Rina Ratih dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat. Menyenangi dunia tulis-menulis sastra sejak duduk di bangku SMA. Karya berupa puisi, cerpen, dan cerita anak dipublikasikan dalam beberapa harian atau majalah, seperti majalah Hai, Femina, Anita Cemerlang, harian Kedaulatan Rakyat dan Minggu Pagi.
Beberapa puisinya telah dikumpulkan dalam sebuah buku, di antaranya, Kreativitas (IKIP Muh, 1984), Musim Semi (IKIP Muh, 1984), Aku Angin (DKY, 1986), dan Risang Pawestri (DKY, 1990).
Karya berupa cerita anak, di antaranya, Saputangan Bersulam Emas (Gama Media, 1989), Siasat Putri Indin Suri (Gama Media, 2000), Sang Pembangkang (Pustaka Pelajar, 2011), Putri Emas dan Burung Ajaib (Pustaka Pelajar, 2013). Sedangkan, beberapa cerpennya dikumpulkan dalam buku Perempuan Bercahaya (Pustaka Pelajar, 2012). Cerpennya “Harum Mulut Bayi” telah dipublikasikan dalam harian Kedaulatan Rakyat (12 Desember 1999) sedangkan cerpen “Wajah yang Bercahaya” masuk dalam antologi bersama Perempuan Bermulut Api (2009).
Selain menulis karya sastra, juga menulis karya nonsastra, dipublikasikan oleh penerbit Pustaka Pelajar, antara lain Citra Perempuan di Tengah Kekuasaan Budaya Patriarki (2011).
Rina Ratih semakin dikenal sebagai pengarang atau penulis yang begitu produktif. Hal ini karena di setiap ulang tahunnya, ia selalu menandai dengan satu karya baru dalam bentuk buku. Adapun alasan menerbitkan buku setiap ulang tahunnya adalah, menurutnya menandai hari ulang tahun lebih bermakna.
Cerpen Pilihan:
Wajah yang Bercahaya
Rina Ratih
SELAMA tiga puluh tahun lebih aku merindukan suami menjadi imam di setiap salatku. Aku rindu bersimpuh menjadi makmum dari laki-laki yang telah memberi empat orang anak. Rindu. Dan kerinduan itu pupus bersamaan dengan kembalinya dia pada sang pencipta. Aku tepekur di pusaranya, tanah merah di bawah kemboja. Kuelus nisan yang bertuliskan namanya, tergambar segala kebaikan, kesetiaan, kejujurannya, tapi air mataku tetap menetes penuh penyesalan.
‘’Kau jadi wanita penghuni syurga karena telah mengajari suami salat dan ngaji.’’ Bisik ibu suatu hari setelah melihatku mengajarkan bacaan surat-surat pendek pada Mas Ripto. Saat itu aku tersenyum bangga.
‘’Wah, hebat! Akhirnya kau menerima Mas Ripto juga. Katanya kau ingin suami yang pinter ngaji!’’ Elis mencibir dan berbisik di telingaku menggoda setelah aku resmi menikah.
‘’Eh, pahalanya lebih banyak yang ngajarin ngaji daripada diajarin ngaji, ya, kan, Ti?’’ Kata Fatimah, sahabatku. Aku tersenyum.
‘’Bagiku, memiliki suami yang baik, jujur, dan penuh pengertian seperti Mas Ripto, lebih berharga dari yang lain.’’
‘’Meski cita-citamu tak kan terwujud?’’ Elis menggodaku lagi.
‘’Suatu saat, ia kan menjadi imamku. Doakan saja,’’ Kataku.
‘’Kau yakin?’’ Elis memojokkan. Aku mengangguk yakin.
Selama tiga puluh tahun, langit biru cerah. Kurengkuh dayung bersama laki-laki yang kucintai sampai kulahirkan empat orang anak yang lucu dan sehat. Kami bentangkan layar dan perahu menuju lautan. Panorama tampak indah, alun gelombang di malam hari di bawah cahaya bulan adalah gambaran rumah tanggaku. Tetapi selama berlayar di lautan itu, tak juga rinduku pupus. Mas Ripto asyik memancing dengan anak-anak dan sibuk mengemudikan kapal. Sementara yang kurindukan dan kuinginkan tak juga terwujud: rindu ia menjadi imam di setiap salatku, rindukan ia melafadkan ayat-ayat suci, rindukan diriku bersimpuh dan mencium tangannya seusai salat.
Lama kusentuh batu nisan bertuliskan namanya, ketika dia pergi.
‘’Sudahlah, Ti. Kau masih punya anak-anak.’’ Bujuk kakak sulungku.
Yah aku masih punya anak-anak! Kataku. Terasa agak ringan langkahku meninggalkan pusaranya ketika tangan anak sulung merengkuh pundak dan anak yang lain mengiringiku dari belakang. Terasa sebagian dari diriku hilang. Apalagi sesampainya di rumah, kamar kami terasa sepi. Biasanya aku melihat Mas
Ripto terbaring sakit. Matanya yang cekung menerawang, tangannya yang kurus melambaiku lemah jika memerlukan sesuatu. Ketika dia pergi, kulihat semua lukisan dan foto kenangan bersamanya berubah kusam.
‘’Bu, kami pamit. Bulan depan kami ke sini lagi!’’ Sulung pamit tiga hari kemudian diikuti istri dan anak.
‘’Saya juga pulang dulu. Nanti saya telepon kalau sampai rumah.’’ Anak kedua mencium tanganku diikuti suami dan anak-anaknya. Begitulah, hanya beda hari, keempat anakku kembali ke kotanya masing-masing. Kalau sudah begitu, tinggal aku sendiri bersama Mbok Sum dan Kirno, sopir Mas Ripto yang juga masih setia pada keluarga kami.
“Salahmu, Ti. Kau sekolahkan anak-anak jadi sarjana. Sekarang semua dapat pekerjaan dan punya jabatan di luar kota. Tinggal kau sendiri, kesepian!’’ Kata Elis ketika berkunjung ke rumah. Dia masih tinggal bersama dua anaknya.
‘’Tapi kau beruntung memiliki mereka. Kalau bukan mereka, kau tidak akan berangkat haji tahun ini, kan Ti?’’ Lihat aku, masih direpoti dua anak nganggur di rumah!’’ Kata Elis sambil memeluk lembut ketika aku pamit akan berangkat haji. Aku menangis di pelukannya. Indahnya punya sahabat!
‘’Berangkat dengan siapa saja, Ti?’’ Tanya Elis.
‘’Hanya aku dan Kirno yang dibiayai anak-anak!’’ Jawabku.
‘’Hanya Kirno? Mbok Sum gak sekalian?’’ Tanyanya lagi.
‘’Tidak, dia sudah terlalu tua. Nggak kuat dan takut naik pesawat, katanya.’’
‘’Baiklah, kudoakan kau dapat jodoh di sana!’’ Elis berbisik di telinga.
‘’Keterlaluan! Kita sudah tua!’’ Jawabku mencibir.
‘’Tapi kau masih kuat dan cantik! Eh, jangan marah. Siapa tahu Tuhan memberi jodoh yang bisa memenuhi cita-citamu!’’ Katanya menggoda. Aku mengerutkan kening menatapnya.
‘’Aku tahu cita-citamu, Ti. Jangan lupa, aku sahabatmu sejak kita gadis. Kau ingin suami yang rajin salat dan pinter ngaji, 'kan? Kau ingin punya suami yang menjadi imam di setiap salatmu, kan?’’ Kata-kata Elis memerahkan wajahku dan mempercepat detak jantungku.
‘’Sudahlah. Doakan aku selamat kembali ke rumah ya?’’ Kataku pada Elis.
Malam menjelang keberangkatanku ke tanah suci, aku bersujud dan tepekur sendirian. Kata-kata Elis terngiang. Benar, orang lain saja masih mengingat cita-cita dan harapan hidupku punya suami yang rajin salat dan pinter ngaji, apalagi aku sendiri. Kerinduan yang tiada berujung. Aku memang sudah tua, tapi seandainya... seandainya ada seseorang yang diberikan Tuhan padaku. Menjadi imam di depanku tanpa kuminta, aku akan mencium tangannya dan dengan ikhlas aku kan bersedia jadi istrinya.
Anak cucu memelukku penuh air mata. Kirno, sopir kami dipesan si sulung agar selalu menjagaku selama di sana. Dengan santun, Kirno mendengarkan nasihat-nasihat si sulung agar selalu memantau kesehatanku.
Terbang meninggalkan tanah air menuju Mekkah, Masjidil Harom, Jabal Tsur, Arafah, Muzdalifah, Terowongan Mina, Jabal Nur, Madinah dan Masjid Nabawi selama empat puluh hari adalah keindahan dan kekuasaan Allah yang diperlihatkan kepada umat manusia. Tidak ada seorang muslim pun yang tidak menitikkan air mata selama empat puluh hari perjalanan ke tanah suci itu. Dengan kesetiaan seorang sopir, Kirno selalu siap menemani ke mana aku pergi dan selama di sana, ia menjadi pelindung yang bisa kuandalkan.
Setelah empat puluh hari perjalanan yang indah dan tak kan terlupakan, sampai di tanah air tepat pukul delapan malam. Anak cucu memeluk penuh kerinduan dan linangan air mata. Kami dibawa ke masjid dekat rumah, sebagai rasa syukur telah selamat dan sehat, aku segera mengambil air wudu karena belum salat Isya. Tanpa kuduga, Kirno pun demikian. Maka, disaksikan keluarga dan tetangga yang sejak tadi menjemput, aku dan Kirno salat isya di masjid. Ia berdiri di depan, jadi imam, sementara aku bersimpuh di belakangnya jadi makmum.
Selesai salat, setelah doa-doa kulantunkan. Aku menangis pelan. Sadar, Kirno masih membelakangiku. Aku menangis terisak. Dia menolehku ke belakang. Dengan ketidaksadaran, aku meraih tangan Kirno dan mencium tangannya. Kusno terperanjat dengan sikapku. Aku juga tercenung dan terpana dengan apa yang telah kulakukan di depan banyak orang di dalam masjid itu.
Diam-diam air mataku meleleh di pipi. Isakku bertambah keras, bahuku serasa berguncang. Lama-lama tangisku tak terkendali. Mesjid hening. Si sulung memelukku erat, Kirno menghiburku. Oh Tuhan! Tangisku semakin keras dan tak terkendali. Orang-orang di masjid mengerumuni, memegang bahuku, menghiburku, tapi tangisku semakin keras. Bukan, bukan karena aku selamat sampai di rumah, bukan karena terharu menjadi hajah, tapi tubuh itu. Tubuh Kirno yang tadi membelakangi menjadi imam tiba-tiba kulihat wajahnya bercahaya dan ketika Kirno berbalik memandangku, kulihat wajah Mas Ripto, suamiku. Oh Tuhan, haruskah aku menjadi dayang sumbi? Ataukah jadi majikan dan mengingkari janji hati? Langit terasa berputar, orang-orang juga terlihat berputar, lalu pelan-pelan berubah gelap!
Gedongan Baru, Februari 2005
Kedaulatan Rakyat, 3 April 2005
Sumber tulisan: Buku SOSOK-SOSOK INSPIRATIF: ANTOLOGI BIOGRAFI DAN KARYA CERPENIS YOGYAKARTA dan Laman Mediamu
Sumber foto: Facebook
0 comments:
Post a Comment