Rind Dea Putri
(Tanah Bumbu)
Mengalirlah di Sungaimu
Teralirlah napas di ujung pusaran jiwa
hanyut pada kedalaman sungaimu
terbentang dari rahim hunianku
kurebahkan kembali ragaku
pada belai jemarimu di ujung helai-helai
rambutku
yang memutih dihirup waktu,
rebas semua rasa goyah iman larut
dalam kenangan biru
membirukan mata pada pelupukmu
sungai yang kauteduhkan
sungai-sungai yang mengalir dari muara
kasihmu
menenggelamkanku dalam teguk murni
selami jiwa-jiwa merana nan mulai
berdebu
atau mungkin sudah tenggelam dalam
debu
maka dalam sungaimu nan membentang
hingga pembaringan suciku,
kusuarakan rindu pada arusmu
Simpang
Empat, 2 Maret 2016
Rind Dea Putri,
terlahir di Yogyakarta, 21 Agustus 1996 dengan nama Dea Putri Rindriasari.
Merupakan lulusan SMAN 1 Simpang Empat, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan pada
2014. Saat ini ia sedang bekerja sebagai staf petugas UKS di SMAN 1 Simpang
Empat. Gemar mengikuti lomba maupun even lainnya di dunia kepenulisan.
Sangat
menyukai puisi, cerpen, teater, dan kini melebarkan sayapnya dalam dunia gumam
dan puisigrafi. Beberapa karyanya seperti cerpen, puisi, dan puisigrafi pernah
dimuat di media cetak (koran) dan dibukukan. Pos-El: littlerinddp@gmail.com
dan rinddpdenarin21@gmail.com.
Facebook: Rind Dea Putri. Twitter: @rinddp. Ig: @rind_dp21. Line: @rind_dp21.
Rita Afriana A.
(Tanah Bumbu)
Sungai Kusanku
Gemuruh teriakan kelotok
Hilir mudik di Sungai Kusan
Sungaiku
Sungai berwarna kini
Warna kecokelatan
Warna menyayat hati
Warna membawa luka mata
Dulu, airnya bening serupa intan di
bawah pelangi
Aromanya khas membuai diri
Ikan-ikan dan kepiting tampak berenang
sesuka hati
Seperti gambaran surga yang meliuk
membelah daratan suci
Tapi kini?
Hilang sudah kelestarian dan
kejernihannya
Senja pun datang
Sembari menertawai Sungai Kusanku
Di antara limbah yang berenang-renang
menuang duka
Simpang Empat, 8 Maret 2016
Rita Afriana A.
lahir di Kediri. Kini mengajar di Sekolah Menengah Atas Simpang Empat Tanah
Bumbu. Alumnus UMM ini mempunyai kegemaran membaca, makan, dan jalan-jalan.
Rusdi Fauzi (Barabai)
Riak Alir
Sungai Benawa
Sungai Benawa sungguh indah permai
saat fajar menyingsing waktu pagi hari
merona warnanya lengkungan pelangi
pucuk daun bambu melambai-lambai
Warna air yang jernih Sungai Benawa
beralun berkilauan pancarkan cahaya
semilir angin berdesir lemah
gemulai
terpaku gelora mendekap rasa
sunyi
Indahnya sungai mengalir nan anggun
lihat gunung nampak nun jauh di sana
sebagai pertanda sumber kemakmuran
penghujung kerinduan bangunkan jiwa
Di tepinya Sungai Benawa yang merdu
iringi getar bambu membunyikan nada
kecipak dayung bersenandungkan lagu
menyimpan kehidupan di kedalamanya.
Barabai
Rusdi Fauzi. Penulis kelahiran
Barabai pada tanggal 11 Agustus 1971, sejak dulu hingga
sekarang bertempat tinggal di Jalan Perintis Kemerdekaan RT
007/RW.003. No.
97 Kelurahan Barabai Darat, Kecamatan Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Mulai bergiat Seni dan
Budaya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar Negeri Beringin, sekarang SDN
Barabai Darat I.
Karya-karyanya pernah dimuat dalam
antologi puisi ASKS (Aruh Sastra Kalimantan Selatan) X di Banjarbaru, antologi puisi ASKS XI di Rantau, antologi puisi
ASKS XII di Martapura (2015), Suara 5 Lima Negara (Kumpulan Puisi Penyair Lima Negara,
Tuas Media Cet II, 2015), Nyanyian
Kacincirak (antologi 6 Penyair Hulu Sungai Tengah,
2015), antologi Bersama
(Puisi Haiku Indonsia 2015), antologi bersama
Tadarus Sastra Ada Bulan Bertabur Bintang, antologi puisi
Haiku pribadinya Aksara Yang Terlarung Di
Sungai Mimpi (2015), dan antologi bersama Ibuku Mendaki Badai (Tuas Media, 2015).
Rusyda Saffana
(Semarang)
Sungai Kesedihan
Ada cerita yang terkadang tak sanggup
untuk diceritakan
Ada nama yg terkadang tak pernah
sanggup dilupakan
Yang masih melukai setiap kali bergema
di dalam raga
Yang masih menimbulkan perih yang tak
sanggup diurai
Air mata tak sanggup menjelaskan,
tangis tak cukup melegakan
Aku ingin berlari, meninggalkan semua
luka
Membiarkannya hanyut bersama aliran
sungai yang mengalir perlahan
Tanpa pernah berhenti untuk menatap
Membawa pergi semua yang diserahkan
padanya
Seperti air mataku yang tak pernah
berhenti terjatuh
Mengalir entah ke mana, sejauh-jauhnya
Meninggalkan semua harapan....
Tentangmu
Semarang,
24 Januari 2016
Rusyda Saffana
terlahir dengan nama asli Rusyda Tri Nur Saffana di Sragen, 14 Maret 1999. Saat
ini duduk di kelas XII SMAN 4 Semarang.
Salama Elmie (Yogyakarta)
Riak
Sungai Lukaku
Mengalir tenang
Mengenang kenangan lebih dulu
Jiwaku terdiam mematung tanpa senyum
Dan aku terlanjur lupa memaknai diri
Di suatu siang
Ketika angin mulai semilir mengalir
Gemuruh sungai berteriak
Pada sampah yang berdiam diri
Menikmati luka-lukanya
Inilah kesaksian manusia yang mati
dalam hidup
Perlahan malam menjadi sunyi
Meninabobokkan purnama di peraduan
Meninggalkan sisa nasib
Yang sempat kita tinggalkan di
sepanjang selokan-selokan
Dan di lorong-lorong
Sampah-sampah itu terus terjebak
daun-daun pun melayang berguguran
Menyusuri sungai-sungai
Warna airnya tergambar kecemasan
Dan aroma bangkai pada airnya yang
mengenang
Seringkali memintaku berdiam
Sementara batin ini terjebak pada luka
Yang tempo hari kaubisikkan
Jogja 2016
Penulis kelahiran Kolpo, Sumenep.
Alumnus Al-Huda Gapura Timur. Kini tinggal di Yogyakarta menjadi Mahasiswi
Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddi dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.
Belajar menulis sastra dan aktif
di Komunitas Rudal Yogyakarta, juga bergiat di LPM Humanius UIN SuKa. Antologi
puisi bersamanya Sinopsis Pertemuan (2012), Menatap Sebuah Asa, hanya
sebuah nyanyian parau bocah jalanan (2013), Gemuruh Ingatan, 8 Tahun
Lumpur Lapindo (2014), Jaket Kuning Sukirnanto (2014), “NUN”
(2015), 175 penyair dari negeri Poci 6 “Negeri Laut” (2015). Sebagian
puisinya tersiar di beberapa media cetak, antara lain Indopost, Radar
Surabaya, Sinar Harapan, dan Medan bisnis . Penulis dapat dihubungi melalui Pos-El: Salama.elmie@yahoo.com atau nomor ponsel: 089633616393.
Salim Ma’ruf
(Martapura)
Sungai di Keningmu
~sarah~
Lampai rumpun bambu mampir sejenak pada dada sungai
mengucap salam kepada pemilik hikayat purba
ada sampan membelah raut kelam wajah keruh arus waktu.
Di ujung ranting karamunting,
duduk membatu seorang pengembara tua
menjinakkan sajak-sajak liar yang menyembul dari rahim sungai
sembari membaca perjalanan pusara daun silara menuju bilik halimun
hingga perjamuan arus kian membawa lanting lewati semadi ilung
yang bermukim di Sungai Barito.
Sarah,
Ada kejenuhan menatap senja dari jembatan ini
membaringkan rindu pada peraduan di pentas lazuardi.
Payau, bermain tangkai-tangkai basah mawar yang usang
sebagaimana angin memanjat daun muda kala kita menyulam gercik sungai
menjadi sebatang metafora dalam lekuk gemalai penari gerimis.
