buat, Korrie Layun Rampan
Rumah kita tidak pernah sepi,
kendati kita sendiri
Rumah kita selalu bernyanyi,
berturai pantun silaturrahmi
Rumah kita selalu berpenghuni
walau ditinggal pergi
Rumah kita banyak jendela,
menengok jauh hingga ujung kampung yang sepi
Rumah Sastra
Di beranda rumah, tampak muka, menyingkap dunia
Menjelajah pandang, memungut yang terserak dan terlupakan
Agar tidak terlunta-lunta mencari jati diri
Anak bangsa menata rupa, seanggun rumpun budaya bangsa
Di beranda rumah, tampak muka, menyingkap dunia
Menjelajah pandang, memungut yang terserak dan terlupakan
Agar tidak terlunta-lunta mencari jati diri
Anak bangsa menata rupa, seanggun rumpun budaya bangsa
Rumah Sastra
Dapur rohani, menanak jiwa dengan bumbu Nusantara
Tersaji dalam kenduri yang harmoni, Bhineka Tunggal Ika
Di meja bundar yang berputar,
duduk melingkar senyum demokrasi
Sopan santun menikmati, para hati berbunga anak negeri
Saling melempar senyum, pandangan tajam mata garuda
Penjaga damai, Budaya Nusantara Swarna Dipa
Dapur rohani, menanak jiwa dengan bumbu Nusantara
Tersaji dalam kenduri yang harmoni, Bhineka Tunggal Ika
Di meja bundar yang berputar,
duduk melingkar senyum demokrasi
Sopan santun menikmati, para hati berbunga anak negeri
Saling melempar senyum, pandangan tajam mata garuda
Penjaga damai, Budaya Nusantara Swarna Dipa
Rumah Sastra
Tempat kita berdiri tegak sama tinggi
Menunduk rendah sama menghormati
Tempat singgah orang-orang melangkah
Ketika orang merasa dahaga, galau dalam sunyi
Tempat kita berdiri tegak sama tinggi
Menunduk rendah sama menghormati
Tempat singgah orang-orang melangkah
Ketika orang merasa dahaga, galau dalam sunyi
Rumah Sastra
Tempat kami bertarung dalam damai
Melangkah dan berlari dalam keindahan
Berpikir dan menulis karena cinta
Seribu pintu terbuka
Sejuta hati menerima
Kendati kalian sudah lupa
Cinta kami berkepanjangan, di Rumah Sastra
Tentang Penyair
Tempat kami bertarung dalam damai
Melangkah dan berlari dalam keindahan
Berpikir dan menulis karena cinta
Seribu pintu terbuka
Sejuta hati menerima
Kendati kalian sudah lupa
Cinta kami berkepanjangan, di Rumah Sastra
Tentang Penyair
Sastrawan yang satu ini lebih dikenal sebagai penyair gurindam. Benar saja, bersama gurindam karyanya, ia “meroket ke langit” sastra nusantara kita. Misalnya pada Juli 2014 bersama buku gurindamnya yang berjudul Banjar Negeri Harum 1001 Gurindam, dirinya tampil memukau di Teater Kecil, Taman Ismial Marzuki, Jakarta.
Pria kelahiran Kadangan, Kalimantan Selatan ini sebenarnya telah lama berkarya sastra. Ia aktif menulis sastra sejak tahun 1963. Pada masa 1970-an awal banyak puisinya dimuat dalam surat kabar harian semisal Banjarmaisn Post, Dinamika Berita, dan Gawi Manuntung. Akan tetapi, sekitar tahun 1972 aktivitas menulisnya tersebut tak terlihat lagi. Seakan lenyap ditelan Buto Ijo. Dan kembali aktif menulis pada 2008 lalu sampai sekarang.
---------------------------------------------------------
Sumber puisi: Serumpun Ayat-Ayat Tuhan
Sumber biodata: Wartamantra
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment