Sebuah puisi Syaukani Al Karim
Aku terkenang mimpi-mimpimu tentang istana kecil dengan taman bunga yang indah di sudut tanjung kampung halaman kita.
"Itulah rumah masa depanku," katamu.Namun kini di tanah itu hari-hari telah menjadi malam dengan bulan yang berubah
warna: hitam kelam dengan bercak-bercak darah, terbungkus kulit dan harapan yang
mengering, kulit dan darah kita yang terbakar di atas api penantian
Kehamilan panjang kita hanya melahirkan anak-anak yang cacat:
rumah-rumah kepiluan
yang memperdengarkan tangis, dan kehidupan yang terus melangkah, membuat kita
tertatih-tatih menatang tubuh kerinduan yang terkorban sambil merawat luka-luka yang
tak kunjung sembuh.
(Sementara titik darah menjadi gerimis yang pelan-pelan terus turun membasahi muka)
"Kita akan memiliki kebahagiaan," kau ucapkan keyakinanmu.
Namun akhirnya engkau pun pergi jauh ke negeri diammu sendiri yang bernama kekalahan, meninggalkan darah-darah yang terasing dan terusir dari pembunuh, menjadi lelehan pada setiap tikam dan sayat.
(Kapankah dapat kita selesiakan rajutan mimpi itu, Juna? Sedang pisau kenyataan terus
merobek-robek kain sulaman, dan kita mengungsi menjadi penghuni rumah beku di
bawah langit yang kehilangan cahaya, di bawah matahari yang bersekutu dengan kegelapan).
Menarik masa lampau dalam ke dalam cermin, terlukis diri kita yang masih sempat
tertawa riang, bermain pasir di pantai dan menyambut indahnya purnama dengan sorak
sorai. Namun kini di tanjung itu kita hanya dapat membisu.
Menghitung butir-butir kehancuran dengan tawa yang tersimpan jauh di sudut pedih, meraba-raba cahaya purnama yang kusam, sambil mengelak kucuran darah dari luka-luka tubuh sendiri.
(Juna, wajahmu akan memerah menahan tangis melihat tanah tanjungmu yang hilang
lebih merah ketika kubisikkan cinta di telingamu)
Alangkah mahalnya hamparan mimpi, bermusim-musim penantian tak cukup, dengan sembuh harap tak dapat menjemput, pun kita telah menambahnya dengan air mata, darah, tanah, hutan belantara dan tubuh para generasi yang terkapar oleh pengkhianatan.
Alangkah pedihnya mimpi itu: air sungai hanya sanggup mengalir ke suak-suak dan mengering di batas muara; tak ingin menodai air mata
keinginan yang telah tumpah menjadi laut.
Tentang Penyair
Syaukani Al Karim dilahirkan di Bengkalis. Karya-karyanya antara lain, Hikayat Perjalanan Lumpur (Kumpulan Sajak), Airmata 12
(Antologi Puisi), Makam (Antologi Puisi), Jazirah Luka (Antologi Puisi), Cerita Rakyat Riau, Dari Percikan Kisah, dan Membentuk Provinsio Riau (Sejarah).
----------------------------------------------------
Sumber tulisan: Dari Amerika ke Catatan Langit (antologi puisi Mastera).
Sumber ilustrasi: Pixabay
----------------------------------------------------
Sumber tulisan: Dari Amerika ke Catatan Langit (antologi puisi Mastera).
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment