul "Tuntutlah Ilmu" dan renungannya sebagai birokrat atau bupati diabadikannya dalam puisi berjudul "Apa yang Kau Cari, Bupati" (antologi puisi Seorang Lelaki di Terminal Hidup, 1974).
Sebagian besar puisi karya Ahmad Dahlan termuat dalam antologi puisi Seorang Lelaki di Terminal Hidup (Budaya, 1974), Apa Kata Mereka Tentang 3 yang Tidak Masuk Hitungan (Budaya, 1974), dan Menyambut Fajar (2002). Beberapa puisinya juga dimuat di koran Masyarakat Baru sejak kelahiran koran tersebut di awal kemerdekaan. Puisi-puisi Ahmad Dahlan cenderung mengangkat suasana religius, semangat cinta tanah air, dan situasi kehidupan sosial-kemasyarakatan. Hal tersebut tidak mengherankan karena ia dididik dalam lingkungan keluarga yang agamis, aktif dalam pemerintahan sebagai birokrat, dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial-kemasyarakatan. Pengalamannya yang luas dalam berbagai bidang memudahkannya dalam menuangkan ide-ide secara lancar. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan tergolong sebagai penyair Kalimantan Timur yang produktif. Ia mencipta kurang lebih delapan puluh judul puisi yang dipublikasikan, baik dalam surat kabar maupun buku antologi.
Warna religius dalam puisi-puisi Ahmad Dahlan dapat disimak, antara lain, dalam puisi berjudul "Dalam Masjid", "Limpahan Kasih-Mu", dan "Azabmu, Wahai Tuhanku". Sementara itu, puisi-puisi Ahmad Dahlan yang menampilkan nuansa cinta tanah air, antara lain, adalah puisi berjudul "Indonesia", "Pemberian", "Ibu Pertiwi", "Berjasa Ba' Buah Kelapa", "Ayolah Rekan...", "Kita Menolak", "Sumpah Kita", dan "Garuda".
Ahmad Dahlan adalah seorang patriot sejati. Ia memanfaatkan puisi gubahannya untuk mengobarkan semangat juang dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Berikut ini adalah puisi "Ayolah Rekan..." yang dapat dijadikan contoh semangat nasionalisme dalam diri Ahmad Dahlan.
AYOLAH REKAN....
Karya Ahmad Dahlan
Mengapa bertopang dagu,
Selagi kami sekalian,
Mengabdi bahu-membahu?
Mengapa bertekuk lutut
Selagi kami sekalian
Berbakti tanpa surut?
Mengapa menghambin tangan
Selagi kami sekalian
Giat menuntut kemerdekaan?
Sertalah mengambil bagian,
Jangan hanya menantikan
Hasil nan akan didapatkan.
(Antologi Seorang Lelaki di Terminal Hidup, 1974: 8)
Sumber tulisan: Buku Biografi Pengarang Kalimantan Timur
0 comments:
Post a Comment