MAMAN S MAHAYANA
(Sebelumnya tulisan ini dimuat dalam buku Mengangkat Batang Terendam: Telaah Perpuisian Melayu Nusantara Mutakhir)
Nusantara, seperti juga Melayu, dapat dimaknai sebagai wilayah etnik, wilayah budaya, bahkan juga wilayah politik. Sebagai wilayah etnik, Nusantara menaungi ribuan suku bangsa dengan berbagai bahasa etnik sebagai alat komunikasinya. Ketika sejumlah delegasi pemuda yang mewakili beberapa suku bangsa berhimpun dalam Kongres Pemuda kedua, 28 Oktober 1928 dan bersepakat menetapkan butir ketiga Sumpah Pemuda berbunyi: "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia" seketika bahasa Indonesia mengatasi bahasa-bahasa etnik. Undang-undang 1945 kemudian menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara (Indonesia).' Deklarasi itu sebuah klaim politik, tetapi di dalamnya ada ruang kultural. Maka, filosofi "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia" tidak berarti menafikan kehidupan dan perkembangan bahasa etnik, melainkan menjadikannya sebagai pemerkaya bahasa Indonesia.
Sebagai wilayah politik, konsep Nusantara secara geografik sebenarnya melingkupi wilayah yang begitu luas, tetapi kemudian tersekat oleh ketentuan politik pemerintahan. Ketika terjadi kolonisasi, dimulailah pembagian wilayah bukan berdasarkan kesamaan ras budaya, dan bahasa, melainkan ditentukan menurut kepentingan pihak kolonial. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), pembagian wilayah-terutama hasil kesepakatan Inggris dan Belanda--tidak berlaku lagi. Tetapi, selepas Jepang menyerah tanpa syarat, kolonialis Inggris dan Belanda merasa bahwa wilayah yang ditinggalkan Jepang itu masih sebagai wilayah jajahannya. Maka, mereka pun datang kembali hendak mengambil hak politik kolonialnya. Konsep politik wawasan Nusantara, bagi Indonesia adalah wilayah yang berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan batas-batas teritorialnya.
Sebagai wilayah budaya, Nusantara mempunyai keberbagaian tradisi sosial budaya yang kelahirannya erat berhubungan dengan alam dan lingkungan yang mengelilingi dan mengepungnya. Berbagai produk budaya yang dihasilkan penduduk di kawasan Nusantara, tidak hanya lantaran kreativitas mereka pascaterjadinya akulturasi, tetapi juga yang terutama akibat kedekatannya dengan lingkungan alam. Tidak sedikit produk budaya yang murni dihasilkan bukan akibat pengaruh budaya luar, melainkan sebagai representasi kedekatan dan persaudaraan dengan alam dan sistem kepercayaan animisme. Kalaupun kebudayaan asing itu diterima, ia tidak serta-merta menenggelamkan kebudayaan yang sudah ada, melainkan mengintegrasikan dan membaurkannya. Atau, lebih tegas lagi: "menusantarakannya". Maka, dalam dunia pewayangan, kita dapat berjumpa dengan Semar, Bagong, Petruk--Dewala, dan Gareng--Cepot, tokoh-tokoh pewayangan yang di tempat asalnya, India, tidak ada.
Dalam upacara ritual keagamaan atau sekadar kulonuwun kepada penguasa alam, penghuni hutan, penunggu gunung, atau roh para leluhur yang bersemayan di pepohonan atau bebatuan, kita juga dapat menemukan berbagai doa, jampi-jampi, mantra, atau tembang. Lantaran di dalamnya ada sesuatu yang diharapkan, ada permohonan atau bujuk rayu, maka pilihan kata (diksi) disusun begitu rupa agar terasa indah dan enak didengar. Jadilah segala doa, jampi-jamp, mantra, tembang itu membentuk rangkaian kata, kalimat yang terasa indah dan enak didengar. Bukankah proses kreatif para penyair pun tidak berbeda dengan proses penciptaan doa, mantra, jampi-jampi, atau tembang yang dilakukan para leluhur itu? Itulah puisi! Sebuah ekspresi kreatif dengan bahasa alat ucapanya.
***
Perhatikan teks berikut ini:
Trang-trang koléntrang
Si londok paéh nundutan
Mesrat gobang kabuyutan
Tikusruk kana durukan
Siapakah yang membuat teks Trang-trang koléntrang itu? Meski anonim, teks itulah yang kerap dinyanyikan anak-anak dan diyakini dapat mengundang angin dan mengusir hujan. Tujuannya agar mereka, anak-anak itu, dapat bermain layang-layang. Jika ada angin, mereka dengan mudah dapat menerbangkan layang-layang. Mereka juga tak perlu cemas bakal turun hujan. Itulah dunia anak-anak. Itulah dunia bermain mereka. Pertanyaannya kini: dari mana mereka memperoleh nyanyian itu? Apakah mereka tahu makna tekstual nyanyian itu dalam hubungan dengan mengundang angin dan mengusir hujan?
Di pelosok wilayah Nusantara, nyanyian atau lagu dolanan anak-anak seperti itu bertebaran begitu banyak. Tidak diketahui, kapan nyanyian itu diciptakan dan siapa pula penciptanya. Tidak diketahui pula alasannya, mengapa mereka punya keyakinan, bahwa nyanyian itu dapat mengundang angin dan mengusir hujan. Maka, ayo kumandangkanlah trang-trang koléntrang, agar kita --anak-anak--dapat bermain layang-layang dengan bahagia. Sangat mungkin, mereka tidak paham maknanya, oleh karena itu, peduli amat dengan makna. Jika mereka punya keyakinan, bahwa nyanyian itu mujarab, keyakinan itu juga tidak ada hubungannya dengan agama. Mereka hanya tahu, itulah nyanyian pengundang angin dan pengusir hujan. Cuma itu: mengundang angin dan mengusir hujan, lantaran ingin bermain-layang-layang-tanpa perlu cemas bakal hujan. Kini, coba perhatikan lagi puisi berikut:
Cingciripit
Tulang bajing kajepit
Kajepit ku bulu paré
Bulu paré menang moé
Teks di atas adalah nyanyian anak-anak ketika hendak bermain sesuatu. Untuk menentukan seseorang menjadi tokoh sebagai pencari (dalam permainan petak-umpet) atau yang dianggap pecundang, tiga atau lebih anak-anak itu meletakkan telunjuknya di atas telapak tangan seseorang. Lalu, sambil menyanyikan cingciripit, di akhir nyanyian, telapak tangan seseorang itu seketika menangkan salah satu telunjuk. Orang yang telunjuknya dapat ditangkap itu wajib menjadi tokoh pencari.
Kini pertanyaan yang sama boleh kita ajukan: dari mana mereka memperoleh nyanyian itu? Apakah mereka tahu makna yang terkandung dalam teks itu? Meskipun begitu, coba perhatikanlah rima atau persajakan akhirnya: cingciripit/ tulang bajing kajepit/kajepit ku bulu parélbulu paré menang moéll Berbeda dengan "Trangtrang kolentrang" yang menghasilkan rima akhir a-a-a-a, “Cingciripit" dibangun dengan rima a-a-b-b. Bukankah pola persajakan dalam kedua puisi nyanyian anak-anak itu seperti juga yang terdapat dalam syair atau sejumlah besar puisi Pujangga Baru? Bukankah di sana pun ada keinginan membentuk keindahan berdasarkan kesamaan bunyi, sebagaimana yang dapat kita jumpai dalam begitu banyak puisi? Bahkan, untuk tujuan sekadar hendak mengejar kesamaan bunyi, mereka mencipta kata trangtrang koléntrang dan cingciripit yang tak jelas maknanya. Bukankah lagi, penciptaan kata itu termasuk apa disebut licentia poetica? Setidak-tidaknya, ada usaha untuk menciptakan onomatope yang mungkin hendak menirukan suara atau bunyi sesuatu yang entah. Atau, sekadar sebagai pembuka guna menciptakan efek bunyi tertentu. Entahlah!
Selain pola rima untuk menghasilkan efek (kesamaan) bunyi, dalam "Cingciripit" kita dapati adanya pengulangan kata pada akhir larik sebagai kata pembuka pada larik berikutnya. Cingciripit/ tulang bajing kajepit/kajepit ku bulu paré/bulu paré menang moéll Pengulangan kata atau frasa di akhir larik sebagai pembuka larik berikutnya membentuk semacam rentetan yang memperlihatkan kaitan antarlarik. Ia menyerupai semacam pantun berkait. Dengan begitu, lagu dolanan itu diciptakan tidak sekadar asal jadi, melainkan dengan kesungguhan membentuk rima akhir a-a-b-b dan rentetan antarlariknya yang saling berkait.
Masih ada lagi puisi (Sunda) yang berupa nyanyian ninabobo yang sering kali dilantunkan orang tua--ibu--untuk menidurkan anaknya sebagai dendang doa dan harapan.
Néléng néng gung
Néléng néng gung
Geura gedé geura jangkung
Geura sakola ka Bandung
Geura makayakeun indung
Perhatikan dua larik awal / Néléng néng gung/ yang tak jelas maknanya seperti juga yang terjadi pada larik: trangtrang koléntrang dan cingciripit. Tetapi, / Néléng néng gung/ tampaknya sengaja dihadirkan di sana untuk membangun pola persajakan akhir dengan kesamaan bunyi /ung/. Jadi, ada pola yang sama antara trangfrang koléntrang, cingciripit, dan Néléng néng gung, yaitu larik awal yang tak jelas maknanya, tetapi penting untuk membangun rima. Dengan demikian, boleh jadi larik awal itu lebih berfungsi sebagai pembuka yang menekankan persajakan dalam larik: trangtrang koléntrang/ tingciripit/ Néléng néng gung |/ yang lalu dilanjutkan dengan rima akhir a-a-a-a, atau a-a-b-b.
Berbeda dengan Trangtrang koléntrang dan Cingciripit yang tidak menekankan pada isi pesan, dalam Néléng néng gung, pesannya jelas sebagai doa pengharapan. Lantaran ia diciptakan sebagai doa pengharapan, maka selain pesannya yang jelas itu, juga diperlukan semacam penekanan melalui pengulangan bunyi kata awal /geural. Dalam banyak buku teori atau apresiasi atau pelajaran puisi, bukankah pengulangan yang disebut sebagai repetisi itu berfungsi untuk memberi penekanan pada sesuatu yang dianggap penting. Dengan begitu, kata geura 'segera' menunjukkan pengharapan yang besar untuk (segera)
membahagiakan orang tua. Dan itu hanya mungkin dapat dilakukan, jika si anak mempunyai ilmu, jadi orang pintar, tetapi sekaligus tidak melupakan ibu yang dapat juga dimaknai sebagai representasi ibu budaya dan tanah leluhur." Boleh jadi, puisi itu diciptakan bukan oleh orang Bandung, mengingat ada pengharapan agar dapat menuntut ilmu ke kota itu. Tetapi, mengapa pula masyarakat Sunda di Bandung tidak mengubahnya menjadi, misalnya, geura sakola jauh ti Bandung atau geura sakola ka Batawi?
Begitulah, puisi bagi masyarakat (Sunda) dan masyarakat di Nusantara ini, telah menyatu dalam kehidupan. Mungkin puisi itu sekadar wujud ekspresi masyarakat yang tak jelas maknanya, seperti yang terjadi pada trangtrang koléntrang dan cingciripit. Tetapi, boleh jadi juga sebagai doa dan pengharapan, sebagaimana pesan yang terkandung dalam Néléng néng gung atau lagu dolanan anak-anak Jawa. Masyarakat menyanyikannya sekadar berdendang, tanpa punya kesadaran tentang pesan yang terkandung di dalamnya. Meski begitu, ada hal lain lagi yang terjadi pada puisi yang juga menjadi lagu dolanan anak-anak. Puisi berjudul "Ayang-Ayang Gung" kerap dinyanyıkan sebagai ekspresi kegembiraan ketika anak-anak berkumpul pada malam terang bulan. Begitu populernya puisi itu, sehingga orang cenderung mengabaikan pesannya. Perhatikan puisi "Ayang-Ayane Gung" berikut ini.