Masih asyik berenang pada dekapan riak sungai di keningmu
melupakan suluh yang hampir padam melawan kesiur bayu
atau pun aku hanya ingin menyudahi kenduri zaman ini
entahlah.
Dan aku kembali berpulang menuju sebidang rumah tua di
sudut sunyi
melafalkan jejak-jejak tertinggal pada temali di tiang
kelam
seusai isak tangis batu tua di pelataran debu membingkai
senja kuning
beraroma melati berujung purnama berambut perak
tanpa kusadari sungai di belakangku menjadi seonggok
batu.
Harapku, sungai di keningmu terus mengalirkan
hikayat-hikayat nirmala
tiada terpanggang bangunan-bangunan congkak
dan generasi mendatang masih bisa bernapas dalam kearifan sungai.
Martapura, 10 Maret 2016
Salim Ma’ruf, seorang lelaki
yang pertama kali menyentuh debur angin dunia pada 22 tahun silam. Begitu
mengidolakan seorang seniman Si Binatang Jalang yakni Chairil Anwar. Kegiatan
sehari-harinya, selain kuliah, juga aktif dalam sebuah organisasi yang bergerak
di bidang seni dan budaya yaitu Sanggar Ar-rumi STAID Martapura dan juga
Komunitas Road Show Puisi Kalimantan
Selatan. Sering mengikuti acara-acara sastra maupun menghadiri pementasan
teater.
Sami’an Adib
(Jember)
Hikayat
Kali Porong
mulanya sebuah kerelaan dari mata air arjuno
menandai ritual cintanya
menuju percumbuan di muara Selat Madura
kenangan terpahat indah di padas gili-gili
ketika kecipak-kecipung tujuh bidadari
mengalunkan serunai asmara di dada setiap laki-laki
seindah pendar matahari melukis pelangi
entah, suatu kebosanan atau keusangan
jutaan purnama mengubah setiap percik kenangan
menjadi dongeng
misteri klasik yang sempurna terprasastikan
pada akhirnya
kembali pada kerelaan air mata mata air
menampung
setiap kesah
mengusung
segala kisah:
tentang lumpur
yang meletup-letup mengubur jutaan kisah cinta
setelah
tak mampu membawa mimpi ke alam nyata
selain janji-janji yang entah
kapan terwujud merata
tentang
orok yang teronggok kaku di kardus lusuh
setelah gagal
menyembunyikan jejak nista ibunya
tentang ribuan
lalat yang asyik mencumbui aroma busuk
dari sisa-sisa peradaban yang katanya sudah lama berjaya
tentang gelepar
tarian ikan
setelah menikmati
kelezatan semu
dari hidangan kebiadaban manusia
tentang keruh
wajah para pemancing yang terpancung
oleh lapar anak
istrinya
setelah gagal
menemukan ikan penopang hidupnya
dan tentang
resah anak cucu kita
setelah cuma
kegagalan yang kelak kita wariskan
(Tuban-Jember,
2013)
Sami’an
Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15 Agustus 1971. Lulus Strata
I pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri
Jember (Unej). Pernah memenangkan Juara
III lomba mengarang cerpen yang diadakan BEM Fakultas Sastra, Unej. Puisi-puisinya
terpublikasikan di beberapa media cetak dan on
line. Antologi puisi bersama antara lain: Requiem Buat Gaza (Gempita Biostory, Medan, 2013), Menuju Jalan Cahaya (Javakarsa
Media, Jogjakarta, 2013), Ziarah Batin (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013), Cinta Rindu dan Kematian (Coretan
Dinding Kita, Jakarta, 2013), Ensiklopegila
Koruptor, Puisi Menolak Korupsi 4 (Forum Sastra Surakarta, 2015), Memo untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra
Surakarta, 2015), Kata Cookies pada Musim
(Rumah Budaya Kalimasada Blitar, 2015),
Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa (Universitas Jember, Jember, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Disbudparpora
Kota Banjarbaru-Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), dan lain-lain. Aktivitas
sekarang selain sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember, bergiat
juga di Forum Sastra Pendalungan. Saat ini tinggal di Jalan Imam Bonjol Gg. KUA 38, Lingk. Villa
Tegal Besar, Jember, 68132. Pos-El: samianadib@ymail.com.
Nomor Ponsel: 081336453539.
Selamat Bakumpai
(Kalteng)
Baritoku
Melalui keruhmu yang seluruh,
Kau kabarkan tentang hutan belantara
yang dibabat oleh mesin-mesin raksasa yang menggemuruh, memekakkan telinga,
mengusir dan membunuh satwa-satwa liar serta membuahkan banjir-banjir yang
menyengsarakan.
Melalui tongkang yang merayap ke
muara,
Kau kabarkan tentang bumi yang
dijungkirbalikkan dengan pongah demi emas hitam yang melimpah untuk
menghidupkan industri dan listrik di pulau seberang sementara di tempatmu
sendiri lebih sering gulita.
Melalui riakmu yang miskin kecipak dan
sambaran ikan,
Kau kabarkan tentang maraknya
penyetruman, penggunaan racun serangga dan potas di seluruh aliran sampai ke
paling udik dirimu, untuk kemudian mencipta rerintih dari tubuh-tubuh yang
telah teracuni.
Melalui sampah dan limbah yang hanyut,
Kau kabarkan tentang penduduk yang
sudah menaik taraf pendidikannya namun tak juga sadar bahwa sungai bukanlah
tempat pembuangan akhir yang tepat.
Melalui jamban-jamban yang mengapung
sepanjang aliranmu,
Kau kabarkan tentang masih adanya
orang-orang yang berpikir setengah primitif atau sebagian lainnya lagi
menganggap bahwa itu bagian dari rantai makanan dan manusia adalah bagian dari
semesta makhluk hidup.
Melalui arusmu yang kian sepi dari
perahu dan kapal yang hilir mudik,
Kau kabarkan tentang telah dibangunnya
infrastruktur jalan dan jembatan yang membuka segala akses sampai ke kampung
terisolir di pedalaman, kemudian lahirlah gadis-gadis dusun dengan bibir
berlipstik dan pandai ber-selfie.
Baritoku,
Melalui seluruhmu kau kabarkan bahwa
zaman telah berubah.
Muara
Lahei, 14 Maret 2016
Selamat
Bakumpai
lahir di Muara Lahei (Kalteng) pada 1 Agustus 1972.
Berprofesi sebagai guru SMP di kampung halamannya. Karyanya pernah dimuat di
antologi puisi Suara Lima Negara dan
antologi haiku 1000 Haiku Indonesia.
Selly Rima Octavia
(Tanah Bumbu)
Belenggu Arus
Terbelenggu, mencekam yang seakan memikat untuk bertanya
Siapa, dan apa yang terjadi di dalam sana?
Suara gemuruhmu,
seakan terus menderu resah di telingaku
hingga aku terbawa arus ceritamu,
temani sepi yang tiada tara,
temani resah yang tiada henti.
Namun hanya kebisingan yang terdengar,
Hanya keseganan yang mendekat.
Ronamu bagai asam pelengkap lara.
Simpang Empat, 11 maret 2016
Selly Rima Octavia lahir di Simpang
Empat pada 7 Desember 1992 silam. Telah menyelesaikan pendidikan S-1 Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia dua tahun yang lalu. Saat ini tengah bekerja
sebagai guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Simpang Empat. Wanita energik dan
periang ini menyukai sastra terutama puisi. Ia sangat suka menulis puisi sejak
SMA sebagai konsumsi pribadi. Ibu muda ini memiliki permata hati yang diberi
nama Muhammad Alif Rahmatullah. Dapat dihubungi via Pos-el: mutserli45@yahoo.com, fb: Selly Ro Frc, twitter: @Ccochip_frc12, Ig: @Sellyoctavia90, dan line: @sellyro.
Seloe
Rheeo Sudarman (Tanah Bumbu)
Sungai yang Kehausan
Mencengkeram
laut berharap muara di bibir sungai
Tentang rindu kami, kaulah hamparan tak bertepian
Liuk-liuk wajah membantarkan keruh serupa perih
Tuas malamku bertasbih, hanyut menawan zikrullah
Ceritamu, duhai sungai pelepas dahaga
Membingkai haru dalam arus deras tak terjamah
Tentang rindu kami, kaulah hamparan tak bertepian
Liuk-liuk wajah membantarkan keruh serupa perih
Tuas malamku bertasbih, hanyut menawan zikrullah
Ceritamu, duhai sungai pelepas dahaga
Membingkai haru dalam arus deras tak terjamah
Akulah
anak-anak sungai
Yang lahir dari rahim bumi
Lelah dalam membahasakan arusmu
Yang tak lagi kutemui
Yang lahir dari rahim bumi
Lelah dalam membahasakan arusmu
Yang tak lagi kutemui
Duhai
akulah anak-anak sungai
Yang kehausan kala musim hujan membanjiri takdirku
Kularung lapar berbalut doa
Inilah urat-urat bumi yang kaulukai!
Yang kehausan kala musim hujan membanjiri takdirku
Kularung lapar berbalut doa
Inilah urat-urat bumi yang kaulukai!
Tik
tik tik
Peluhmu belum terobati
Duhai sungaiku yang kehausan
Biarlah mengering, dalam ikhlas tak berbatas
Biarlah melapar, dalam lambung yang kekenyangan
Zikirku tak pernah terputus
Memuja dan memujimu; duhai anak-anak sungai
Peluhmu belum terobati
Duhai sungaiku yang kehausan
Biarlah mengering, dalam ikhlas tak berbatas
Biarlah melapar, dalam lambung yang kekenyangan
Zikirku tak pernah terputus
Memuja dan memujimu; duhai anak-anak sungai
Tanah Bumbu, 11 Maret 2016
Seloe Rheeo Sudarman mengabdikan hidupnya pada negara
sejak tahun 2008 hingga sekarang, sebagai petugas Penyuluh Pertanian Lapangan
dan sebagai Penyiar Radio serta kontributor berita. Sebenarnya sangat menyukai
puisi, tapi tak pernah punya waktu khusus untuk menyalurkan kegemaran menulis
puisinya.
Sulchan MS (Kudus)
Sungai Negeriku
Puing ranting di lembah sungai,
mengering
Berserak menumpuk menjalar akar-akar
tembikar
Walau kering tertimbun terjarah tanah
basah
Gembur berlumut bertumbuh rumput
Ruang-ruang menyempit
Tanah-tanah menghimpit
Air meluap tumpah ke parit
Sawah-sawah menadah terjangan air bah
Bilamana musim hujan tiba
Air meluap tanggul-tanggul disulap
Waduk-waduk tersendat, tertimbun
sampah bejibun
Sementera air terus melaju, mengalir
deras, merongrong tanggul pembatas
Sungai negeriku kini terkotori
Oleh sampah dan endapan sedimentasi
Ulah tangan-tangan arogan berhasrat
memiliki
Mengeruk materi mewariskan limbah
industri
Berbau, beracun kini sungaiku
Ikan-ikan pergi dan mati setiap waktu
Ke mana lagi sungai negeriku mengadu
Jika manusia tak lagi peduli dan tak
lagi mau tahu
Sungai negeriku bersimbah sampah
Tercemar hingga terdengar di negeri
sebelah
Berkubang di antara virus bercampur
zat mercury
Tertelan, terminum, terkonsumsi setiap
hari
Jangan bilang ini biasa lantas diam
menutup mata telinga
Membiarkan sungai negeriku memangsa
nyawa-nyawa tak berdosa
Lantas saling hujat saling caci saling
tuding sana sini
Tak memberi solusi hingga berakhir
mati
Kudus,
1 Maret 2016
Sulchan MS juga sering dipanggil dengan sebutan Mangir Chan, laki-laki dan lahir di Kudus, 30 Oktober 1987. Tinggal di
Jalan Kudus, Purwodadi Km 17, Desa Lambangan, RT 06 RW 01, Kecamatan Undaan,
Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah, Kode Pos 59372.
Mulai belajar menulis
puisi sejak tahun 2009 hingga sekarang.
Selain kecintaannya dalam menulis puisi ia juga aktif membina dan berkiprah di dunia teater. Saat
ini ia dipercaya sebagai
manajer sebuah kelompok teater pelajar di Kudus yang bernama teater Pelangi MA
Darul Hikam Undaan. Selain itu, juga ikut aktif membina di teater Lingkar Janji Undaan
dan Teater Peace Undaan.
Tak hanya menulis puisi, ia juga belajar menulis naskah teater pendek, di
antaranya adalah naskah yang berjudul Fragmen Rokok tahun 2015 telah
dipentaskan oleh teater Pelangi dan naskah yang berjudul Membaca Tanda “Gus Jakfar” tahun 2016 telah dipentaskan oleh Teater
Peace Undaan.
Menulis puisi dan berteater adalah dua hal
yang bisa mengobati rasa hausnya terhadap dunia seni dan melalui karya, ia ingin mencoba membuka dunia. Semoga tidak hanya fantasi
dan mimpi belaka.
0 comments:
Post a Comment