Gembala
Melihatkan anak berlagu dendang
Seorang sahaya di tengah padang
Tiada berbaju buka kepala.
Berteduh di bawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah di senja-kala.
Terdengar olehku bunyi serunai
Melagukan alam, nan elok permai.
Mendengar puputmu menurutkan kerbau
Maulah aku menurutkan dikau.
Sumber: Jong Sumatera lewat Sanjak sajak Muda
Bahasa, Bangsa
Erwirb es um es zu besitzen.
---Goethe
Tidur si anak di pangkuan bunda,
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;
Buaian tergantung di tanah
Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri.
Berduka suka, sertakan sayu;
Perasaan serikat menjadi berpadu,
Dalam bahasanya, permai merdu.
Dalam bahagia bala dan baya;
Bernapas kita pemanjangkan nyawa,
Dalam bahasa sambungan jiwa,
Di mana Sumatera, di situ bangsa,
Di mana Perca, di sana bahasa.
Sejakkan kecil muda teruna,
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah,
Ingat pemuda, Sumatera malang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang
Sumber: Jong Sumatra Februari 1921
Perasaan
Mendengarkan riak desir-mendesir
Menuju ke pantai di tepi bergisir
Berlagu dendang sumber-menyumber.
Mencari tepi tanah pesisir
Lalu terhempas di padang pasir
Buih berderai, putih bertabur.
Mendengarkan gelombang memecah di karang
Rasakan putus jantungku gerang
Terdengarlah suara merdu menderang:
"Perasaan tinggi pemuda sekarang"
Gamelan
Diiringi awan kanan dan kiri;
Bagaikan benda berseri baiduri,
Sedangkan bintang timbul-timbulan.
Seorang sahaja sayang sendiri;
Digundah lagi di malam hari,
Turun naik bunyi gamelan.
Dibawa angin ke mana tujunya.
Kemudian hilang dalam udara.
Tetapi hatiku tiada terkira;
Siang dan malam dimabuknya.
Bukit Barisan
Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang:
Putuslah nyawa hilanglah badan,
Lamun hati terkenal pulang.
Berteduh langit malam dan siang
Terdengar kampung memanggil taulan;
Rasakan hancur tulang belulang.
Badan merantau sakit dan senang
Membawakan diri untung dan malang.
Terkenang bapak sudah berpulang
Berteduh selasih kemboja sebatang.
Sumber: Pemuda Sumatera lewat Pujangga Baru II/3, September 195
Biodata penyair
MOHAMMAD YAMIN lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat 24 Agustus 1903. Ia salah seorang pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang memengaruhi sejarah persatuan Indonesia. Sebagai penyair dan sastrawan, ia juga dikenal sebagai pemula bentuk soneta dalam kesusastraan Indonesia modern.
Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, jurnal berbahasa Belanda pada 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik. Pada 1922, ia muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, "Tanah Air"; tetapi yang dimaksud tanah airnya waktu itu yaitu Minangkabau di Sumatra.
Pada tahun 1928 Yamin menerbitkan kumpulan sajaknya yang berjudul "Indonesia, Tumpah Darahku". Penerbitan itu bertepatan dengan Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dalam kumpulan sajak ini, Yamin tidak lagi menyanyikan Pulau Perca atau Sumatra saja, melainkan telah menyanyikan kebesaran dan keagungan Nusantara.
Dramanya, "Ken Arok dan Ken Dedes" yang berdasarkan sejarah Jawa, terbit pada tahun yang sama. Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esai, novel sejarah, dan puisi. Ia juga menerjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore. la meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun.
-----------------------------
Sumber keseluruhan tulisan: Buku Lautan Waktu: Sepilihan Puisi Klasik Indonesia
Sumber foto penyair: Wikipedia
0 comments:
Post a Comment