Puisi Almunawaroh (Banjarmasin, Kalsel)
Hutan Rimba
Hutan rimba memeluk jiwaku
Sungai-sungai melingkar,alur denyut darahmu
Menyatu dgn darahku
Tegar mengapung, pesona hutan rimbaku.
Membawa arus birahi hidupku, dan anak cucu
Namun di manakah kini hutanku.
Yang dulu memeluk anak negeri dengan hijaunya, dengan lebatnya, dengan indahnya, dengan pesonanya.
Di mana hutan rimbaku.
Hanya kenangan tuk anak cucu.
Kautelanjangi hutanku
Di depan mata dan jiwa kami, saksi
Nyata atas terbantai dan terkurasnya hutan rimbaku.
Berselimut rerumputan kering.
Sedihmu, tangis alam menguning tak kauhiraukan.
Hanya demi rupiah.
Kami tunggu secuil janji, yg belum kau tepati.
Wahai pembabat hutan rimbaku.
Janji akan membangunkan nyala roh hutan rimbaku.
Yang dulu kau hijau dan lebatnya
Mana janjimu, kau ingkari, kau zolimi hutan rimbaku.
Sungai-sungai melingkar,alur denyut darahmu
Menyatu dgn darahku
Tegar mengapung, pesona hutan rimbaku.
Membawa arus birahi hidupku, dan anak cucu
Namun di manakah kini hutanku.
Yang dulu memeluk anak negeri dengan hijaunya, dengan lebatnya, dengan indahnya, dengan pesonanya.
Di mana hutan rimbaku.
Hanya kenangan tuk anak cucu.
Kautelanjangi hutanku
Di depan mata dan jiwa kami, saksi
Nyata atas terbantai dan terkurasnya hutan rimbaku.
Berselimut rerumputan kering.
Sedihmu, tangis alam menguning tak kauhiraukan.
Hanya demi rupiah.
Kami tunggu secuil janji, yg belum kau tepati.
Wahai pembabat hutan rimbaku.
Janji akan membangunkan nyala roh hutan rimbaku.
Yang dulu kau hijau dan lebatnya
Mana janjimu, kau ingkari, kau zolimi hutan rimbaku.
Puisi Aloeth Pathi (Pati, Jateng)
Hijau Hutan Negeri
Ambisi memuncak gelora jiwa tergagahi
Karena hutan terperawani
Satwa pulang di balai kota
Musim tak pasti di antara gergaji dan kapak
Menebar ambisi modernisasi
Melenyapkan hijau menjadi kusam
Meradang nyanyian pedalaman
Ilustrasi teduh dalam buaian mimpi
Karena hutan tercerabut
Digusur pilar-pilar beton kota
Hijau hutan negeriku, terbangkan persada bumi pertiwi
Semoga Jayalah tempat kekayaan alam dan satwa flora-fauna
Senantiasa dijaga dalam kesadaran
Lestari, Hijau Hutan Negeri kami
Kajen,
Juli 2015
Puisi Amat Selamat (Tanah Bumbu, Kalsel)
Jangan Salahkan Tuhan
Di pagi buta tiada berangin, ranting pohon tetap bergoyang
Terdengar suara gemuruh di setiap titik hutan
Satwa buas berlari, berterbangan mengganggu pelosok desa
Khatulistiwa menjerit hingga air mata meluap di sudut-sudut kota
Kini kemurkaan turut datang menjamu setiap desa dan kota
Tapi jangan salahkan tuhan!
Sebab tangan-tangan kalian yang telah melanggar norma Tuhan
Maka, jagalah hutan! Jagalah hutan!
Hilangkan suara gemuruh nafsu di setiap titik hutan
Tenangkan khatulistiwa hingga air mata tersapu disudut-sudut desa
dan kota
Pagatan
(Tanah Bumbu), 22 Juni 2016. 05.16 Wita
Puisi Annisa Akhla (Tanah Bumbu, Kalsel)
Hilang Kandas
Semula kau simpan surga
beningnya air
kicauan burung
embusan angin
beningnya air
kicauan burung
embusan angin
cahaya mentari yang sejuk dari
celah-celah pohonmu
tapi semua kandas
ranting rantingmu terbakar
abu pun terhampar di antara tanah yang berkabut
ranting rantingmu terbakar
abu pun terhampar di antara tanah yang berkabut
21
Jun 2016 10.47, "Annisa Akhla"
Puisi Andi Jamaluddin, AR. AK. (Tanah Bumbu, Kalsel)
Dendang Bah
Sebab apa kalian
berteriak
sekeras dingin pada
kepercumaan
dendang bah, bukankah
kita sendiri yang
menabuhnya, pada
nyanyian nafsu yang
terkadang tak
tersadari, bahwa air
adalah darah tubuh
yang mengalir
di setiap denyut
sungai-sungai kehausan
sementara hutan
terkubur dalam tulang yang
kian merapuh
jauhlah biduk di
dermaga
menambatkan raga dalam
ruh-Nya
Tak usahlah berteriak
dendang bah telah
bergaung
di kembara riak
hutan telah
dilenyapkan
Pagatan, 11/03/16 #22.01#
Puisi Annisa Halwa Achmad (Bandung, Jabar)
Hutan… Andai Mereka Mendengar
Hutan…
Andai tangan-tangan itu mendengar kau menangis
Andai mereka mendengar kau menjerit
Mungkin mereka akan lebih menangis dan menjerit
Tapi sayang, tangisanmu, jeritanmu,
Dan penderitaanmu tertutupi kebekuan hati
yang membuat mereka tuli dan tuli lagi
Puisi Ansyah Ibrahim (Bekasi, Jawa Barat)
Sang
Paru–Paru Dunia yang Mulai Musnah
Dulu, hidupku sangat tenang
Aku tumbuh menyelimuti banyak daratan
Menjadi rumah para hewan
Menyegarkan dunia
Tapi kini, semua mulai musnah
Akarku mulai meninggalkan tanah
Badanku terbelah menjadi dua
Daun daun hijau mulai meninggalkan tangkainya
Udara bersih mulai menghilang ditelan gedung
perkotaan
dan aku, tak bisa menjadi paru–parumu lagi
Puisi Ariadi Rasidi (Temanggung, Jateng)
Hutan Jumprit Satu Pagi
Angin
bukit mengembus sejuk nyaman
sinar
ultra violet memancar segar
menerobos
gerumbul daun pinus mahoni
reranting
bergesek melantunkan simponi pagi
embun
pun mendendangkan kidung perpisahan
“Selamat
tinggal pagi”
lalu
menguap meninggalkan pucuk-pucuk daun
Kera
menggelantung di reranting pohon
menyongsong
pelancong yang berdatangan
burung-burung
pun berkicau riang
karena
masih banyak pepohonan tempat bersarang
Hutan
Jumprit hutan di lereng gunung Sindoro
akar-akar
gemulai menjalar melilit dalam tanah
menahan
erosi jadi mata air muara Kali Progo
air
berkah bagi kehidupan makhluk Illahi
Bawah
hutan air mengalir segar
meliuk-liuk
membentuk sungai
basahi
tanah regosol coklat muda
merasuk
segarkan akar-akar
tunas-tunas
pun ikut melambai
nun
jauh di sana lagu cangkul membentur sawah
diayun
berpasang-pasang tangan kekar petani
Temanggung, 2016
Puisi Arif Rahman (Tanah Bumbu, Kalsel)
Rimba Tak Berdaya
Hatiku adalah rimba belantara
Darahku adalah arus sungai yang mengarah ke hilir-muara
Suaraku adalah riuh angin yang menggoyangkan dedaunan
Badanku adalah hamparan di setiap pepohonan
Kekuatanku adalah jajaran bukit-bukit pegunungan
Perasaanku adalah tetesan embun pagi yang membasahi dedaunan
Ya... Akulah si hutan
Ya... Akulah benteng kalian
Ya... Akulah juga kekayaan kalian
Tapi
Rimbaku kalian bakari
Darahku kalian kotori
Suaraku lenyap tak kembali
Badanku kau potongi
Kekuatanku kau sakiti
Perasaanku menangis tak terhenti
Sadarkah kalian dengan semua ini?
Please...
hentikan nafsu kalian
Please...
hentikan keserakahan kalian
Please...
hentikan ketamakan
Karena aku adalah rimba tak berdaya
Tanah
Laut, 15 Juni 2016
Puisi Arif Sakhbana Lubis (Sumatera Utara)
Damai
Kicauan burung-burung
Berterbangan bebas di dalam rimba raya
Pepohon turut berlagu menerima sentuhannya
sinaran sang mentari hari
Di alam rimba damai dirasa
Segala-galanya terlukis sempurna
Di alam rimba keajaibannya
Pesona di jiwa
Di rimba tiada
Derita sengketa
Tiada kudengari
Tangisan sepi yang mengguris hati
Berterbangan bebas di dalam rimba raya
Pepohon turut berlagu menerima sentuhannya
sinaran sang mentari hari
Di alam rimba damai dirasa
Segala-galanya terlukis sempurna
Di alam rimba keajaibannya
Pesona di jiwa
Di rimba tiada
Derita sengketa
Tiada kudengari
Tangisan sepi yang mengguris hati
Sang pelangi ceria
Menanti kehadirannya gerimis senja
Bisikan desiran air
Turut sama menghiasi
keindahan ciptaan Ilahi
Menanti kehadirannya gerimis senja
Bisikan desiran air
Turut sama menghiasi
keindahan ciptaan Ilahi
Puisi Astri Indah
Lestari (Palembang, Sumsel)
Berisik dalam Risau
Riuh terdengar hingga ke tengah desa
Pagi pagi burung kutilang bernyanyi gembira
Siang-siang babi hutan mencari makan
Malam-malam jangkrik berpesta ria
Sejuk senang angin berembus
Tapi kini matahari lalu-lalang masuk ke hutan
Dulu berlumut sekarang gersang
Hewan-hewan mati kelaparan
Semut bertanya siapa gerangan,
tak punya hati tak ada kasihan?
Dulu riuh bagaikan melodi
Kini riuh bagaikan kembang api
Bakar sana sini, tebang ke sana tebang ke sini
Sudah lelah kami menanti
Akhirnya kami tak tahan hati
Kulongsorkan tanah ini agar kalian dapat berjanji
Puisi Aulia Fikri Fatahuddin (Jakarta)
Sebuah Kisah Tua
aku pernah mendengar sebuah kisah tua
sisah tentang hutan yang mewakili unsur gelap dan lembut
sebuah tempat terbaik bagi pejuang kita mengeluarkan siasat
dan suga sebagai tempat bermain bagi para pengembara
tapi itu hanya sebuah kisah tua
yang memiliki halaman baru di setiap zaman
kau mau tau kelanjutan kisah itu?
sebaiknya segera kau lupakan setelah kuceritakan
kisah tentang hutan yang tidak lagi gelap dan lembut
sebuah tempat terbaik bagi para mesin bernyanyi dan tertawa
hei, hutan itu menangis
apa kau mendengarnya?
Puisi Azra Mumtaz (Kalimantan Timur)
Ironi Hutan Borneo
Tak kujumpai pagi yang cerah ditemani keelokan
sang enggang
Melainkan hanyalah debu dan rintihan pohon
ulin yang tumbang
Tak kudapati malam purnama dengan bintang-gemintang
Melainkan kabut hitam pekat yang menghalang
Ironi sekali
Ketika burung enggang hanya kutemukan
dilambang
Anggrek hitam yang hanya menjadi simbol
Juga bekantan yang nyaris menjadi kenangan
Teruntuk iblis jelmaan penjarah hutan
Apa yang ingin kaudapatkan dari ini semua?
Kemajuan bangsa atau kekayaan?
Mustahil rasanya, kau hanya terlihat menuruti
nafsu dunia
Teruntuk iblis jelmaan penjarah hutan
Pernah kaurasa semilir angin yang menyejukkan?
Pernah kaulihat ketika anggrek hitam mulai
bermekaran?
Pernah kaulihat senyum manis dari bayi
bekantan?
Teruntuk iblis jelmaan penjarah hutan
Sajak ini kutulis khusus untukmu
Semoga kausadar akan yang didera Kalimantan
Salam hangat dari gadis di kota ungu
Puisi Bagus Nursyah (Surabaya, Jatim)
Pohonnya Pemerintah
Satu pohon dua kata
Namun ada seribu makna di dalamnya
Kadang menjadi dilema
Kadang hanya menjadi dusta pemerintah
Karenanya
Ia bermakna
Satu pohon seribu daun
Berguguran mengiringi musim semi
Seakan waktu cepat berlalu
Dan kepemimpinan pun berganti
Namun janji-janjinya
Belum terealisasi
Satu pohon sejuta bibit
Engkau tanam tuk jadikan hutan
Bukan hanya tuntutan rakyat
Namun itu kebutuhan manusia
Satu pohon beribu makna
Itulah yang tercermin di dalamnya
Bukan hanya mengenai amanah
Hutan, maupun manusia
Namun semuanya seakan tak pernah pudar
Dan terkait
Karena inilah kehidupan
Puisi Bambang Suprayogi (Sidoarjo, Jatim)
Belantara dan Harapku
Pucat pasi wajah belantara
Gersang meradang terpampang
Terbalut sang merah membara
Bertabur kepulan asap membumbung
Gersang meradang terpampang
Terbalut sang merah membara
Bertabur kepulan asap membumbung
Jeritan satwa riuh membahana
Menggetarkan nurani para pecinta
Jago merah mengamuk tanpa iba
Melahap rakus tanpa tersisa
Menggetarkan nurani para pecinta
Jago merah mengamuk tanpa iba
Melahap rakus tanpa tersisa
Hilang ceriamu belantara
Musnah sudah elokmu belantara
Tiada lagi sejuk desis embusmu
Tiada lagi canda riang penghunimu
Musnah sudah elokmu belantara
Tiada lagi sejuk desis embusmu
Tiada lagi canda riang penghunimu
Wahai belantara bersemilah engkau
Saat hujan membasuhmu
Duhai belantara tersenyumlah engkau
Saat tunas-tunas merangkulmu
Saat hujan membasuhmu
Duhai belantara tersenyumlah engkau
Saat tunas-tunas merangkulmu
Sidoarjo,
11 Juli 2016
Puisi Bayu Angora (Bandung, Jabar)
Oleh-Oleh dari Surga
setiap kali aku mengingat
buah merah yang lezat itu
sisa bijinya terasa perih
menggerogoti urat leherku
terus berkembang biak
menjelma pohon-pohon
yang tak bisa kering
dan tak bisa tumbang
dosa yang kita tanam bersama
selalu mekar di segala musim
hingga sajak ini kulupakan
diriku kian menjelma hutan
hutan birahi: hutan surgawi
2013
Puisi Carolus Petrus Fernandez Aliandu (Kupang, NTT)
Tak Ada Lagi di Hutan
Tak ada lagi di hutan
Beringin-beringin peneduh Hujan
Cabang dan rantingnya telah menguning
Berubah menjadi ribuan pencakar langit
Tak ada lagi di hutan
Banteng kurus yang rela mati untuk rakyat
Kini ia cukup di karantina sebulan, lalu
menjadi obesitas
Karena moncongya putih tetapi hatinya tidak.
Tak ada lagi di hutan
Garuda-garuda yang terbang bebas di atas awan
Mereka telah lama diawetkan, sejak tujuh puluh
tahun yang lalu
Hanya tersisa potret lawas di depan kelas.
Tak ada lagi di hutan
Harapan, cinta, dan rasa peduli
Namun yang ada hanya si gembala cacing tanah
Menunggu Beringin, Banteng, dan Garuda wafat.
Maka ia siap mengurainya demi hutan.
Sidoarjo,
16 Juli 2016
Puisi Defi Julayta (Sumatera Barat)
Dari Alam Akibat Kita
Kita memangkas rambut hutan yang lebih besar
daripada rambut ini
Membuat air bah jatuh lebih tinggi daripada
tubuh
Kadang kita menyulut api, menuai ladang tunai
Hingga ia muntahkan kerikil abu di langit biru
putih
Atau sebarkan tuba di semak
Hingga mati raksasa yang kita panggil gajah
Jangan lupa ambil gadingnya agar perut makin
buncit
“Haram!” kata Pria bersorban
Rungu terlalu pekak mendengar itu
Alam pun menghadiahi krisis bertubi-tubi
Akibat otak tandus rakus yang mengunyah air,
tanah, dan angin
Pekanbaru, 20 Juli 2016
Puisi Dennis Aziz
(Yogyakarta)
Hutan, Riwayatmu Kini
Kawanku, mesti berkemas sore itu
Ayahnya kena mutasi lagi
Mataku nanar
Ah, aku kehilangan benar olehnya
Kami tidak lagi bersisian menjelajah hutan
Menyibak semak, membuat jejak, menyusuri lekuk liku rerimbunan
pekat
Mencari kayu bakar, buat hangat tungku rumah
Sementara, Pak Lik dengan kain komprang
Berusaha menghibur “Sudah. Biarkan saja.Toh, kawanmu bukan cuma
Dia. Lihatlah, deretan pohon tegak menjulang, berebut mencakar angkasa. Mereka
itu bagian dari kita. Kita semua,”
Aku bangkit dari amben,
mengusap air mata
Sejak itu, aku lebih sering bertandang ke hutan
Pulang senja, bawa cerita, cerita apa saja
Waktu nyaris berpapasan dengan macan, waktu mengejar rusa dan babi
hutan
Atau tentang orang asing menenteng chainsaw
Ia mengaku dari kota, dari pemerintah
Ia membabat dahan, mematahkan ranting, membanting daun
Raungan dari alat, membuat induk-induk kera
Pontang-panting
memeluk anaknya
Kawanan rusa, babi hutan, dan harimau
Kabur, bersembunyi dengan harap-harap cemas
Sisa-sia mereka melawan sebisanya, sebelum timah panas memberondong
Menembus kulit dan jantung, menghancur kepala, melumat bongkahan
otak
Aku bergegas menuju hutan, tanpa kompromi
Aku bersama warga menguapkan asap-asap kebencian, hingga mengenangi
lamgit
Dalam batin “Aku akan lindungi hutan, selamatkan kawanku,”
Biar kami habisi orang itu!
Biar pemerintah tak semena-mena, buka mata!
Peluru-peluru kini menyasar pada kami
Aku surut
Mencari senjata sedapatnya
Pak Lik dengan kain komprang menahan lengaku“Sudah. Biarkan saja.
Biarpun seribu tenaga bertindak, bergerak, yang berlimpah harta tetap akan
berkuasa,”
Banyuraden, Jogja 2016
0 comments:
Post a Comment