ZIARAH BATU
bahasa batu yang diam, keras dalam
dentum arus tak ke mana
udara dalam cucuran darah
menetes beratus tahun
mengikis keringat kebisuan nurani
dentum arus tak ke mana
udara dalam cucuran darah
menetes beratus tahun
mengikis keringat kebisuan nurani
bahasa batu yang dingin
beku meremas ribuan abad rindu dendam
mencari-cari udara terbuka
kekosongan yang menyimpan dengus
napas hewan-hewan liar
yang mencari tanah
dalam sejengkal jiwanya
beku meremas ribuan abad rindu dendam
mencari-cari udara terbuka
kekosongan yang menyimpan dengus
napas hewan-hewan liar
yang mencari tanah
dalam sejengkal jiwanya
kupilih bahasa batu
buat memecah keangkuhan nuranimu
buat memecah keangkuhan nuranimu
OBSESI HITAM PUTIH
—untuk lukisan
Gusti Alit
Gusti Alit
aku terperangkap lagu hujan
di antara ilalang: bulan yang itu juga
mendaki dukaku yang pernama
di antara ilalang: bulan yang itu juga
mendaki dukaku yang pernama
lereng-lereng dan tebing hati tua
melukiskan ketakutan.
kabut melingkar
dalam gelombang jerit serangga
di hutan jauh.
melukiskan ketakutan.
kabut melingkar
dalam gelombang jerit serangga
di hutan jauh.
setetes langit hitam menghiburku
di antara daun-daun terbang, angsa dan
sekawanan bangau mencari keteduhan
yang menggenang duka-renta dalam sepercik
cahaya merah
di antara daun-daun terbang, angsa dan
sekawanan bangau mencari keteduhan
yang menggenang duka-renta dalam sepercik
cahaya merah
matahari mengabut dalam genangan bulan
menggantung di kekosongan kalbu.
di manakah bertemu antara segala
yang terpisahkan?
menggantung di kekosongan kalbu.
di manakah bertemu antara segala
yang terpisahkan?
tak ada yang bisa kubaca
dari pikiran tua yang mencari segala
yang tiba-tiba hilang. selain ketakutan.
lalu bisikan dari entah siapa-apa, “kekasih,
malam itu getar lolong hewan liar!”
dari pikiran tua yang mencari segala
yang tiba-tiba hilang. selain ketakutan.
lalu bisikan dari entah siapa-apa, “kekasih,
malam itu getar lolong hewan liar!”
Maret, 1997 – Januari, 1998
DUNIA MENUJU SEKARAT
—sebuah lukisan realis
dunia menuju sekarat
jalanan berdarah
tikungan membentur jidatmu yang renta
jiwa tenggorok bagai kakek tua
menunggu gugur daun, tulang menua
dan rabun yang memangkas usia demi usia
jalanan berdarah
tikungan membentur jidatmu yang renta
jiwa tenggorok bagai kakek tua
menunggu gugur daun, tulang menua
dan rabun yang memangkas usia demi usia
dunia menuju sekarat: kematian,
puing peradaban, dan nurani yang gersang.
puing peradaban, dan nurani yang gersang.
tengoklah hatimu
mencercit bagi jerit rem
membesut aspal ngilu jiwamu
mencercit bagi jerit rem
membesut aspal ngilu jiwamu
dunia menuju sekarat:
nurani mengubur dalam segala tanda.
menggumpal dalam rahasia.
tak ada dibaca lewat segala bahasa!
nurani mengubur dalam segala tanda.
menggumpal dalam rahasia.
tak ada dibaca lewat segala bahasa!
Maret, 1997 – Februari, 1998
Tentang Penyair
Dorothea Rosa Herliany
lahir di Magelang. Puisinya dimuat Suara Pembaharuan, Pikiran Rakyat, Republika, Media Indonesia, Bernas, Suara Merdeka, Horison, Basis, Kalam, Dewan Sastra (Malaysia), Solidarity (Filipina), dan lain-lain. Menulis sejak SMA, puisinya terantologi dalam Nyanyian Gaduh, Matahari yang Mengalir, Menoreh I, Progo, Kepompong Sunyi, Nikah Ilalang, Blencong, Karikatur dan Sepotong Cinta, Antologi Puisi Jawa Tengah, Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka, dan lain-lain.
Sumber tulisan: buku Jentera Terkasa
Sumber foto penyair: Ensiklopedia Kemdikbud
Sumber Ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment