"Halah masih kecil udah main puisi-puisian! Hayo puisi buat siapa?"
Pernahkah Anda mendengar perkataan di atas? Mungkin kalimat-kalimat semacam itu seringkali muncul pada era dulu, ketika anak-anak remaja masih gemar menulis surat bermedia kertas di atas garis-garis lurus mendatar. Tidak jarang ada yang menuliskan ungkapan batinnya hingga lebih daripada tiga lembar kertas.
Meskipun demikian, predikat ini masih dikenakan pada sastra bagi sebagian orang sampai saat ini. Itulah sebabnya, tak perlu heran jika sastra hanya dimaknai sebagai ungkapan cinta oleh mereka. Maka, dengan begitu sastra pun menjadi tidak penting bagi sebagian orang. Untuk apa bersastra, misalnya. Atau, bersastra hanya membuang-buang waktu dan melemahkan jiwa.
Lantas, memang sudah sesuaikah predikat itu disematkan pada sastra?
Penyair, misalnya, memang menggunakan klitik "-mu" dalam puisi karyanya. Tetapi, itu tidak semata-mata tertuju pada kekasihnya (pacar atau pasangan hidup). Bisa saja kepada saudara, negeri, presiden, atau bahkan Tuhan.
Selain itu, sastra tentu tidak hanya bertemakan cinta. Bisa saja tentang hutan, sungai, atau banjir dan bencana alam lainnya. Para sastrawan berusaha menggunggah jiwa penikmat sastra untuk lebih peduli terhadap dunia sekitar.
Bagian yang perlu digarisbawahi adalah, tema yang diangkat dalam sastra itu beragam. Sebutlah puisi-puisi berisi kritik terhadap pemerintah, sangatlah jauh dari tema percintaan muda-mudi. Sosok Wiji Thukul malah dianggap ancaman karena puisi-puisinya berisi kritik pedas yang ditujukan kepada Pemerintah Orde Baru masa itu.
Kini pun, masih ada sastrawan yang gigih menuangkan isi batinnya guna hal-hal yang positif bagi semua. Soal cinta? Ah, tentu tetap ada, tapi tidak melulu tentang perasaan itu.
0 comments:
Post a Comment