dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda lihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar.
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara yang murni
tercium bau kue jagung.
dan seorang pemuda.
la siap menggarap jagung.
la melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja.
Tetapi ini:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
tamat s.m.a.
Tak ada uang,
tak bisa menjadi mahasiswa.
hanya ada seonggok jagung
di kamarnya.
Ia memandang jagung itu.
Dan ia melihat
dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang
dari discoteque.
Ia melihat sepasang sepatu kenes
di balik etalage.
Ia melihat saingannya
naik sepeda motor
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri
miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal.
tak akan menolong seorang pemuda
berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
untuk bebas bekerja.
Pendidikan telah memisahkannya
dari kehidupan.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang
menjadi orang asing
di tengah kenyataan persoalan
keadaannya?
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastera,
tehnologi, kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya.
Tentang Penyair
Nama aslinya Raden Mas Willibrordus Surendra Broto. Ia lahir di Solo, tanggal 7 November 1935 dan merupakan anak tertua dari delapan bersaudara. Ibunya bernama Raden Ayu Chatarina Ismadillah. Ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo.
Rendra mengawali pendidikannya di Taman Kanak-kanak Susteran. Kemudian melanjutkan di SD Kanisius Solo (lulus tahun 1942). Setelah itu meneruskan ke SMP Kanisius, Missi Katolik (lulus tahun 1948). Tamat dari SMA St. Yosef Solo pada tahun 1952. Sempat kuliah di Fakultas Sastra Barat, Universitas Gajah Mada (UGM), tetapi karena waktunya tersita oleh kegiatan kesastraan sehingga tidak selesai. Meski demikian, tahun 1972, Rendra menjadi dosen ilmu dramaturgi di Fakultas Sastra Budaya, UGM.
Semenjak masa sekolah, ia mulai menulis cerpen. Dan cerpen yang pertama kali ditulisnya berjudul Drama Pasar Pon (ditulis ketika ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, kelas dua). Selain itu, menulis puisi berjudul Tari Srimpi dan Drama Pasar Pon. Dua puisi itu dimuat dalam Majalah Pembimbing Putra Nomor 1. Th I, 8 Maret 1950. Penerbitan kedua karya itu mendorong Rendra selalu berkarya.
Sepulang dari Amerika, dirinya mendirikan Bengkel Teater sebagai tempat bekerja dan mengembangkan kreativitas.
Adapun penghargaan yang pernah ia peroleh di antaranya: (1) pemenang Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta tahun 1954, (2) Penghargaan Sastra Nasional BMKN tahun 1956, (3) Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970, (4) Penghargaan dari Akademi Jakarta tahun 1975, (5) Hadiah Yayasan Buku Utama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1976), (6) Penghargaan Adam Malik tahun 1989, (7) The S.E.A. Write Award TAHUN 1996, dan (8) Penghargaan Achmad Bakri tahun 2006. Di dunia sastra, W.S. Redra mendapatkan julukan si Burung Merak karena saat ia membacakan puisi-puisinya begitu memukau seperti burung merak yang mengagumkan. Dirinya juga mendapatkan julukan lain, yakni si Panembahan Reso karena keberhasilannya dalam pementasan drama yang berjudul Panembahan Reso.
-----------------------------------------------------------------
Sumber foto dan biodata: Wartamantra
Sumber ilustrasi: Pixabay
0 comments:
Post a Comment