AYANG AYANG GUNG
Ayang ayang gung
Gung goongna ramé
Ménak ki mas tanu
Nu jadi wadana
Naha manéh kitu
Tukang olo-olo
Loba anu giruk
Ruket jeung kumpeni
Niat jadi pangkat
Katon kagoréngan
Ngantos kanjeng dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong
Jalan ka Batawi ngemplong
Berbeda dengan dua nyanyian anak-anak dan ninabobo tadi, puisi "Ayang-Ayang Gung" dianggap bermuatan kritik sosial berupa penolakan terhadap pejabat jemawa dan arogan yang cuma memikirkan ambisi pribadi mengejar jabatan. Masyarakat banyak yang membencinya, karena ia bersekutu dengan Kompeni (Belanda). Terlepas dari muatan kritik sosial yang terkandung di dalamnya, sebagai puisi, si penulis menyadari pentingnya keindahan (: estetika). Ia tidak membangun persajakannya pada persamaan bunyi akhir (a-a-a-a atau a-b-a-b- atau a-a-b-b), tetapi pada pengulangan suku kata akhir di awal larik. Jadi, setiap suku kata pada akhir sebuah larik, akan menjadi suku kata awal pada larik berikutnya. Maka, ketika puisi itu diterjemahkan, sebagaimana tampak dari terjemahan pada catatan kaki, puisi itu akan kehilangan kekuatan estetiknya. Dengan begitu, selain isinya sebagai kritik sosial, juga strukturnya sangat unik. Jadi, jelas sekali, pola seperti itu bukanlah karena faktor kebetulan, melainkan disusun dengan sengaja, dengan kesadaran. Puisi ini juga tidak seperti puisi akrostik, tidak juga seperti pantun berkait. Perhatikan suku kata akhir dalam setiap larik yang lalu menjadi suku kata awal pada larik berikutnya yang dicetak miring. Baru pada tiga larik terakhir, dibangun kesamaan bunyi akhir--ong: lempong-ompong-ngemplong. Tiga larik akhir itu barangkali juga sengaja dibangun sebagai kejutan atau pesan inti puisi itu.
Ayang ayang gung/Gung goongna rame/Menak ki mas tanu/Nu jadi wadana/Naha maneh kitu/Tukang olo-olo/Loba anu giruk/Ruket jeung kumpeni/Niat jadi pangkat/Katon kagorengan/Ngantos kanjeng dalem/Lempa lempi lempong/Ngadu pipi jeung nu ompong/Jalan ka Batawi ngemplong//
Sekarang kita beralih lagi ke puisi-puisi berikutnya yang berupa dua doa pengasihan dan dua mantra.
Asihan aing si leugeut teureup
Leugeut teureup angguratel
Nu ti kalér, nu ti kidul, nu ti wétan, nu ti kulon
Prek riprek paéh nafsuna
Welas asih ka awaking
Deungdeuleu sima deuleu
Deungdeuleu malik katineung
Nénjo aing sia ceurik
Ceurik sia inget ka aing
Nya aing nu boga asihan neuleu.
Dalam kedua asihan di atas, kita tidak melihat usaha menciptakan persajakan atau rima yang membangun kesamaan bunyi akhir. Keduanya cenderung menghadirkan suasana magis, menumbuhkan sugesti tentang pesona si aku. Terlepas dari perkara, apakah teks itu berfungsi sugestif atau tidak, teks itu tetap saja wujud sebagai puisi. Lalu mengapa pula di belakangnya mesti ada embel-embel tradisional, hanya lantaran anonimitas? Tidak diketahui nama penulisnya, sesungguhnya bukan alasan untuk menyebutkan sebuah karya tradisional atau modern. Jadi, barangkali diperlukan rumusan baru tentang konsep tradisional--modern dalam puisi Nusantara--Indonesia.
Sekarang mari kita memasuki mantra dalam puisi Melayu. Perhatikan teks berikut ini:
Sirih lontor, pinang lontor
terletak di atas penjuru
hantu buta, jembalang buta
aku (meng)angkatkan jembalang rusa
Pulanglah engkau kepada rimba sekampung
Pulanglah engkau kepada rimba
Pulanglah engkau kepada gaung guntung
Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu
Kedua mantra di atas diucapkan ketika seseorang hendak memasuki hutan, gunung, sungai, daerah baru atau daerah tertentu yang dianggap angker. Memasuki tempat seperti itu, seseorang seyogianya melakukan kulonuwun atau sekadar minta izin agar makhluk gaib penghuni tempat itu tidak mengganggu. Entah bagaimana mantra itu diciptakan. Tetapi, kata-kata dalam mantra sengaja dibangun sebagai alat komunikasi dengan makhluk gaib. Maka, ekspresinya harus khas mengandung kekuatan magis atau nilai sugestif. Dengan demikian, bahasa mantra menjelma menjadi ekspresi yang sama sekali berbeda dengan bahasa sehari-hari. Begitulah, mantra pada hakikatnya juga puisi. Bukankah puisi juga -meski memakai bahasa sehari-hari-tetap menunjukkan keberbedaannya dengan
ekspresi bahasa sehari-sehari sebagai alat komunikasi.
Kembali, fakta sosiologis itu menunjukkan bahwa situasi perpuisian Nusantara sesungguhnya sudah sejak lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Maka, tidak perlu heran jika lagu dolanan anak-anak, mantra, atau jangjawokan," hidup begitu saja di tengah masyarakat Nusantara sebagai bagian dari tradisi lisan. Sebelum konsep puisi, sajak, atau sanjak diterima sebagai salah satu ragam sastra, khazanah tradisi lisan itu berseliweran begitu saja tanpa ada usaha memasukkannya sebagai ragam puisi. Penyebabnya bukan karena lagu dolanan anak-anak, mantra, dan doa pengasihan, tak punya pola baku, sebagaimana yang terjadi pada pantun dan syair, melainkan lebih disebabkan oleh adanya anggapan bahwa puisi harus wujud dalam bentuk tertulis, dan jika mungkin tidak berhadapan dengan anonimitas.
Boleh jadi juga penyebabnya sebagai implikasi pengangkatan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Arus besar bahasa Indonesia telah memepet, tidak hanya bahasa etnik atau bahasa daerah, tetapi juga tradisi yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat non-Melayu. Akibatnya, kesusastraan yang berbahasa daerah pun, seperti terdesak, terpinggirkan, dan tidak lagi mendapat perhatian, dan seakan-akan kesusastraan berbahasa daerah menjadi tidak
penting lagi. Para peneliti lalu memasukkannya ke dalam kotak bernama sastra tradisional, sastra etnik, atau sastra daerah. Memang, meluasnya penyebaran dan pengaruh bahasa Melayu dibandingkan bahasa-bahasa daerah lain, menyebabkan posisi sastra Indonesia seolah-olah bergerak linear. Tanpa disadari, terjadi semacam reduksi dengan menyederhanakan perkembangan bahasa (Melayu--Indonesia) identik dengan perkembangan kesusastraan (Melayu-Indonesia). Akibatnya, pengaruh pantun dan syair jauh lebih luas dibandingkan khazanah dalam tradisi lisan yang hidup dan bergerak dalam lingkungan budaya lokal atau etnik non-Melayu. Pada gilirannya, pola pantun dan syair itu yang kemudian mendominasi penulisan puisi ketika penduduk di wilayah Nusantara mengalami pembutahurufan massal dengan diberlakukannya pemakaian huruf Latin (dalam bahasa Melayu) dan penyeragamanan ejaan bahasa Melayu. Selepas itu, pemerintah kolonial Belanda melanjutkan kebijaksanaannya di bidang politik bahasa ini dengan penyebarluasan bahasa Melayu dalam surat-menyurat, administrasi pemerintahan dan dunia pendidikan.
Konsekuensi pengangkatan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, seperti telah disebutkan, berimplikasi pada anggapan, bahwa tradisi kesusastraan Indonesia, termasuk di dalamnya puisi, berakar pada kesusastraan Melayu." Jika kita coba melacak jejak puisi Indonesia, memang agak sulit juga kita menafikan kenyataan itu. Mari kita periksa!
***
Mengawali langkah ini, saya memulai dengan mengutip dua bait pantun berikut ini:
Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati
Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
Bolehlah kita berjumpa lagi
Salah satu ciri khas yang menandai pantun8 adalah adanya dua larik pertama yang disebut sampiran atau pembayang (Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti; Kalau ada sumur di ladang/ Bolehlah kita menumpang mandi), dan dua larik kedua yang disebut isi (Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati; Kalau ada umur yang panjang! Bolehlah kita berjumpa lagi). Itulah sebabnya, persajakan dalam pantun disebut sebagai a-b-a-b. Hubungan sampiran dan isi, secara semantis sering kali terkesan tak 'nyambung'; tak ada hubungannya. Perhatikan saja, adakah kaitan antara Pisang emas dibawa berlayar dengan Hutang emas boleh dibayar atau Kalau ada sumur di ladang dengan Kalau ada umur yang panjang? Demikian juga, bagaimana kita menjelaskan hubungan antara Masak sebiji di atas peti dengan Hutang budi dibawa mati atau Bolehlah kita menumpang mandi dengan Bolehlah kita berjumpa lagi? Sebagai sebuah nasihat untuk menekankan hutang emas boleh dibayar/ hutang budi dibawa mati atau Kalau ada umur yang panjang/ Bolehlah kita berjumpa lagi, boleh saja orang beranggapan bahwa hubungan antara sampiran dan isi lebih merupakan anasir psikologis. Orang akan lebih menerima sebuah nasihat atau sindiran jika lebih dahulu diawali pembayang (sampiran). Itulah salah satu alasan, bahwa antara sampiran dan isi sesungguhnya ada kaitannya.
Sekarang perhatikan dua bait syair yang dikutip dari Syair Bidasari:
Dengarlah suatu riwayat
Raja di desa negeri Kembayat
Dikarang fakir dijadikan hikayat
Dibuatkan syair serta berniat
Adalah raja sebuah negeri
Sultan Agus bijak bestari
Asalnya bagianda raja yang bahari
Melimpahkan pada dagang berperi
Jelas di sini, dalam syair tak ada sampiran, begitu juga persajakannya: a-a-a-a yang berbeda dengan pantun. Sekarang coba perhatikan beberapa bait gurindam yang dikutip dari Pasal Kesepuluh dan Kesebelas, Gurindam Dua Belas, karya Raja Ali Haji berikut ini:
Pasal Kesepuluh:
Dengan bapa jangan durhaka
Supaya Allah tidak murka
Dengan ibu hendaklah hormat
Supaya badan dapat selamat
Dengan anak janganlah alpa
Supaya malu jangan menimpa
Dengan kawan hendaklah adil
Supaya tangan jadi kepil
Pasal Kesebelas:
Hendaklah berjasa
Kepada yang sebangsa
Hendaklah jadi kepala
Buang perangai yang cela
Hendaklah memegang amanat
Buanglah khianat
Hendaklah mulai
Jangan melalui
Perhatikanlah pola persajakan pantun (a-b-a-b), syair (a-a-a-a) atau gurindam (a-a b-b) tadi. Hampir semuanya sangat memperhatikan persajakan kesamaan bunyi akhir (a-b-a-b; a-a-a- atau a-a b-b). Apa maknanya dengan memberi penekanan pada kesamaan bunyi akhir itu? Tidak dapat disangkal, bahwa para penyair masa lalu itu, tidak hanya memperhatikan pesan moral atau nasihat yang hendak disampaikan dalam puisi-puisi mereka, melainkan juga mempertimbangkan dengan serius perkara pentingnya keindahan atau kesamaan bunyi.
Pola kesamaan bunyi akhir itulah yang kemudian merambat dan diikuti oleh para penyair berikutnya. Sangat kebetulan, mereka hidup bersamaan dengan mulai dikenalnya majalah dan suratkabar. Maka, karya-karya mereka pun dapat pula dipublikasikan melalui media massa itu. Perhatikan dengan beberapa puisi berikut ini:
A.D.
KEUNTUNGAN ANAK
1
Meski saya muda
Dicinta Tuhan Allah
Diperanakkan selamat,
Murah Tuhan ya amat,
Sudah kasih saya,
Ma bapa yang percaya!
4.
Dari itu saya suka,
Hati saya lantas buka!
Suka puji Maha Tuhan,
Dengan unjuk kehormatan,
Saya minta rendah hati,
Tuntun saya sampai mati.
M.J.
MUSIM DEREP, MUSIM MELAJO
1. Musim motong sudah datang,
Apa kita dengar itu?
Padi di sawah sudah matang,
Kita orang ramai pergi di situ.
ANONIM
SYAIR KIRIMAN
Bissmillah itu mula disebut
Dengan nama Allah Tuhan yang maqbut
Sekalian nabi sudah mengikut
Kita pun baik pula menurut.
Nah, makin kentara kini, bagaimana sesungguhnya pantun, syair dan gurindam itu merayap memasuki apa yang dikatakan sebagai puisi Indonesia periode awal. Padahal, tidak ada perbedaan mencolok antara pantun, syair dan gurindam dengan apa yang disebut puisi Indonesia periode awal itu. Sampai zaman Pujangga Baru, karakteristik pantun, syair dan gurindam masih menempel ketat dalam banyak puisi yang muncul pada masa itu. Jadi, mengapa pula harus ada garis demarkasi yang memisahlan pantun, syair dan gurindam sebagai puisi lama atau tradisional dengan puisi-puisi yang dipublikasikan dalam majalah-majalah itu. Dengan demikian, perlu kıranya kita mempertanyakan kembali dikotomi lama-baru atau tradisional-modern dalam perbincangan perpuisian Indonesia, sebab rekam jejaknya begitu jelas, begitu mudah dilacak. Periksa lagi puisi-puisi karya Muhammad Yamin ("Permintaan" dan "Tanah Air"), Mohammad Hatta ("Beranta Indera"), Rustam Effendi (“Bukan Beta Bejak Berperi"), S. Yudho (“Fajar" dan "Akh, Puspa ...") berikut ini:
PERMINTAAN
Muhammad Yamin
Mendengarku ombak pada hampirku
Debar-mendebar kiri dan kanan
Mendengarkan lagu penuh santunan
Terbitlah rindu ke tempat lahirku
Sebelah Timur pada pinggirku
Dilipuri langit berawan-awan
Kelihatan pulau penuh keheranan
Itulah gerangan tanah airku
Di mana laut debur-mendebur
Serta mendesir tiba di pasir
Di sanalah jiwaku, mulai tertabur
Di mana ombak sembur-menyembur
Membasahi Barisan sebelah pesisir
Di sanalah hendaknya, aku berkubur
TANAH AIR
Muhammad Yamin
Pada batasan, Bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai:
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatra namanya, tumpah darahku.
Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.
Pada batasan, Bukit Barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
Ia memekik, berandai-randai:
"Wahai Andalas, pulau Sumatra,
"Harumkan nama, selatan utara!
Bogor, Juli 1920
BERANTA INDERA
Mohammad Hatta
Lihatlah timur indah berwarna
Fajar menyingsing hari pun siang
Syamsu memancarkan sinar yang terang
Khayalan tersenyum berpunca indera
Angin sepoi bertiup dari angkasa
Merembus ke tanah, ranting diguncang
Margasatwa melompat ke luar sarang
Melihat beranta indera indah semata
Langit lazuardi teranglah sudah
Bintang pun hilang berganti-ganti
Cahaya Zoehari mulai muram
Hewan menerima selawat alam
Hati pun girang tiada terperi
Melihat kekayaan Subhan Allah
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Rustam Effendi
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair
Bukan beta budak Negeri
Mesti menurut undangan mair
Sarat syaraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama
Beta buang beta singkiri
Sebab laguku menurut sukma
Susah sungguh saya sampaikan
Degup-degupan di dalam kalbu
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu
Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak na'datang
Sering saya sulit menekat
Sebab terkurung lukisan mamang
Bukan beta bijak berlagu
Dapat melemah bingkaian pantun
Bukan beta berbuat baru
Hanya mendengar bisikan alun.
FADJAR
S Yudho
Di Timur sinar kejora memancar
Kemerlip bintang bagaikan disebar
Fajarlah mulai.
Gilang gemilang awang dipandang
Kabut meliput berarak melayang
Menarik hati.
Angin sayup meniup dingin terasa
Menyegar badan, menderita lara
Di alam berseri.
Di sawah padi mengalun diayun
Sepoi, mengerosok rimbun di kebun
Di saat sepi.
Kutinjau embun di daun berkilau
Bak nilam di sinar surya menyilau
Di pagi hari.
Mendengar aku peladang berlagu
Menuju ke sawah cangkul dibahu
Bersenang hati.
Berkicau murai menyambut matari
Penawar fajar tanda pagi hari
Lama kunanti.
AKH, PUSPA ...!
S Yudho
Bagai seroja
Kenangan beta
Tunduk merokok
Di senja sejuk
Pagi menanti
Si matahari
Semerbak mekar
Karena sinar.
Memeluk dagu
Hati merayu
Teringat kasih
Mengapa sedih
O jiwa! beta
Merasa papa
Melihat kembang
Jauh dipandang.
Pertanyaannya kini: apa yang membedakan pantun, syair, gurindam dengan puisi-puisi para penyair Pujangga Baru itu? Bukankah dalam puisi-puisi itu, pola pantun, syair, dan gurindam, masih dapat kita telusuri jejaknya? Bahkan, puisi Rustam Effendi yang dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane sebagai puisi baru yang mengubur model puisi lama, sesungguhnya merupakan bentuk pantun dengan isi yang lain. Demikian juga, jika dikatakan puisi lama terikat oleh berbagai aturan, soneta karya Muhammad Yamin dan Mohammad Hatta juga mengikuti aturan tertentu?
Dalam sejumlah besar esainya yang dimuat majalah Poedjangga Baroe, Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane dengan tegas menyebut puisi-puisi Pujangga" Baru telah menenggelamkan puisi-puisi lama. Meski begitu, jika dicermati benar, sesungguhnya -sejauh pengamatan-para penyair Pujangga Baru itu pun belum sepenuhnya terbebas dari pengaruh pantun, syair, dan gurindam. Lalu mengapa harus ada pembedaan antara puisi lama dan puisi baru jika prosesnya masih kuat memperlihatkan jejak kesusastraan sebelumnya?
Dikotomi puisi Indonesia lama dan baru itu, lalu berkembang menjadi puisi (sastra) tradisional dan modern. Maka, ketika sejumlah pengamat sastra Indonesia menelusuri sejarah sastra Indonesia, tiba-tiba saja titimangsa kesusastraan Indonesia dimulai dari zaman (pra) Balai Pustaka sebagai kesusastraan Indonesia modern dan kesuastraan zaman sebelumnya serta-merta dikatakan sebagai sastra tradisional. Jika secara tegas dikatakan, bahwa akar dan asal bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu, maka mestinya akar dan dasar sastra Indonesia juga bersumber dari sana, yaitu kesusastraan Melayu. Dengan demikian, perjalanan kesusastraan Indonesia bersumber dari sana, karena kenyataannya memang begitu. Tetapi, tidak berarti pula karya sastra atau puisi yang tidak ditulis dengan huruf Latin, seperti huruf Pegon, Jawi, atau huruf lain yang bukan Latin, serta-merta dikatakan sebagai puisi lama atau tradisional. Mungkin lebih tepat dikatakan dengan sastra sebagai sastra atau puisi Nusantara yang tidak sama atau puisi Indonesia.
***
Pertanyaan berikutnya: bagaimana dengan puisi Nusantara? Jika konsep Nusantara mewadahi sastra etnik, maka konsep sastra Nusantara juga di dalamnya termasuk sastra etnik. Kenyataannya, yang sejak awal kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan etnik ditulis atau yang menggunakan medium bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia itulah yang membedakan sastra Indonesia dan sastra etnik atau sastra Nusantara. Dengan demikian, dikotomi sastra Indonesia modern (baru) dan sastra Indonesia tradisional (lama), sesungguhnya telah menafikan ruh dan ideologi yang mengeram di sana.
Tambahan lagi, kajian (kritik sastra) tentang sastra (puisi, prosa, drama) Indonesia dalam beberapa dekade ini berkutat pada strukturalisme. Maka, sudah dapat diduga, analisisnya tidak akan jauh dari persoalan intrinsik. Teks sastra dibongkar berdasarkan strukturnya, dan tidak menyentuh persoalan yang melatarbelakangi dan pesan yang melatardepaninya. Jadi, jika hendak melacak dan menelusuri ruh dan ideologi yang mengeram dalam sastra (: puisi) Nusantara, hendaklah tidak mengabaikan kebudayaan dan masyarakat yang melahirkannya.
Kesimpulannya: puisi Nusantara # puisi Indonesia. Kiranya begitu, semoga begitu!
Biodata Penulis
Maman S Mahayana, lahir di Cirebon, 18 Agustus 1957. Pengajar FIB-Universitas Indonesia, sejak 2009 bertugas sebagai dosen tamu di Hankuk Uníversity of Foreign Studies, Seoul, Korea.
Sumber foto penulis: Tribun Bali
0 comments:
Post a Comment