SIHIR HUTAN
Kudengar suara-suara hutan memanggilmu
Dengan irama kerinduan
Tapi tak ada sahutan
Padahal ia cuma ingin mengajakmu bercakap
Tentang burung-burung yang kehilangan nyanyian bukit
Anak-anak pohon yang sakit
Dan air sungai yang pahit.
Kudengar suara-suara hutan memanggilmu
Dengan irama kerinduan
Tapi tak ada sahutan
Padahal ia cuma ingin mengajakmu bercakap
Tentang burung-burung yang kehilangan nyanyian bukit
Anak-anak pohon yang sakit
Dan air sungai yang pahit.
Masih terus kuingat asal suara itu
Adalah hutan tangis nenek moyangmu
Yang merajah sunyi tanah kelahiran
Yang membesarkan kesetiaan.
Di tengah gelisah percakapan tanah dan air
Kudengar suara burung-burung berzikir
Sehabis musim matahari mengabarkan mimpinya kepadaku:
Hutan menyihir manusia menjadi tulang-belulang waktu.
Banjarbaru, April 1994
IRAMA BELANTARA
Belantara: tahun dua ribu empat puluh
Aku berjalan dalam subuh mencari matahari
Tapi entah di mana
Beribu pohon tumbuh ke bawah
Seperti tanah yang dikejarnya
Ya Allah
Barangkali orang-orang berangkat meditasi
Ketika jalan-jalan yang kulewati pagi hari
Tak ingat lagi berapa jauh jarak musim gugur
Dan musim semi
Sementara peta sejarah hutan-hutan
Telah menjadi benda purbakala
Dalam ingatan yang tersimpan antara hilang dan ada
Aku menyaksikan orang-orang berebut gambar badak bercula
Menyimpannya dalam peradaban berhala
Aku tak pernah tahu berapa lama hutan-hutan
Kehilangan waktu menyanyikan irama kehidupan
Karena tahun-tahun yang beterbangan
Telah dilepas sebagai kenangan kepada anak-anak hutan
Dan aku pun mesti mengaji
Tahun dua ribu empat puluh
Bumi masih menyimpan jati diri!
Banjarbaru, April 1994
Tentang Penyair
Ariffin Noor Hasby lahir di Marabahan, Barito
Kuala, Kalimantan Selatan. Puisinya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Media Masyarakat, Barito Post, Radar Banjarmasin, Swadesi, Pelita, Angkatan Bersenjata, Berita Nasional, Yogya Pos, Tabloid Cempaka (Semarang), Pikiran Rakyat (Bandung), Majalah Mitra, Estafet, Anita Cemerlang, Ceria, HAI, Annida, Sabili, Darma Wanita, dan Majalah Sastra BAHANA (Brunei Darussalam, serta dibacakan di Radio Suara Jerman Deutsche Welle, juga siaran Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin. Puisi-puisinya juga termuat dalam antologi bersama. Penyair produktif ini menerbitkan kumpulan puisi "Kota yang Bersiul" (2012), "Salawat Laut" (2013), dan "Rumah Lanting" (2017).
Kuala, Kalimantan Selatan. Puisinya dipublikasikan di Banjarmasin Post, Dinamika Berita, Media Masyarakat, Barito Post, Radar Banjarmasin, Swadesi, Pelita, Angkatan Bersenjata, Berita Nasional, Yogya Pos, Tabloid Cempaka (Semarang), Pikiran Rakyat (Bandung), Majalah Mitra, Estafet, Anita Cemerlang, Ceria, HAI, Annida, Sabili, Darma Wanita, dan Majalah Sastra BAHANA (Brunei Darussalam, serta dibacakan di Radio Suara Jerman Deutsche Welle, juga siaran Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin. Puisi-puisinya juga termuat dalam antologi bersama. Penyair produktif ini menerbitkan kumpulan puisi "Kota yang Bersiul" (2012), "Salawat Laut" (2013), dan "Rumah Lanting" (2017).
Biografi kepenyairannya tercatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia" (Editor Pamusuk Eneste, Kompas, 2000), "Leksikon Susastra Indonesia" (Editor Korrie Layun Rampan, Balai Pustaka, 2000), "Ensiklopedi Sastra Indonesia" (Editor Hasanuddin WS, Bina Ilmu, 2004), "Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan" (Balai Bahasa Banjarmasin, 2008), dan dalam buku "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Penerbit: Yayasan Hari Puisi, Jakarta, 2017)
-------------------------------------------------------
Sumber tulisan dan foto penyair: Meratus (Nyanyian Rindu Anak Banua)
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment