LINGKUNGAN
tanpa embun tanpa kuntum bunga dan burung-burung
lentur dahan-dahan di pagi sunyi
kedamaian dan nyaman alam sekitar?
salam yang jarang dan tegur sapa
dirangkul kasih sayang
dari lengan-lengan hutan yang rindang?
dari bisik nurani hati yang teduh
dari sepi dan gaduh yang membunuh diri
dari gelisah dan resah yang mati?
- dari nikmat yang tiada mendekat
dari hakikat yang tiada makrifat
yang belum menemukan
kemesraan
di mana-mana?
Tamban, 1973
PUNTIK: 1 LITER AIRMATA
meracun lidah daratan
ragi meragi cuka
kabut kekalkan duka
wajah kelam tungku benua
dibunuhnya tekad peladang
tapi petarung tangguh;
oo, takkan mati dari dalam!
memasak 1 liter airmata
bersimbah rintih dengan doa
di Puntik, di Puntik...
*) sejenis pakis
MERATUS BERPESTA
mengotak-atik arti Bupati
disangkanya barang langka
permata berlian di etalase
terkurung di toko intan Martapura
yang di Belimbing yang di Remo
yang di Tihan yang di Angkipih
Siapakah mau menginjakkan kakinya;
"jalan kita berdanau berduri rumpun salak"
raut wajahnya, bulat panjangnya
batang hidung dan bulu matanya"
mereka amati susun hurufnya
mereka ramal jengkal langkahnya
sebentar lewat pesan dan janji
bagai bumbu penyedap diusung baki
Meratus pesta daging landak
bulunya ke matahari menjadi tombak!
Maninim, April 2005
HUTAN WANA RAYA
Tamban, Februari 2008
Tentang Penyair
Bernama asli H. Ibramsyah. Dalam dunia puisi ia menggunakan nama pena Ibramsyah Amandit dan di kalangan sastrawan Kalsel dirinya lebih dikenal dengan sebutan si Janggut Naga.
Mulai menulis sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1971 ia aktif dalam diskusi dan pembacaan puisi Persada Club Yogyakarta di bawah bimbingan Umbu Landu Paranggi.
Di samping rajin menulis puisi ia juga rajin mendalami ajaran tasawuf melalui guru-gurunya yaitu: KH Gusti Abdussamad, KH Ramli Tatah Daun, KH Ahmad Arsyad, KH Muhammad Nur Tangkisung, KH Sam’ani, Guru H. Basman Tinggiran, KH Abdul Mu’in yang membaiatnya dalam Thariqat Akhirul Zaman, dan KH Muhammad Zaini Ghani yang membaiatnya dalam Thariqat Syamaniah.
Keakrabannya di dunia tasawuf membuat hampir seluruh puisinya kental dengan pemikiran tasawuf. Hal ini dapat kita lihat dalam setiap puisinya yang pernah dimuat dalam berbagai media.. Di antaranya yang dimuat di Mercu Suar Yogya (1971), Sampe Balikpapan (1978), Banjarmasin Post Banjarmasin, (1980-an).
Puisi-puisinya juga pernah dimuat dalam antologi puisi bersama antara lain Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998 ), La Ventre de Kandangan (2004), Sajak-Sajak Bumi Selidah (2005), Seribu Sungai Paris Berantai (2006), Cinta Rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), Konser Kecermasan (2010), Menyampir Bumi Leluhur (2010), Seloka Bisu Batu Benawa (2011), Kalimantan Dalam Puisi Indonesia (2011), Sungai Kenangan (2012), Tadarus Rembulan (2013), dan dalam Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah Manusia (2014). Buku kumpulan puisinya Badai Gurun dalam Darah (Penerbit Tahura Media, Banjarmasin, 2009).
Ibramsyah Amandit juga telah menerima beberapa penghargaan antara lain, Penghargaan Seniman Sastra dari Kantor Wilayah Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan (1990), Penghargaan Seniman Sastra dari Bupati Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan (2006), Penghargaan Hadiah Seni bidang Sastra dari Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan (2009), dan Penghargaan Astaprana dari Kesultanan Banjar (2013).
-------------------------------------
Sumber foto penyair: Facebook
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment