DULUNYA, DAERAH kami terlihat sangat hijau. Kebun kami berhiaskan tonggak yang dililiti tanaman hijau yang menggembung dan membulat. Dari jalan raya bahkan terlihat kebun kami seperti hamparan tanaman hias yang rapi berjajar bak ratusan candi kecil. Candi berwarna hijau. Bayangkan wangi rempahnya menegur penciuman setiap yang lewat, bersamaan saat mata memandangnya. Bila tidak bercampur dengan asap kendaraan, orang yang mencium wanginya dapat membayangkan sedang membaui sebuah rempah yang berharga.
Itulah saat mereka melewati kebun sahang kami. Ya, kami menyebutnya sahang, meski tahu semua orang Indonesia menyebutnya merica atau lada. Mereka, yang menyebut merica atau lada itu, sering mengatakan sahang kami termasuk sahang terbaik. Lada asli bumi Kalimantan Timur.
Tapi jangan berencana melihatnya sekarang. Kebun yang menguarkan aroma rempah dan terlihat seperti tataran candi kecil dari jalan raya itu sudah raib. Berganti pemandangan mengerikan. Kebun itu telah dimusnahkan. Saat akhirnya kami merelakan kebun itu berpindah tangan. Tak perlu waktu berhari-hari sejak seluruh kebun berganti pemilik, ratusan candi hijau itu kini menghilang. Sahang menjadi langka. Kehijauan itu berganti warna jadi tanah gersang.
Untung jika sebagian kami kemudian masih menjadi pemilik kebun sempit. Namun, jelas bukan untuk menanam sahang. Hanya tanaman untuk dimasak sehari-hari, seperti kacang panjang, ubi jalar, kangkung rambat, terong, atau tomat. Malangnya, sebagian lagi tak memiliki kebun. Maka, banyak dari kami yang menganggur
Lama kelamaan, kami bosan hanya diam di rumah. Kebun sempit pun tak mungkin diurus setiap hari. Kami mulai menyesali keadaan. Ya, kami menyesal menjual tanah kebun kami yang luas-luas itu. Apalagi, ketika simpanan uang dari hasil menjual tanah perlahan mulai tandas.
Waktu itu, ketika tahu kebun kami dihargai sampai berpuluh-puluh juta, rasanya nilai itu sangat besar. Kami segera bermimpi macam-macam. Tentu saja, tak mungkin kami bisa mendapatkan uang sekian meski kebun sahang kami berhektar-hektar banyaknya. Ketika ada yang ingin membeli kebun kami dengan nilai puluhan juta per hektar, kami memang berunding dan sepakatlah kami bahwa tanah itu lebih baik dijual.
Maka, kami menyerahkan tanah itu kepada orang-orang yang katanya akan membuka tambang emas. Kami bangga, bisa memberikan tanah kami untuk sesuatu yang lebih berguna. Selain tanah, mereka juga menghargai tanaman kami. Mereka membayar pohon durian, lai, sahang, nangka, rambai, dan pohon buah lainnya dengan harga yang sangat pantas.
Mendadak kami merasakan bahagianya menjadi kaya. Kami merenovasi rumah, membeli motor, bepergian ke kota dan istri kami berbelanja mulai dari baju sampai emas, menyekolahkan anak-anak kami, dan sejuta kepentingan lainnya. Waktu itu kami bersyukur karena kami ternyata memiliki tanah yang di dalamnya ada barang berharga.
Akhirnya tambang emas itu dibuka. Awalnya mereka sibuk membuka jalan. Mobil-mobil besar yang belum pernah kami lihat sebelumnya memenuhi bekas kebun kami. Dengan sekali dorong, rusaklah semua hutan dan kebun kami. Sempat kami ingin menangis. Akan tetapi, segera kami sadar, kebun itu bukan milik kami lagi. Kami sudah diperkaya karena kebun itu.
Berhari-hari kami bengong menonton mobil-mobil besar, ada traktor, kendaraan seperti robot yang mampu mengeruk tanah, juga truk-truk berbak besar. Sungguh pemandangan baru bagi kami.
Setelah jalan dibuka, kendaraan-kendaraan besar itu mulai hilir mudik memasuki bekas kebun kami yang sekarang rata tanah. Kami pun semakin bersemangat menyaksikan seperti apa tambang emas itu. Emas yang kami tahu hanya seperti kalung dan anting istri kami.
Sempat beberapa dari kami setengah berbondong ingin menonton tambang itu dari dekat. Sayangnya mereka dilarang dekat dekat area tambang itu.
Mereka memasang palang di jalan ke arah tambang yang hanya dibuka ketika ada kendaraan yang akan keluar dan masuk. Ada dua penjaga di situ yang selalu memegang bendera kecil, bertopi seperti helm, dan bersepatu keras, dengan baju dihiasi silang warna oranye.
