Siti Akbari
Arti kata "perempuan" yang termuat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menuai kritik. Beragam kritik dilontarkan dari berbagai kalangan. Pada intinya, kritikan tersebut menilai arti kata “perempuan” yang dimuat dalam KBBI bernuansa kurang baik. Hal itu tentu saja tak terlepas dari subjektivitas pelontar kritik terhadap kata ‘perempuan’ tersebut.
Fenomena tersebut mengingatkan saya pada sebuah kilas balik di pembukaan awal mata kuliahan Ilmu Budaya Dasar. Tatap muka pertama kali, Sang Dosen membuka perkenalan dengan meminta anak didiknya maju stau persatu menuliskan perbedaan perempuan dengan laki-laki. Satu persatu anak didiknya diminta mengisi dua kolom yang sudah dibuat di papan tulis di depan kelas.
Satu persatu maju dan mengisi dua kolom tersebut. Hasilnya, ternyata apa yang ditulis di kolom perempuan, ada juga dituliskan di kolom laki-laki. Tugas spontanitas, menuntut pikiran dari beberapa anak didiknya mengeluarkan stigma masing-masing tentang perempuan dan laki-laki. Di antara ke sekian pendapat tentang laki-laki dan perempuan itu, yang tidak tertukar adalah apa yang dimiliki oleh seorang perempuan dan seorang lelaki secara kodrati.
Sang Dosen merasa puas dengan upaya anak didiknya mengemukakan pendapatnya. Sebuah perkenalan awal yang menyadarkan bahwa apa yang menjadi stigma di alam pemikiran masing-masing kepala manusia yang terbatas di kelas itu, ternyata bisa saja melekat pada makhluk yang bernama perempuan dan pada makhluk yang bernama laki-laki.
Semua kembali pada persepsi dan stigma yang berkembang. Sebuah kata bisa dimaknai secara halus ataukah secara kasar, itu kembali pada bagaimana memaknai dan menanggapinya. dengan segala yang menjadi referensi kata itu. Bagaimana makna kata itu berterima atau tidak, kembali pada kata dan masyarakat yang menjadi pemilik dari kata itu sendiri.
Penulis adalah staf teknis Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud RI
0 comments:
Post a Comment