DUSUN Limbayung letaknya agak ke udik-udik, jadi terasinglah dari dunia megah. Dusun itu tidak berapa besar; jumlah rumahnya tak lebih dari tiga puluh buah, tetapi penduduknya rukun dan damai, menyebabkan penghidupan mereka itu makmur jua.
Tersebutlah seorang guru mengaji, bernama Malim Bungsu. Konon ilmunya tak berapa dalam, akan tetapi kajinya baik. Dia kuat beribadah, selalu merendahkan diri dan pada waktu yang terluang ia selalu tafakur dan zikir. Oleh karena itu ia amat disegani oleh isi kampung itu. Maka ia pun dapat panggilan "tuan guru".
Adalah tuan guru itu beranak empat orang, keempat-empatnya perempuan. Sebagai kebiasaan manusia, bila anaknya perempuan saja, maka inginlah hatinya hendak beranak laki-laki. Tiap-tiap ia lepas sembahyang tiadalah ia khali daripada berdoa ke hadirat Habiburrahman, mudah-mudahan Yang Maha Pengasih itu mengurniakan dia anak laki-laki. Dengan kodrat Ilahi, isterinyapun hamillah. Mulai dari saat itu, makin kuatlah tuan guru tadi beribadah. Kadang-kadang berjam-jam lamanya ia khalwat, seorang diri berdoa dengan khusuknya, senantiasa dipohonkannya supaya ia beroleh anak laki-laki.
Sebulan lepas, sebulan datang, maka saat isterinya itupun sampailah. Petang harinya isterinya itu pun mulai merasa sakit-sakit. Sebagai orang yang disegani, tak usahlah tuan guru itu berpayah-payah menjemput bidan. Demikianlah pada malam itu, orang tua-tua dan bidan-bidan, sudah banyak di rumah itu. Sakit perempuan itu makin terasa, jangkanya tak menjelang besok, lahirlah anaknya.
Sesudah sembahyang Isya, Malim Bungsu, asyik mendoa memuji Tuhan, memohonkan rahmatnya. Ia khusuk benar, sedikit pun tidak beranjak dari tikar sembahyangnya.
Hari sudah jauh larut malam, setengah perempuan-perempuan tua itu sudah tidur, tetapi Malim Bungsu masih mengaji mendoa jua.
Tersebut pula seorang orang hukuman lari dari tutupan. Sudah beberapa hari ia mengembara di dalam hutan hendak menyembunyikan dirinya. Akan tetapi perutnya memaksa ia keluar, mencuri ke rumah orang. Pada malam itu, iapun sampai ke dusun itu. Entah karena rumah tuan guru itu disangkanya rumah orang berada, entah karena berketepatan saja-wallahu alam, tetapi pada malam itu mulailah ia mencungkil jendela rumah itu, berkebetulan benar bilik perempuan yang hendak bersalin itu.
Jendela itu terbuka. Pencuri itu meninjau ke dalam, sedang guru masih mendoa jua di ruang luar. Perempuan-permpuan yang ada dalam kamar itu tersentak bangun, lalu memekik minta tolong kepada tuan guru itu:
"Laki-laki, tuan! Laki-laki, tuan!” teriak mereka itu.
"Alhamdulilah -- alhamdulilah!" jawab tuan guru itu mengeraskan doanya.
"Laki-laki, tuan! Laki-laki, tuan!" teriak perempuan-perempuan itu sekali lagi. "Alhamdulilah, syukur", ujar tuan guru itu. "Ya Allah. Engkau perkenankan kiranya pintaku!” Pencuri itu meluncur lari.
Di ruang tengah kedengaran bunyi langkah tuan guru, mulutnya komat-kamit menyerukan, "Alhamdulilah, syukur -- syukur -- syukur!"
la masuk ke bilik itu, hendak melihat anaknya yang laki-laki itu. Betapa takjubnya memandang isterinya masih macam biasa jua, dan anaknya yang disangkanya laki-laki itu tak tampak, sedang isterinya menyumpah-nyumpah.
"Mana anak kita?" tanyanya.
"Sudah lari," jawab isterinya bersungut-sungut.
Sumber Kumpulan cerita pendek Kawan Bergelut, penerbit N.V. NUSANTARA, 1961
Tentang Soeman H.S.
Soeman H.S. lahir pada 1904 di Bengkalis, Riau, dan meninggal dunia di usia 95 tahun. Dia sempat berprofesi sebagai guru Bahasa Melayu dan belajar menulis di bawah bimbingan gurunya yang juga seorang sastrawan, Mohammad Kasim. Kumpulan cerita pendek Kawan Bergelut (1941) adalah karyanya yang paling banyak dibahas. Dia juga menulis novel pertamanya, "Kasih Tak Terlarai" (1929), yang berkisah tentang sepasang kekasih yang kawin lari. Novel lainnya, "Percobaan Setia" (1932), mengenai seorang anak muda yang harus menghadapi tipu daya orang lain sebelum dapat menikahi kekasih hatinya.
--------------------------------------------
Sumber tulisan: Odah dan Kuli Kontrak (Sepilihan cerpen klasik Indonesia).
Sumber foto buku: Arsip pribadi.
0 comments:
Post a Comment