Muka penjaga selalu marah jika siapa pun ingin masuk ke kebun. Bahkan, salah satu pemuda kampung yang bekerja menjadi penjaga di tempat itu pun ikut-ikutan menjadi galak kepada kami. Katanya berbahaya melintas di situ.
Betapa terkejutnya kami saat melihat sebuah truk yang benar-benar besar, dengan bak juga ban besar, melintas. Truk itu mengangkut batu hitam di dalam baknya. Mana emas yang dulu mereka bilang? Apakah ini jenis emas berwarna hitam? Laku kah?
Itu batu bara, kata salah seorang dari kami. Batu bara yang pernah membuat hutan lindung hampir habis terbakar. Batu bara yang katanya bisa menimbulkan api. Bukan emas. Ya, mungkin maksudnya emas hitam, yaitu batu bara.
Kami mulai cemas. Bagaimana kalau tiba-tiba bekas kebun kami yang sudah penuh batu bara itu kebakaran? Konon, waktu kebakaran di hutan lindung itu, apinya sukar padam, Bukan hanya itu, apinya juga cepat melahap apa pun di sekitarnya. Kami mulai resah.
Ternyata keresahan itu tidak berangsur hilang. Tidak sampai tiga tahun tambang emas hitam itu beroperasi, mereka pergi. Semua pekerja termasuk kendaraan-kendaraannya. Tambangnya sudah selesai. Batu bara sudah habis. Pasar emas hitam dibubarkan.
Kami geleng kepala ketika mendatangi bekas pasar emas hitam itu. Sebagian dari kami ada yang menahan tangis. Hijau menghilang. Tinggal tanah coklat kehitaman. Bukit-bukit yang dulu indah menjadi lubang besar yang mirip danau. Tampaknya, sebentar hujan, jadilah itu danau.
Kami saling pandang. Dalam benak kami, ada satu pikiran sama. Masing-masing sepertinya bisa merasakan itu. Bagaimana kalau banjir? Bagaimana kalaulongsor? Kami begidik melihat sebuah bukit yang dipatahkan menjadi tebing dari tanah yang agak tinggi. Sepertinya gampang terkikis.
"Besok kita tanami pohon besar yang mudah dan cepat tumbuh," kata seorang dari kami. Yang lain menimpal, “Sepertinya sukar." Ada pula yang mengotot dan bilang bahwa tanah itu sudah rusak, takkan bisa ditanami lagi. Tapi kami sepakat kami akan menanam sebarang tanaman besok.
Kami tahu kami panik, tapi sungguh kami juga bingung, harus mencari tanaman di mana. Lagi pula seberapa banyak tanaman yang kami tanam, tak akan sebanding dengan luas keseluruhan bekas tambang itu.
Kaki menyeret kami ke rumah dengan hati kecewa. Percayalah, kami mantan pekebun dan petani. Kami pasti lebih mengerti alam dibanding orang-orang itu. Kami menyesal. Kami memang paham alam, tapi kami bodoh tak pernah berpikir akan jadi seperti ini.
Besoknya kami berkumpul. Ada yang membawa cangkul, bahkan ada yang membawa pupuk. Masalahnya, dari mana kami mendapatkan pohon? Kalaupun ada dengan cara mengambil dari halaman, paling hanya ada satu dua tiga. Meski demikian, kami sepakat untuk tetap menanam satu dua tiga pohon. Pohon ketapang yang cepat tumbuh besar.
Tentang Cerpenis
NOVIETA CHRISTINA lahir di Samarinda, Kalimantan Timur. Dalam beberapa tulisannya ia menggunakan nama Novieta Dura. Selepas SMU ia melanjutkan studinya di Fakultas Teknik Kimia UPN Veteran, dan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Dalam catatan biografi bukunya Gnomon (2005) tertulis, “Ia mengaku bahwa ia adalah seorang yang tak betah berdiam tanpa buku, tanpa kawan, dan tanpa musik. Ketidakbetahan ini menjadikannya serius bersenang-senang di komunitas pembuat newsletter BEN!, sebuah media yang dianggapnya luar biasa.”
Masih dalam rangkaian tulisan di buku itu, dikatakan, “Menulis hanya bisa ia lakukan jika ia dipenuhi kemarahan terhadap apa saja yang menyangkut dirinya.”
Di antara karyanya adalah kumpulan cerpen Gnomon (2005), dan sejumlah puisinya disertakan dalam bunga rampai 142 Penyair Menuju Bulan (2006), yang dieditori oleh Arsyad Indradi; Samarinda Kota Tercinta (ed. Korrie Layun Rampam, 2007), dan Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia (2011).
--------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment