menyubsidi kemiskinan, mendesak kerongkongan
berduyun pasir menampung di telapak tangan
siapa yang mampu membunuh kesengsaraan?
sementara kebodohan semakin dininabobokkan
setiap hari mengorek jendela rumah mereka
daftarkan segera semua hutang primer
bengkakkan kaki mendesak kartu miskin
yang bertahun lamanya kau rindukan itu
di atas kebangkrutan negeri
(LALU KITA MENARI, halaman 17)
(Syarifuddin Arifin..., untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku, aku ingin meminta maaf dahulu sebesar-besarnya kepadamu sebelum aku menulis. Ini pertama kali kulakukan, karena sebelumnya aku tak pernah meminta maaf kepada pengarang untuk tulisan yang akan kuulas. Mengulas ya mengulas. Begitu saja. Langsung menulis. Tetapi tidak untuk karya antologi puisi tunggal Syarifuddin Arifin bertajuk “Maling Kondang” (Teras Budaya Jakarta, 2012) ini. Aku harus meminta maaf dulu kepada penulisnya. Bukan lantaran apa.
Pada waktu aku menulis skripsi S1 tahun 1980-an di Yogya, aku membahas “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis di bawah bimbingan Prof.Noer Toegiman yang asli Minangkabau, kala itu, aku mendapatkan segala pernak-pernik pengetahuan tentang budaya Minang. Tentang rumah gadang. Tentang ninik mamak.Tentang hukum waris. Tentang matriarchat. Tentang indahnya Bukit Barisan.Tentang apa saja. Maka, ketika aku mendapatkan sebingkai buku kumpulan puisi berjudul ‘Maling Kondang’ yang ditulis oleh Syarifuddin Arifin dari Minang yang akrab disapa If oleh sahabat-sahabatnya itu, aku taruh saja buku ini di rak buku. Dalam benakku aku sudah mengenal Minangkabau, dan aku yakin itu yang menjadi isi dari buku ini. Dan buku elok dengan tanda tangan penulisnya serta dibubuhi tulisan ‘setulus hati, buat Esti Ismawati’ itupun tertidur pulas hingga disapa oleh penulisnya,‘sudah dibaca ?’ beberapa bulan kemudian.... dan akupun tergerak untuk membacanya.... dan ternyata... oh, aku minta maaf, If... aku telah suudzon kepadamu, mengira bahwa puisi-puisi di bukumu tak jauh-jauhlah dari apa yang kubayangkan..........Dan ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi diriku, terima kasih If......).
Terperanjat saya membaca satu demi satu puisi-puisi Syarifuddin Arifin di buku ini. Hampir semua puisinya itu berisi kritik sosial nan keras namun anggun penyampaiannya. Bukan puisi jika kritik sosial itu hanya ditulis deskriptif seperti berita koran. Dan bukan sastra jika kritik sosial itu tidak digubah dalam bahasa yang indah dan bermakna. Di luar itu, hampir semua puisi yang ditulisnya ini mempunyai kekuatan yang hebat atau ‘nendang’pada endingnya. Bukan itu saja, seperti yang dikatakan Pak Wahyu Wibowo, Syarifuddin Arifin gemar melakukan kolokialisme (penyandingan kata) secara tidak umum, dan ungkapan-ungkapan fenomenologis yang bisa saya temukan di semua puisinya,misalnya : mengalir mulus drama siri itu (umumnya mengalir air sungai itu),yang lapar terus dimamah (umumnya yang lapar terus makan), bagaikan sawah menuai lapar (umumnya menuai panen, menuai padi, dst), dibelainya angin itu, dijengkalnya ranjang dengan jari, dan fajar menjilati embun, di antara kita saling memangsa, dan seterusnya. Marilah kita baca puisi berikut ini:
RINDU YANG TERBELAH
rindu yang lama terpendam tiba-tiba membelah
saling mencakar wajahnya
saling mengasah lidah melebihi silet
mengasah kuku mencengkeram kekuasaan
sampai berderik-derik
menusuk belulang, menghisap perih
derita anak negeri yang membatin
terbelenggu dalam tubuhnya
kenapa diam dalam zikir
jadi tak sempurna?
menyala kesumat membelah rindu
yang berderingan jatuh bagaikan kristal
(Padang, 2008).
Apa yang kita rasakan dari puisi di atas adalah sebuah suasana yang sangat tidak nyaman, ‘saling mencakar wajah, saling mengasah lidah, saling mencengkeram kekuasaan’, dan inilah puncak kemarahan penyair menyaksikan negerinya yang tumbuh tak seperti yang diinginkan : menjadi negeri yang sangat dirindukan. Negerinya kini menjadi negeri yang penuh kesumat, dan rindunya kini menjelma bagai seribu jarum menusuk belulang. Sementara anak negeri menghisap perih derita dan zikir pun jadi tak sempurna. Sebuah satire yang sangat pedas untuk sebuah negeri yang dulu diberi julukan‘gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kerto raharjo’. (negeri yang subur, tertib, dan sejahtera). Marilah kita baca puisi berikutnya:
BUKAN PADI BUAHNYA
aku jadi kenyang pada lapar yang sempurna
terdengar provokasi, intrik, yel-yel
serombongan pipit mematuk-matuk ilalang
mengalahkan keperihan kehidupan,
bersarang di balik perdu
irigasi mengering, bendungan di mata ini
tak kunjung bobol juga
ada seikat padi dalam gambarnya:
‘Bila menang semua akan kenyang’
tapi seekor biawak dalam semak pun tak suka
bau kerisik yang anyir. diam-diam ia menyergap
sepasang puyuh yang asyik berkayuh
menyisir silet di ujung ilalang
berserpihan bunga rumput
kekenyangan jadi lapar yang sempurna
pemilihan umum menimbun dusta
sejumlah proposal bertebaran
bagaikan sawah menuai lapar
mata ini semakin perih ditusuk ilalang
kekuasaan semakin terik
(Padang 2004)
Sebuah puisi yang penuh dengan metafor-metafor: kenyang pada lapar, bendungan di mata tak kunjung bobol, sawah membungkuk di sepoi bayu, bagaikan sawah menuai lapar, kekuasaan semakin terik, dan seterusnya. Ada pilu dan pedih di balik metafor-metafor itu.
Selama penyair masih memiliki kepedulian untuk memberikan kritik sosial, kita masih bisa berharap akan adanya kehidupan yang‘terjaga’, kehidupan yang aman dan damai, kehidupan yang menjunjung nilai-nilai moralitas yang tinggi, kehidupan yang lebih jujur dan manusiawi. Pada puisi di atas tampak bahwa kritik sosial yang dilontarkan penyair tidak hanya berkutat di masalah ekonomi seperti kelaparan yang menyangkut sandang pangan papan, tetapi juga menyangkut masalah politik. Dalam puisi di atas penyair bersuara antang bahwa “pemilihan umum telah menimbun dusta”, sejumlah proposal bertebaran, janji-janji palsu merajalela. Berjanji jika menang semua akan kenyang, dengan simbol padi, tetapi ternyata hanya ilalang yang tumbuh subur,dengan segudang provokasi, intrik-intrik, yel-yel yang memabukkan pemilih tetapi semua itu adalah dusta. Duh....
Sebagai penyair Minangkabau, tentulah Syarifuddin Arifin sangat lekat dengan tradisi pantun yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Melayu khususnya Minangkabau secara turun-temurun. Dalam buku puisi “Maling Kondang” ini pun pantun mampu dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial. Sebuah simbolisme bahwa Syarifuddin Arifin tidak pernah meninggalkan akar tradisi nenek moyangnya. Bacalah puisi berjudul “Mengurai Padang” di halaman 54 dan halaman 55 yang cuplikannya antara lain sebagai berikut: tikungan tajam di mata pedang / turunan terjal licin selayang (Padang Panjang). Padi ditumbuk ke Thailand / kincir menangis terabaikan (Padang Sawah). Dan seterusnya. Marilah kita simak juga puisi bergaya pantun tetapi sudah diupdate berikut ini:
SEPANTUN DAUN UBI
tak berpucuk di mulut bandot
kau telanjangi ibu pertiwi
berbungkus dedaun anekdot
terantuk kerikil si batu aji
keringat dingin menguap di tengkuk
aku nanar menantang mentari
tersenyum juga sambil mengutuk
lalu saling mengangguk basabasi
nampaklah kacaunya kamarku
sepantun daun ubi
kambing dan aku
(Kualalumpur, Des 2007).
Sebuah kritik sosial yang jenaka. Jika kita lihat bahwa yang dimaksud tetangga di sini adalah negeri jiran, Malaysia, oh betapa malu kita rasanya sebagai bangsa. Tampaklah kita masih amburadul di segala sektor kehidupan, hingga sepantun daun ubi, kambing, dan manusia pun bercampur baur tak karuan. Dan kita masih juga mengembangkan budaya basa-basi, tersenyum pun sambil mengutuk. Oh betapa topeng itu telah menjadikan kita bangsa yang tidak tulus. Bangsa yang penuh kamuflage, sebagaimana ditulis oleh SyarifuddinArifin dalam puisi lain yang berjudul ‘Peratap Mayat’ yang saya cuplik berikut ini:
memeras air mata para pelayat memendungkan suasana
di mana-mana, ke mana-mana, ia akan selalu begitu
menyiasati irama sumbang tentang kematian
tak ada yang meratapi mayatnya
tak ada yang menangisi jenazahnya
tak ada yang melantunkan dendang sedih
tak ada yang menyesali kematiannya
tak ada airmata’
(PERATAP MAYAT, halaman 24)
Meski agak bias gender, (karena yang kematiannya tidak ada yang menangisi itu bukan monopoli perempuan; yang suka menunjukkan perilaku munafik dan perilaku kamuflage itu juga bukan monopoli kaum perempuan), namun puisi berjudul ‘Peretap Mayat’ di atas betul-betul mampu mencapai efek yang meletup-letup di dada pembaca karena jijik melihat perilaku yang demikian. Perilaku yang penuh dengan tipuan. Perilaku yang tidak tulus. Perilaku yang sulit diduga. Perilaku munafik. Naudzubillahi mindzalik. Masih banyak puisi-puisi berisi kritik sosial yang disampaikan dengan elegan olehSyarifuddin Arifin di buku ini, semisal puisi berjudul "KOMISI DI SECANGKIR KOPI" berikut ini:
pakar bertengkar, emosi
kerangka mobil membenam
motivasi pun dikebiri
ditenggelamkannya nalar
menjerat upeti
sogok menyogok
payah membanting tulang’
(Padang, 010312).
Juga pada penggalan puisi di bawah ini:
lalu menipu bayi dengan kempeng atau dot
dan bayi-bayi pun menipu kita dengan tajin
lalu diarak ke sebuah upacara
mematikan potensi yang bernas
dan membuangnya ke laut lepas
mayat terapung-apung dibelai gelombang
dan terdengar pernyataan:
semuanya tersalurkan’.
(BAYI PUNMENIPU TAJIN, halaman 3)
Keistimewaan lain dari puisi-puisi Syarifuddin Arifin adalah terletak pada endingnya, di samping gaya pengucapannya yang blak-blakan, dengan metafor-metafor segar dan kolokialisme. Beberapa ending yang mencengangkan pada puisi-puisi Syarifuddin Arifin dapat dibaca di bawah ini:
orang-orang tak suka dan hambaMu akan merdeka dinegeri
yang menjijikkan ini’
(AKU BUKAN MERAMPOK, halaman 74).
yang menyimpan rahasia hidupnya
“jangan habisin papa, nak”
amat lirih suaranya’.
(HAMIL TIKUS, halaman 72).
dalam proposal kemiskinan
duh’
(RINDU YANG TERBANG, halaman 21).
Menyala kesumat membelah rindu
Yang berderingan jatuh bagaikan kristal’
(RINDU YANG TERBELAH, halaman 32).
menyewa lidah si bisu
dengan senyum kau suburkan
penderitaan ini’.
(MURKA YANG MENDESAK, halaman 20).
merindukan kasih sayang, semakin tinggi angka kemiskinan,
semakin jauh fatamorgana, semakin meregang jantung dan hati’
(KERINDUAN YANG PECAH, halaman 13).
Dan masih banyak lagi. Semuanya menyajikan ending yang tajam, setajam pisau jagal korban Idul Adha. Dan terakhir, seolah tak mau tertinggal dengan perkembangan puisi dunia yang lagi gandrung dengan haiku, Syarifuddin Arifin menggunakan haiku juga sebagai sarana penyampaian kritik sosialnya yang elegan. Perhatikan puisi berikut ini :
HAIKU: GALAU
dipeluknya bayangan
mengharap gabah
gelisahkan nelayan
tak pernah kalah
obat-obat generik
macam kerikil
bergaya di jalanan
cari pembalut
(Padang, 2012).
Demikianlah ulasan saya tentang puisi-puisi Syarifuddin Arifin di buku puisi tunggalnya berjudul “Maling Kondang”, semoga menjadi motivasi bagi kita semua untuk ikut mengkritisi apa yang terjadi dalam kehidupan di sekeliling kita, juga kehidupan bangsa dan negara kita, Indonesia.Teruslah menulis, If... teruslah memberikan rasa indah dan bermakna, teruslah berpuisi, teruslah bersastra.
Klaten, 4 – 5 Maret 2015.
Esti Ismawati
Dosen Pengajaran Sastra Program Pascasarjana Unwidha Klaten.
--------------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Tuas Media
0 comments:
Post a Comment