Derai-Derai Angin di Ujung Daun
pisau karet toreh mengalir pelan putih darah segelas hati
menetes perlahan di urat-urat pohon menanak gores luka
jadi sekeping empedu di selaput mentari lewat resah dedaun
Jadi beku di tangan penyadap seorang perempuan.
Jalan-jalan menaik menapak batu, pepohonan, ilalang runcing
di ujung rambat kolam mata air dingin dalam dekap pagi di pancur
sungai.
gerai-gerai putih warna pelangi kalbu sutra biru langit
di arakan keranda pagi serunai mengiris tentang cuaca
luluh senja mendekap seperti ada sukma yang terbuang.
Banjarbaru, 12 Mei 2011
Tuhan Berkata Lain
layari birunya ombak dan angin yang mengendus di perut bumi
di sampan itu
adalah perjanjian disetujui, masih ingat?
belum bernyala seperti matahari
kaca-kaca cahaya belum disuguhi penglihatan
belum dilap, masih berdebu, senyum wahai putih sorban.
Bila sampai batas waktu 40 hari purnama memancar
Tuhanmu memberi seutas tali kasih
kejarlah duniamu seolah hidup selamanya maka:
terangi pelitamu dalam zikir besok akan mati.
La ilaha illallah Muhammad kekasihNya.
Banjarbaru, 23 Juni 2011
Tentang Penyair
Hamami Adaby, lahir di Banjarmasin, 5 Mei 1942-- meninggal dunia di Banjarbaru pada Senin, 30 September 2013, dimakamkan pada keesokan harinya hari Selasa, 1 Oktober 2013, Pukul 11.20 di Pemakaman Muslimin Jalan Balitan XII Banjarbaru.
Setelah pensiun (1 Juni 1998), bermukim di Kota Banjarbaru, aktif di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha dan Dewan Kesenian Kota Banjarbaru. Pernah menjadi Kepala Kantor Departemen Penerangan di Kabupaten Tabalong (1986--1994) dan Kabupaten Batola (1994--1998).
Antologi puisi tunggalnya Desah (1984), Senja (1994), Iqra (1997), Kesumba (2001), Dunia Telur (2001), Nyanyian Seribu Sungai (2001), Bunga Angin (2002) dan Badai 2011 (2011).
Antologi puisi bersamanya, antara lain: Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (bersama Eza Thabry Husano, 1982), Bunga Api (1994), Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Jembatan Asap (1998), Bentang Bianglala (1998), Cakrawala (2000), Tiga Kutub Senja (2001), Bahana (2001), Narasi Matahari (2002); Notasi Kota 24 Jam (2003), Anak Zaman (2004), Uma Bungas Banjarbaru (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Dimensi (2005), Bumi Menggerutu (2005), Garunum (2005), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006), 142 Penyair Menuju Bulan, Antologi Puisi Penyair Nusantara (Arsyad Indradi, editor, 2006) dan Menyampir Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010).
Menerima Penghargaan Sastra Bupati Batola (1996), Penghargaan Sastra Walikota Banjarbaru (2004) dan Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
-------------------------------------------------------
Sumber foto: Laman Penyair Nusantara Kalsel
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment