Umar Kayam lahir di Ngawi-Kertosono, Jawa Timur, 30 April1932.Dikenal sebagai akademisi, sosiolog, budayawan, novelis, dan cerpenis. Sebagai seorang akademisi, ia lulus sarjana muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955). Lantas gelar Magister of Art (M.A.) diperoleh dari Universitas New York, Amerika Serikat (1963), dan meraih gelar Ph.D. di Universitas Cornell, Amerika Serikat (1965).
Di birokrasi, pernah menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI (1966-1969), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969--1972), Diektur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanudin, Ujungpandang (1975-1976), dan anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Umar Kayam banyak melakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya.
Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, dikenal sebagai salah seorang pelopor dalam terbentuknya kehidupan teater kampus. Saat menjadi Dirjen Radio dan Televisi, dikenal sebagai tokoh yang membuat kehidupan perfilman menjadi semarak. Sewaktu menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969--1972), mempelopori pertemuan antara kesenian modern dengan kesenian tradisional. Pada saat menjadi dosen di almamaternya, ia mengembangkan studi sosiologis mengenai sastra, memperkenalkan metode grounded dengan pendekatan kultural untuk penelitian sosial, memberikan inspirasi bagi munculnya karya-karya seni kreatif baru. Karya Umar Kayam, antara lain Seribu Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan cerpen, 1972) mendapat hadiah majalah Horizon (1966/1967), Totok dan Toni (cerita anak, 1975), Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Sri Sumarah (kumpulan cerpen, 1985, juga terbit dalam edisi Malaysia, 1981), Para Priyayi (novel, 1992), dan Parta Karma (kumpulan cerpen, 1997). Cerpen-cerpennya diterjemahkan oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam Sri Sumarah and Other Stories (1976) dan From Surabaya to Armageddon (1976). Wafat pada tanggal 16 Maret 2002 setelah menderita patah tulang paha pangkal kiri. Umar Kayam meninggalkan seorang istri dan dua anak.
Cerpen Pilihan:
Mbok Jah
Umar Kayam
SUDAH dua tahun, baik pada lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun gunung” keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas majikannya, keluarga Mulyono, di kota. Meskipun sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu rumah, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan yang baik dan penuh tepa slira dari seluruh keluarga itu telah memberinya rasa aman, tenang dan tenteram. Buat seorang janda yang sudah terlalu tua itu, apakah yang dikehendaki lagi selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan tidak mau lagi berhubungan dengannya. Tarikan dan pelukan istri dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya. Di rumah keluarga Mulyono ini dia merasa mendapat semuanya. Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu. Dia merasa menjadi buruh tumpangan gratis.
Dan harga dirinya memberontak terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya. Dia masih memiliki warisan sebuah rumah desa yang meskipun sudah tua dan tidak terpelihara akan dapat dijadikannya tempat tinggal di hari tua. Dan juga tegalan barang sepetak dua petak masih ada juga. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan anak jauhnya di desa. Pasti mereka semua dengan senang hati akan menolongnya mempersiapkan semua itu. Orang desa semua tulus hatinya. Tidak seperti kebanyakan orang kota, pikirnya. Sedikit-sedikit duit, putusnya. Maka dikemukakannya ini kepada majikannya. Majikannya beserta seluruh anggota keluarganya, yang hanya terdiri dari suami istri dan dua orang anak, protes keras dengan keputusan Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali dari rumah tangga ini, kata ndoro putri. Dan siapa yang akan mendampingi si Kedono dan si Kedini yang sudah beranjak dewasa, desah ndoro kakung. Wah, sepi lho mbok kalau tidak ada kamu. Lagi, siapa yang dapat bikin sambel terasi yang begitu sedap dan mlekok selain kamu, mbok, tukas Kedini dan Kedono. Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh Mbok Jah. Tetapi keputusan Mbok Jah sudah mantap. Tidak mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya. Hingga jauh malam mereka tawar menawar. Akhirnya diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun gunung” dua kali dalam setahun yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri. Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu Sekaten dan Idul Fitri dia memang datang. Seluruh keluarga Mulyono senang belaka setiap kali dia datang. Bahkan Kedono dan Kedini selalu rela ikut menemaninya duduk menglesot di halaman masjid kraton untuk mendengarkan suara gamelan Sekaten yang hanya berbunyi tang-tung-tang-tung grombyang itu. Malah lama kelamaan mereka bisa ikut larut dan menikmati suasana Sekaten di masjid itu.
“Kok suaranya aneh ya, Mbok. Tidak seperti gamelan kelenengan biasanya.”
“Ya, tidak Gus, Den Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi Mohammad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk mendengarkan ini, Mbok.”
“Lha, ya tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat pejamkan mata kalian.”
“Nanti rak kalian akan bisa masuk.”
Mereka menurut. Dan betul saja, lama-lama suara gamelan Sekaten itu enak juga didengar.
Selain Sekaten dan Idul Fitri itu peristiwa menyenangkan karena kedatangan Mbok Jah, sudah tentu juga oleh-oleh Mbok Jah dari desa. Terutama Jadah yang halus, bersih, dan gurih, dan kehebatan Mbok Jah menyambal terasi yang tidak kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya dalam satu stoples dan kalau habis, setiap hari dia masih akan juga menyambelnya. Belum lagi bila dia membantu menyiapkan hidangan lebaran yang lengkap. Orang tua renta itu masih kuat ikut menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya masih dikerjakannya dengan sempurna. Opor ayam, sambel goreng ati, lodeh, srundeng, dendeng ragi, ketupat, lontong, abon bubuk kedelai, bubuk udang, semua lengkap belaka disediakan oleh Mbok Jah. Dari mana energi itu datang pada tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya.
Setiap dia pulang ke desanya, Mbok Jah selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dari pelukan Kedono dan Kedini. Anak kembar laki perempuan itu, meski sudah mahasiswa selalu saja mendudukkan diri mereka pada embok tua itu. Ndoro putri dan ndoro kakung selalu tidak lupa menyisipkan uang sangu beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah lupa wanti-wanti pesan selalu kembali setiap Sekaten dan Idul Fitri.
“Inggih, ndoro-ndoro saya dan gus-den rara yang baik. Saya pasti akan datang.”
Tetapi begitulah. Sudah dua Sekaten dan Lebaran terakhir Mbok Jah tidak muncul. Keluarga Mulyono bertanya-tanya jangan-jangan Mbok Jah mulai sakit-sakitan atau jangan-jangan malah ….
“Ayo, sehabis Lebaran kedua kita kunjungi Mbok Jah ke desanya.” Putus ndoro kakung.
“Apa bapak tahu desanya?”
“Ah, kira-kira ya tahu. Wong di Gunung Kidul saja, lho. Nanti kita tanya orang.”
Dan waktu untuk bertanya ke sana-kemari di daerah Tepus, Gunung Kidul, itu ternyata lama sekali. Pada waktu akhirnya desa Mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua siang. Perut Kedono dan Kedini sudah lapar meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang seharusnya sebagian untuk oleh-oleh Mbok Jah.
Desa itu tidak indah, nyaris buruk, dan ternyata juga tidak makmur dan subur. Mereka semakin terkejut lagi waktu menemukan rumah Mbok Jah. Kecil, miring dan terbuat dari gedek dan kayu murahan. Tegalan yang selalu diceritakan ditanami dengan palawija nyaris gundul tidak ada apa-apanya.
“Kula nuwun, Mbok Jah, Mbok Jah.”
Waktu akhirnya pintu dibuka mereka terkejut lagi melihat Mbok Jah yang tua itu semakin tua lagi. Jalannya tergopoh tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya.
“Walah, walah, ndoro-ndoro saya yang baik, kok bersusah-susah mau datang ke desa saya yang buruk ini. Mangga, mangga, ndoro, silakan masuk dan duduk di dalam.”
Di dalam hanya ada satu meja, beberapa kursi yang sudah reyot dan sebuah amben yang agaknya adalah tempat tidur Mbok Jah. Mereka disilakan duduk. Dan keluarga Mulyono masih ternganga-nganga melihat kenyataan rumah bekas pembantu mereka itu.
“Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih, minal aidin wal faijin. Semua dosa-dosa saya supaya diampuni, nggih, ndoro-ndoro, gus-den rata.”
“Iya, iya, Mbok. Sama-sama saling memaafkan.”
“Lho, ini tadi pasti belum makan semua to? Tunggu, semua duduk yang enak, si mbok masakkan, nggih?”
“Jangan repot-repot, Mbok. Kita tidak lapar, kok. Betul!”
“Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah hampir asar. Saya masakkan nasi tiwul, nasi dicampur tepung gaplek, nggih.”
Tanpa menunggu pendapat ndoro-ndoro-nya mBok Jah langsung saja menyibukkan dirinya menyiapkan makanan. Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka kemudian menyaksikan bagaimana Mbok Jah yang di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan makanan dengan kompor elpiji dengan nyala api yang mantap, di dapur desa itu, yang sesungguhnya juga di ruang dalam tempat mereka duduk, mereka menyaksikan si mbok dengan susah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup kering mengeluarkan api. Akhirnya semua makanan itu siap juga dihidangkan di meja. Yang disebutkan sebagai semua makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus dan sambal cabe merah dengan garam saja. Air minum disediakan di kendi yang terbuat dari tanah.
“Silakan ndoro, makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambalnya Mbok Jah tidak pakai terasi karena kehabisan terasi dan temannya cuma daun singkong yang direbus.”
Mereka pun makan pelan-pelan. Mbok Jah yang di rumah mereka kadang-kadang masak spaghetti atau sup macaroni, di rumahnya hanya mampu masak tiwul dengan daun singkong rebus dan sambal tanpa terasi. Dan keadaan rumah itu? Ke mana saja uang tabungannya yang lumayan itu pergi? Bukankah dia dulu berani pulang ke desa karena yakin sanak saudaranya akan dapat menolong dan menampungnya dalam desa itu? Keluarga itu, seakan dibentuk oleh pertanyaan batin kolektif, membayangkan berbagai kemungkinan. Dan Mbok Jah seakan mengerti apa yang sedang dipikir dan dibayangkan oleh ndoro-ndoronya segera menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua kok, ndoro. Jadi uang sangu saya dari kota lama-lama ya habis buat bantu ini dan itu.”
“Lha, lebaran begini apa mereka tidak datang to, Mbok?”
Mbok Jah tertawa.
“Lha, yang dicari di sini apa lho, ndoro. Ketupat sama opor ayam?”
“Anakmu?”
Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa kecut.
“Saya itu punya anak to, ndoro?”
Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkan piring mereka dan langsung memegang bahu mbok mereka.
“Kau ikut kami ke kota ya? Harus! Sekarang juga bersama kami!”
Mbok Jah tersenyum, tapi menggelengkan kepalanya.
“Simbok tahu kalau anak-anakku akan menawarkan ini. Kalian anak-anakku yang baik. Tapi tidak. Gus Den Rara, rumah si mbok di hari tua ya di sini. Nanti Sekaten dan Lebaran akan datang saya pasti datang. Betul,” Mereka pun tahu itu keputusan yang tidak bisa di tawar lagi. Lalu mereka pamit mau pulang. Tetapi hujan turun semakin deras dan rapat. Mbok Jah mengingatkan ndoro kakung-nya kalau hujan begitu akan susah mengemudi. Jalan akan tidak kelihatan saking rapatnya air hujan turun. Di depan hanya akan kelihatan warna putih dan kelabu. Mereka pun lantas duduk berderet di amben di beranda memandang ke tegalan. Benar tegalan itu berwarna putih dan kelabu.
Diambil dari Kumpulan Cerita Pendek Parta Krama, Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 1997
Sumber tulisan: buku Sosok-Sosok Inspiratif: Antologi Biografi dan Karya Cerpenis Yogyakarta
Sumber foto: Wikipedia
0 comments:
Post a Comment