SUNGGUH UNIK orang Melayu. Mereka mempunyai kekerabatan keluarga yang kental hingga mempunyai tradisi mudik setiap lebaran bagi perantau. Bagi mereka, keluarga bukan sekadar keluarga kecil, ayah, ibu dan anak. Keluarga bagi mereka itu ayah, ibu, anak beserta kakek, nenek, keponakan, paman, bibi dan lain-lain. Bagi orang Melayu, mobil yang paling laku adalah mobil yang bisa menampung keluarga besarnya. Lihatlah, kalau orang Melayu bepergian, tentunya dia akan membeli oleh-oleh yang banyak untuk sanak saudaranya. Jamaah Haji dari Indonesia terkenal barang bawaan yang banyak dan isinya banyak oleh-oleh untuk sanak saudara.
Mudik sudah menjadi agenda tahunan para perantau di seluruh penjuru tanah air pada setiap lebaran. Tak peduli berapa banyak biaya dan tenaga dikeluarkan untuk mudik. Yang penting pada hari lebaran bisa berkunjung ke orang tua di kampung halaman. Tradisi mudik hanya dapat dimengerti para perantau yang sudah merasakan bagaimana rasanya jauh dari kampung halaman. Coba dengar lagu Melayu, "Aku Pulang" yang mendayu-ndayu suaranya. Begitulah perasaan perantau bila mau mudik.
Begitu juga yang saya jalani sekeluarga. Sejak lulus SMA, saya sudah merantau ke lain kota untuk melanjutkan kuliah. Setelah lulus perguruan tinggi, saya merantau bekerja ke luar pulau sampai Bontang, Kalimantan Timur. Sudah puluhan kali saya mudik membayangi usiaku yang menapak kepala 4 sampai anak menginjak angka 3.
Kesibukan mudik dimulai waktu minta izin cuti karena pekerjaan harus diatur supaya kantor tidak kosong semua. Lalu pesan tiket pesawat Bontang--Balikpapan. Tidak mudah mendapatkan 5 tiket pesawat untuk sekeluarga. Terlebih waktu cuti sekitar lebaran. Kami harus berebut tiket bersama karyawan lain yang pesan tiket. Biasanya pada hari tertentu dijadwalkan pesan tiket dan pada dini hari sudah banyak karyawan yang antre tiket. Bila tak dapat tiket kita bisa naik mobil sekitar 5 jam perjalanan. Setelah tiket Bontang Balikpapan didapat, perjuangan tersendiri mencari 5 tiket untuk Balikpapan--Yogya. Tiketnya ada tetapi harganya sudah 2--3 kali lipat. Pernah harga tiket mencapai Rp2,1 juta, padahal harga normal tiket sekitar Rp600--800 ribu. Atau ada alternatif lain, terbang lewat Surabaya yang tiketnya relatif lebih murah yaitu sekitar Rp1,3 juta, padahal tiket normal sekitar Rp400--500 ribu.
Siang itu kami sekeluarga sudah mendarat di Airport Juanda Surabaya untuk keperluan mudik pada H-5. Penumpang terlihat berjubel di bandara. Kami sudah menyiapkan mobil dengan mencarter mobil Surabaya--Solo, tempat kampung halaman--dengan harga sekitar Rp550 ribu. Kami langsung tancap gas menyususuri jalan Surabaya menuju Solo. Sepanjang perjalanan padat dengan kendaraan lain para pemudik. Jalan-jalan dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang. Truk-truk besar memenuhi jalan sekitar Surabaya.
Kami melewati Mojokerto. Di sekitar jalan tanaman pada layu. Kami melewati Jombang yang sungai di pinggir jalannya juga kering. Jalanan panas dan berdebu. Biasanya pada bulan September puncaknya musim kemarau di Jawa dan hampir tak ada hujan. Jalan mendekati Ngawi kami tempuh melewati hutan jati yang meranggas diterpa kemarau. Di sekitar jalan Sragen-Solo biasanya dipenuhi pedagang yang jualan semangka dan jeruk bali yang besar-besar. Kami membeli beberapa untuk menambah kesegaran waktu berbuka nanti. Ada sekitar 5 jam kami melalui perjalanan darat Surabaya--Solo.
Menjelang sore waktu berbuka, kami sudah sampai di rumah orang tua. Tentunya suka cita mengiringi kedatangan kami. Orang tua dengan tergopoh-gopoh dan berwajah gembira menyambut cucunya. "Piye kabare? Ayo-ayo istirahat dulu... Wajahnya berbinar. Tiada hal yang paling membahagiakan orang tua selain dikunjungi anak cucunya pada hari Lebaran.
Kami mengisi waktu dengan mengobrol dengan orang tua. Si cucu tentunya mendapat perhatian lebih karena jarang bertemu. Lalu kami bertemu saudara yang lain dengan rombongan anak-anaknya. Pada hari-hari menjelang Lebaran mereka pada berdatangan dengan membawa mobil sendiri. Meski wajahnya kuyu kecapekan karena menjadi sopir melintasi perjalanan darat lebih dari 24 jam. Padahal jalan normal bisa ditempuh sekitar 11 jam.
"Jalanan macet di Nagreg. Saya sahur di sekitar Purwokerto...," kata si Budi yang berangkat dari Bandung sehabis buka puasa.
"Jalanan merayap. Asyik juga konvoi mudik. Kami istrirahat di Cirebon," kata si Kakak dari Jakarta.
"Ini perjalanan paling lama Jakarta--Solo. Lebih daripada 24 jam. Saya sempat tidur di dekat pompa bensin di sekitar Tegal," kata Joko, saudara lain yang berangkat dari Jakarta pada H-2.
Itulah romantika para pemudik dengan kendaraan darat dari Jakarta atau Bandung ke arah Jawa Tengah. Meskipun tiap tahun mengalami hal yang sama, mereka tak kapok juga. Sepertinya memang harus menempuh ritual kemacetan di jalan berjam-jam untuk menikmati Lebaran. Seperti orang mendaki gunung, harus merasakan capeknya berjalan mendaki berjam-jam untuk mendapatkan kenikmatan pemandangan di atas gunung. Semua kecapekan akan sirna bila bertemu saudara dan sanak keluarga. Terlebih setelah merasakan hidangan istimewa Lebaran masakan Ibu.
Pagi itu cuaca cerah. Setelah sholat Id, kami bersama-sama menikmati masakan Ibu, opor ayam kampung dengan lontong, gudeg, sambal goreng santan kulit sapi dan diberi bubuk kedelai. Kami nikmati sambil bercanda dengan saudara dalam suasana lebaran. Nyam, nyam. Nikmatnya tidak ada habisnya. Ibu dengan gembira meladeni kami seperti sekian puluh tahun lalu. Sepertinya kenangan masa kecil hadir tiba-tiba. Membuat kami menjadi seolah-olah anak kecil lagi tanpa memikirkan problem pekerjaan dan rumah tangga. Inilah momentum Lebaran yang ditunggu-tunggu.
Belum sampai lama, beberapa tetangga sudah berkunjung. Dan kami saling mengunjungi tetangga dekat untuk bersilaturahim dengan hidangan melekat yang tak habis-habis disantap. Perut rasanya tak muat juga. Kami juga mengunjungi saudara jauh. Biasanya ada pertemuan trah atau keluarga besar. Kami biasanya menyediakan uang untuk dibagi dengan para keponakan yang masih kecil. Mereka tertawa riang. Seperti kami dulu.
Kami bertemu juga dengan kawan lama. Semacam reuni sekolah. Kami bercanda tak ada habisnya. Kalau bertemu kawan SMA, umur serasa sama dengan murid SMA karena perbincangan masih seputar masa lalu. Kalau bertemu kawan kuliah, umur serasa mahasiswa. Inilah jawabnya, kenapa acara reuni begitu diminati karena membuat mimpi seolah masih muda. Lebaran bisa menjadi beragam makna. Makanya arti mudik bisa berarti beragam kepentingan dan sampai sekarang peminatnya tak juga berkurang. Termasuk saya.
***
Pada hari menjelang Lebaran, saya masih juga melihat acara di TV tentang liputan mudik lebaran di ruang tengah. Hampir semua stasiun TV memutarnya. Seperti biasa diselingi perdebatan penentuan hari Idul Fitri, Selasa atau Rabu. Saya hanya dapat mengenangkan kenangan tahun lalu waktu mudik.
Tahun ini kami sekeluarga menikmati Lebaran di Bontang. Belum lama, dalam suatu acara pengajian Ramadhan, Ustad Dr. Daud Rasyid Sitorus dari Jakarta berkata bahwa sekarang ini banyak sekali kaum muslim tidak menggunakan waktunya dengan baik. Pada saat malam lailatul qodar malah mereka banyak disibukkan oleh belanja keperluan lebaran dan ritual mudik yang kebanyakan untuk kepentingan dunia. Mendekati lebaran masjid tampak lengang karena jamaahnya berkurang dan di kota besar jamaah pindah ke mall dan pasar. "Seharusnya kalau cuti untuk I'tikaf di masjid. Menyongsong malam lailatul qodar...," begitu pesannya.
Saya masih mengingat pesan ustad dan mengenangkan orang tua di kampung halaman yang merindukan cucunya. Tuhan Maha Bijaksana..
Kaltim Post, 4 September 2011
Tentang Sunaryo Broto
SUNARYO BROTO, adalah peserta Dialog Borneo-Kalimantan asal Bontang, Karyawan Pupuk Kaltim. Menulis cerpen, artikel, puisi, catatan perjalanan dan lain-lain ke beberapa media masa. Beberapa bukunya telah terbit. Di antaranya, "Biarkan Kami" Bermain (Antologi Puisi), "Hijrah" (Antologi Puisi), "Catatan Haji Sebuah Hati", "Tentang Waktu" (kumpulan puisi) dan "Pertemuan di Kebun Raya" (kumpulan cerpen).
Karya puisi dan cerpennya dimuat dalam Buku "Ensiklopedia Sastra Kaltim", "Kalimantan dalam Prosa Indonesia", "Kalimantan dalam Puisi Indonesia", "Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia". Ketiga buku terakhir, editornya Karrie Layun Rampan. Namanya masuk dalam Buku "Biografi Pengarang Kaltim" terbitan Kantor Bahasa Kaltim.
-----------------------------------------
Sumber tulisan: buku Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment