Dua ekor burung kertas
sepasang warna merah dan putih
dari persegi empat dilipat susah payah oleh seorang bocah
ketika ditolakkannya ke udara terbang rendah memburu mimpi
sia-sia kepak sayapnya
kalau akhirnya membentur matahari
patah sayap dan kakinya
Sepasang burung kertas merah dan putih
dilipat dalam mimpi seorang bocah
ketika hinggap di pucuk cemara
tiba-tiba air matanya beruraian
meratapi warna yang hilang entah ke mana
tidak juga berkibaran di pucuk tiang bendera
sementara wajah si bocah pucat pasi
sebab ia merasa bersalah telah menyimpan zat pewarna
di saku celananya
Lalu cepat-cepat dilipatnya kertas yang berwarna merah
membentuk dua kemungkinan, entah burung atau kapal api
lalu dilarutkan ke sungai darah mencari jiwa yang tertinggal
dilipatnya pula kertas yang berwarna putih
membentuk istana putih di suatu negeri bawah sadar
Sesaat sepi lalu merenung
akankah merah berwarna merah lagi dan putih berwarna putih pula
bila semua enggan berbagi diri
Tiba-tiba kebekuan menyeretnya ke ruang waktu yang begitu asing
karena gelap ia terjerembab, lututnya berdarah terbentur batu cadas
darah menggenang dan seketika menjelma menjadi telaga
yang menenggelamkan seisinya
Orang-orang tidak bisa bersuara, hanya dia seorang, bocah tadi
"inilah firdausi yang terlahir ke dunia," katanya
orang-orang kembali membisu, tapi semua mafhum
kalau itu fantasi duniawi
sebab memetik kata dari daun sama dengan dzikir khusyuk kepada-Nya
dari persegi empat dilipat susah payah oleh seorang bocah
ketika ditolakkannya ke udara terbang rendah memburu mimpi
sia-sia kepak sayapnya
kalau akhirnya membentur matahari
patah sayap dan kakinya
Sepasang burung kertas merah dan putih
dilipat dalam mimpi seorang bocah
ketika hinggap di pucuk cemara
tiba-tiba air matanya beruraian
meratapi warna yang hilang entah ke mana
tidak juga berkibaran di pucuk tiang bendera
sementara wajah si bocah pucat pasi
sebab ia merasa bersalah telah menyimpan zat pewarna
di saku celananya
Lalu cepat-cepat dilipatnya kertas yang berwarna merah
membentuk dua kemungkinan, entah burung atau kapal api
lalu dilarutkan ke sungai darah mencari jiwa yang tertinggal
dilipatnya pula kertas yang berwarna putih
membentuk istana putih di suatu negeri bawah sadar
Sesaat sepi lalu merenung
akankah merah berwarna merah lagi dan putih berwarna putih pula
bila semua enggan berbagi diri
Tiba-tiba kebekuan menyeretnya ke ruang waktu yang begitu asing
karena gelap ia terjerembab, lututnya berdarah terbentur batu cadas
darah menggenang dan seketika menjelma menjadi telaga
yang menenggelamkan seisinya
Orang-orang tidak bisa bersuara, hanya dia seorang, bocah tadi
"inilah firdausi yang terlahir ke dunia," katanya
orang-orang kembali membisu, tapi semua mafhum
kalau itu fantasi duniawi
sebab memetik kata dari daun sama dengan dzikir khusyuk kepada-Nya
Banjarmasin, 1995
Tentang Penyair
M.S. Saillillah, lahir di Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Menulis puisi, penyiar radio, aktor dan sutradara, berperan dalam sejumlah pertunjukan teater Sanggar Budaya Kalimantan Selatan.
Sering menjadi juri lomba baca puisi, lomba baca puitisasi Al Quran, lomba bakisah bahasa Banjar dan festival teater. Puisinya dipublikasikan di sejumlah media, antara lain di acara puisi UMSIS RRI Banjarmasin. Mutiara, '88 (UMSIS, 1989) dan Jendela Tanah Air (1995) adalah antologi yang memuat puisinya. Pernah menjadi sekretaris Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan, pengurus PARFI Cabang Kalimantan Selatan. Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (1998).
-------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Seloka Bisu Batu Benawa
0 comments:
Post a Comment