SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA lahir di Natal, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, 11 Februari 1908, dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun. Pernah menjadi Redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930--1933), kemudian mendirikan dan memimpin Majalah Pujangga Baru (1933--1942 dan 1948--1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947--1952), dan Konfrontasi (1954--1962).
Buku-bukunya antara lain: "Tak Putus Dirundung Malang" (novel, 1929), "Dian Tak Kunjung Padam” (novel, 1932), “Tebaran Mega" (kumpulan sajak, 1935), “Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia” (1936), "Layar Terkembang" (novel, 1936), “Anak Perawan di Sarang Penyamun” (novel, 1940), “Kebangkitan Puisi Baru Indonesia” (kumpulan esai, 1969), “Grotta Azzura" (novel tiga jilid, 1970 & 1971), “Lagu Pemacu Ombak” (kumpulan sajak, 1978), “Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman” dan “Uraian Nyanyian Sunyi” (1978), “Kalah dan Menang" (novel, 1978), “Perempuan di Persimpangan Zaman” (kumpulan sajak, 1985), “Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan" (1985), dan "Sajak-Sajak dan Renungan” (1987).
la menerjemahkan buku Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944) dan Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)
Sutan Takdir merupakan tokoh terkemuka dalam sejarah kesusastraan dan pemikiran kebudayaan di Indonesia. Dia banyak menulis puisi, novel, esai-esai sastra, bahasa serta tulisan ilmiah mengenai filsafat, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Dia juga menaruh minat pada sejarah intelektual Islam, khususnya pemikiran Ibn Rusyd dan menjelang akhir hayatnya kepada Muhammad Iqbal. Berikut adalah puisi-puisinya.
Sesudah Topan
Liukan, lengkungkan, patahkan, hempaskan jangan sepala.
Tundukkan puncak menyembah bumi,
Serakkan ranting menabur tanah.
Kacaulah perdu, adulah pohon, rusak remuk berpatah-patahan,
Gugurkan buah segala, tua muda jangan dihitung.
Apabila hujan reda kembali, sinar suria turun ke tanah.
Beta melihat tunas memecah dan di tanah lembah kecambah
mengorak daun.
10 Mei 1935
Sumber: Tebaran Mega (Dian Rakyat, Jakarta, 1935)
KepadaTaman Siswa
Tidak, tidak Tuhanku!
Tenteram dan damai waktu tidur di malam sepi.
Terteram dan damai berbaju putih di dalam kubur.
Tetapi hidup ialah perjuangan.
Perjuangan semata lautan segara.
Perjuangan semata alam semesta.
Hanya dalam berjuang beta merasa tenteram dan damai.
Hanya dalam berjuang berkobar Engkau Tuhanku di dalam dada.
24 Juli 1935
Sumber: Tebaran Mega (Dian Rakyat, Jakarta, 1935)
Awan Berkuak
Bercerai menipis di langit biru
Satu sendu alun di kalbu
Menurut mega Berkuak menjauh.
Seganas ini hidup di dunia
Mengapa gerang dicerai pisah
Segala yang asik bercinta?
Mengalirlah air mata berduyun-duyun.
Dalam sukma pilu mengeluh,
Menyerbu sinar ke dalam kabut,
Menjelma kembali awan menjauh.
Beta menyambut Suria bersinar.
Segar gembira sukma menggetar
Menunda melanda pergi berjuang
14 Mei 1935
Sumber: Tebaran Mega (Dian Rakyat, Jakarta 1935)
Seindah Ini
Terdengarkah kepadamu himbau burung di hutan
sunyi meratapi siang di senja hari?
Remuk hancur rasa diri memandang sinar lenyap
menjauh di balik gunung.
Perlahan-lahan turun malam menutupi segala pandangan.
*
Wahai hati, alangkah sedap nikmatnya engkau pandai menangis!
Apa guna kutahan, apa guna kuhalangi?
*
tulus-penyerah seindah ini:
Sedih pedih menangis, waktu menangis!
Girang gembira tertawa, waktu tertawa!
Marak mesra bercinta, waktu bercinta!
Berkobar bernyala berjuang, waktu berjuang!
10 Agustus 1937
Pernah dimuat di Pujangga Baru, Agustus, 1937
Sumber: Lagu Pemaeu Ombak. (Dian Rakyat, Jakarta, 1978)
Kembali
Melihat alam sepermai ini,
Terasalah beta darah baru
Gembira berdebur di dalam kalbu.
Gemilang sekar bermegah warna.
Mega muda bermain di awang,
Kemilau embun menyambut terang.
Turut gembira turut mencipta
Dalam alam indah jelita
Siang terkembang malamlah tiba:
Percuma dahlia tiada berbunga.
Sumber: Tebaran Mega (Dian Rakyat, Jakarta, 1935)
Sumber tulisan: Lautan Waktu: Sepilihan Puisi Klasik Indonesia
Sumber foto: Wikipedia
0 comments:
Post a Comment