Oleh Tajuddin Noor Ganie
Fenomena Sastra Pers
Selama kurun waktu 1942--1945, pelampiasan gairah
bersastra di Kalimantan Selatan (Kalsel) didukung oleh 6 buah koran/majalah yang membuka rubrik
sastra secara berkala, yakni
5. SK Borneo
Shimbun Banjarmasin
6. SK Borneo
Shimbun Kandangan
Koran/majalah di atas secara langsung maupun tidak langsung telah menciptakan situasi yang kondusif bagi lahirnya kelompok sastrawan Kalsel generasi perintis zaman kolonial Jepang 1942--1945. Pada tanggal 10 Pebruari 1942, pasukan Kaigun/Rikugun Jepang berhasil merebut kota Banjarmasin tanpa perlawanan yang berarti dari pasukan militer Belanda.
Namun, sebelum kota Banjarmasin jatuh ke tangan pasukan Kaigun/Rikugun Jepang, pasukan milter Belanda telah melakukan aksi bakar habis atas semua sarana vital yang ada di kota Banjarmasin. Kantor percetakan SK Suara Kalimantan milik AA Hamidhan juga menjadi sasaran aksi pengrusakan yang dilakukan secara brutal oleh aparat militer pemerintah kolonial Belanda.
Setelah berusaha keras, AA Hamidhan akhirnya berhasil memperbaiki kerusakan yang terjadi pada mesin cetak korannya. Pada tanggal 5 Maret 1942, AA Hamidhan sudah berhasil menerbitkan kembali SK Kalimantan Raya. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama, Komandan pasukan Kaigun/Rikugun Jepang yang menjadi penguasa baru di kota Banjarmasin melarangnya melanjutkan penerbitan korannya itu.
AA Hamidhan dan para wartawan SK Kalimantan
Raya lainnya kemudian direkrut untuk bekerja di SK Borneo Shimbun Banjarmasin yang berada di bawah pengawasan ketat
pemerintah kolonial Jepang di Borneo Menseibu Cokan (MBC).
Sikap yang sama juga dilakukan pemerintah kolonial Jepang terhadap para
wartawan yang bekerja di Majalah Purnama
Raya Kandangan (Haspan Hadna), Majalah Puspa
Wangi Kandangan, dan Majalah Pawana Rantau.
Mereka juga dilarang melanjutkan penerbitan majalahnya masing-masing, dan selanjutnya diminta bergabung sebagai wartawan propaganda di SK Borneo Shimbun Kandangan. Akibat adanya kebijakan politik informasi terpusat itu, maka tidak ada pilihan lain bagi sastrawan Kalsel ketika itu, kecuali memublikasikan karya sastranya di SK Borneo Shimbun Banjarmasin dan SK Borneo Shimbun Kandangan.
Namun, ada satu hal unik yang tampaknya perlu diungkap, para sastrawan
yang pernah mempublikasikan karya sastranya di SK Borneo Shimbun sangat terkesan dengan sikap pribadi para wartawan
Jepang yang bertugas sebagai pengatur roda penerbitannya.
Para wartawan Jepang dimaksud dikenang sebagai orang-orang dengan kepribadian yang sangat menyenangkan. Meskipun SK Borneo Shimbun berada di bawah kontrol pemerintah kolonial Jepang yang terkenal refresif, namun mereka tidak lupa memberikan honorarium kepada para sastrawan yang karya sastranya dimuat di SK Borneo Shimbun.
Menurut Artum Artha, honorarium untuk sebuah puisi ketika itu antara 3--4 ringgit. Sementara honorarium untuk sebuah cerpen 10 ringgit (Tabloid Wanyi Banjarmasin, Edisi 12/Tahun 1/16 September 1999:6). Akibatnya, ramailah para sastrawan Kalsel sezaman yang tertarik untuk mempublikasikan karya sastranya di SK Borneo Shimbun. Mereka inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai sastrawan Kalsel generasi perintis zaman kolonial Jepang 1942--1945.
Nah, jika pada masa sekarang ini, masih ada surat kabar yang tidak memberikan honorarium kepada para sastrawan yang telah menyumbangkan karya sastranya, maka itu berarti pemilik surat kabar yang bersangkutan jauh lebih kejam dibandingkan dengan pemerintah kolonial Jepang yang terkenal kejam itu.
Selain aktif mempublikasikan karya sastranya di SK Borneo Shimbun di Banjarmasin dan di Kandangan, sastrawan Kalsel
sezaman juga ada yang berhasil mempublikasikan karya sastranya di berbagai
koran/majalah yang terbit di luar daerah, yakni.
1. Majalah Waktu
Medan
2. Majalah Taman
Siswa Medan
3. Majalah Panca
Warna Medan
4. Majalah Bhakti
Denpasar
5. Majalah Kebudayaan
Timur Jakarta
6. Majalah Pustaka
Timur Yogyakarta
7. Majalah Terang
Bulan Surabaya
8. Majalah Sastrawan
Malang
Semua koran/majalah dimaksud juga berada di bawah pengawasan ketat pemerintah kolonial Jepang yang berkuasa di daerah-daerah tsb. Bahkan, beberapa di antaranya diterbitkan oleh aparat pemerintah kolonial Jepang sendiri, yakni Majalah Kebudayaan Timur Jakarta dan Majalah Pustaka Timur Yogyakarta.
Koran/majalah tsb di atas secara langsung maupun tidak langsung telah
menciptakan situasi yang kondusif bagi lahirnya kelompok sastrawan Kalsel
generasi perintis zaman kolonial Jepang 1942--1945.
Fenomena Sastra Buku
Roman/Novel
1. Putra
Mahkota Yang Terbuang, Merayu Sukma, 1942. Penerbit Syaiful
Merayu Sukma merupakan satu-satunya sastrawan Kalsel yang berhasil menerbitkan roman/novelnya pada zaman kolonial Jepang 1942--1945. Namun, Merayu Sukma bukanlah sastrawan Kalsel sezaman, ia adalah sastrawan Kalsel generasi perintis zaman kolonial Belanda 1930--1942.
Roman/novel Merayu Sukma di atas dapat terbit karena isinya tidak
menyalahi ketentuan yang diberlakukan oleh Keimin Bunka Shidobo (Pusat
Kebudayaan Jepang).
Naskah Drama
1. Pandu
Pertiwi, Merayu Sukma, 1943. Jakarta : Penerbit Majalah Kebudayaan Timur
Naskah drama Merayu Sukma di atas merupakan naskah drama pemenang sayembara yang diadakan oleh Keimin Bunka Shidobo (Pusat Kebudayaan Jepang). Pandu Pertiwi merupakan naskah drama pertama yang berhasil diterbitkan oleh seorang sastrawan Kalsel di luar daerah.
Elite Sastrawan
Berdasarkan bahan-bahan yang berhasil dikumpulkan oleh Tim
Puskajimastra Kalsel Banjarmasin diketahui bahwa elite sastrawan Kalsel
generasi perintis zaman kolonial Jepang 1942--1945 ada sebanyak 17 orang, yakni.
1. Abubakar Razi
2. Ahmad Samidri
3. Ahmad Zakaria (Ahzar)
4. Aliansyah Ludji
5. Anggraini Antemas
6. Asyikin Noor Zuhry
7. Fakhruddin Mohani
8. Gusti Maswan
9. Husien Razak
10. Ilham Se Banjar
11. Maseri Matali
12. Sam Martin Darul
13. Sir Rosihan
14. Syahran Syahdan
15. Tamar Eka
16. Zafury Zumry
17. Zainal
0 comments:
Post a Comment