Berkayuh di Kaki Sulawesi
inilah puisi yang mengaji kelenjar
mengaji simpul tali yang merentang layar
tadi malam kasur sekarang ombak
matahari tak pernah ingkar janji
memandang teduh bandar kepagian
dan darah selalu mengalir
meniru riak laut yang tak berakhir
mengaji haluan mengaji kemudi
dayung berkayuh di kaki Sulawesi
inilah senyum yang tidak bibir
awan membungkuk bagai diukir
dayung berkayuh di kaki Sulawesi
inilah senyum yang tidak bibir
awan membungkuk bagai diukir
bersungguhlah dalam mengaji
menyanyi menggetarkan hati
menempuh gelombang menyibak karang
menata langkah ke negeri seberang
di sana ada pagi di sini ada pagi
pada pertemuan sana dan sini
ada hati yang bergigi ada langkah yang bergizi
walau antara kalau dan tapi
tak boleh ada hutang pada napas matahari
Berguru
pada pertemuan sana dan sini
ada hati yang bergigi ada langkah yang bergizi
walau antara kalau dan tapi
tak boleh ada hutang pada napas matahari
Berguru
Pada sebiji kacang hijau aku berguru
bagaimana hanya dengan sebasah air
ia bisa tumbuh dengan akar yang kekar.
Aku ingin melukisnya pada sebidang kanvas
yang telah bergambar arakan awan.
Pada kacang-kacang yang tumbuh di ladangku
kuperhatikan bunga-bunga yang mekar seperti
kupu-kupu yang berhinggapan
Pagi jadi berarti dalam sisa embun yang
membuat lahan ngungun
Ladang itu seperti ladangku sendiri.
Rasa syukur berseri-seri
seperti aroma melati menghapus tajamnya rasa nyeri.
Pada kupu-kupu yang baru keluar
dari kepompong itu aku belajar membaca
pedih, dan begitu matahari menghapus
basah pada sayapnya, kupu-kupu itu terbang
menyatakan hidupnya dengan warna
Seakan ia tak henti bernyanyi bahwa sayapnya
yang indah itu dilukis Tuhan dengan sangat hati-hati
Subhanallah, alangkah indah
kenyataan ini memanduku ke napas hakiki
Tapi sayang,
kadang aku tak punya mata untuk membaca
tanda-tanda kebenaran itu.
Hai, siapa yang kadang nakal
menyembunyikan mataku?
Badik
Badik! Bacalah La Pasello,
di daun-daun ketela, di tiang layar,
dair terjun dan di perut kecapi tua
Bahwa setetes keringat di sawah
berarti juga setetes darah di medan laga
Badik, minumlah embun
di ubun gunung
Sejuk yang kau teguk
akan memberi emas matamu tajam
Lembah-lembah akan menghijau
Baju bodo kuning nangka
kan menyerbu
mengusir tikus dan hama
Badik!
Karena dendam bukan hatimu
Maukah engkau jadi mataku
Maukah engkau jadi lidahku
Jadi kukuku, jadi kakiku?
Kutulis sumpah dengan ujungmu
dan nyawa jadi tinta
Tentang Penyair
D. Zawawi Imron lahir di Desa Batang-batang, ujung timur Pulau Madura. Kumpulan sajaknya "Bulan Tertusuk Lalang" sempat mengilhami sutradara Garin Nugroho membuat film “Bulan Tertusuk Ilalang”. Kumpulan sajaknya, "Nenekmoyangku Airmata" terpilih sebagai Buku Puisi Terbaik dengan mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama pada tahun 1985.
Kemudian kumpulan sajak "Celurit Emas" terpilih menjadi Buku Puisi Terbaik di Pusat Bahasa, 1990. Pada tahun 1995, Zawawi memenangkan juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-50. Pada tahun 2010, kumpulan sajaknya "Kelenjar Laut" mendapat Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) dari Kerajaan Malaysia. Buku tersebut juga mendapat The South
East Asia Write Award 2011 dari Kerajaan Thailand.
-------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Mata Badik Mata Puisi
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment