Puisi Ghina Salsabila (Marabahan, Kalsel)
Hutanku, Deretan Galam
Mengintip cerita tentang rumahku
Tiang-tiang kulit tipis berkambium
Atapnya daun aroma terapi kayu putih
Alas tanah rawa-rawa basah
Cerita hutanku
Bercak hijau berlapis embum musim penghujan
Cokelat kasar lagi pudar dilanda kemarau
Rotasi musim tak seorang pun merasa segan
Ini kisah hutanku
Deretan galam menjulang
Sebentar lagi hilang
Akibat ditusuk beribu birahi para penguasa lahan
Marabahan, 18 Juni 2016
*Galam : Pohon Kayu Putih/Eucaliptus
Puisi Grace Gultom (Bogor, Jabar)
Mendengar Hutan
Dulu segala tentang hijau berbaris disisi kanan dan kiri
Kini hanya tampak tangis dari akar tak bertulang
Tanah yang kupijak pernah terasa merdu
Pernah terasa begitu menenangkan hatiku
Namun kini yang terasa hanya kerikil
Begitu gersang, menusuk benakku
Sepanjang kuberlari hanya tampak kekosongan
Tak ada satu pun terpajang keindahan
Hanya ada tulang belulang berdiri ragu
Batang belulang yang takkan seperti dulu
Pernahkah kita berpikir rasa pedih di dalamnya?
Akankah kita bisa hidup tanpa hadirnya?
Akankah dunia bisa tentram tanpa sosoknya?
Puisi Hadi Sastra (Tangerang Selatan)
Elegi Hutan
Adakah yang lebih seram
daripada rakusnya manusia
merebut hak-hak kemerdekaan pepohonan
yang selama ini menjulang
mengayomi hutan?
Adakah yang lebih jahat
daripada biadabnya manusia
merampas hak-hak kemerdekaan binatang
yang selama ini bersarang
dari lebatnya hutan?
Adakah yang lebih gila
daripada sadisnya manusia
menjarah hak-hak kemerdekaan air
yang selama ini berlinang
dari titik-titik mata air di hutan?
Sementara,
justru manusia sendiri
dalam perjalanan hayat
begitu tambatkan nasib
dari kemurahan hutan
Lihatlah,
saat ini di negeri ini
negeri yang konon paru-paru bumi
tangan-tangan hitam sebagian warganya
selalu mencabik-cabik kehidupan hutan
demi perut sendiri
Lagi-lagi dipertontonkan
hutan-hutan rusak
-- akibat penggundulan tanpa aturan
hutan-hutan dibakar
-- asapnya melegam angkasa
musnah pepohonan
menjerit binatang
mati mata air
-- berganti air mata
tersumbat jalan napas
bergejolak rakyat
membara negeri-negeri jiran
memanas dunia
celaka bagi manusia
: ilustrasi neraka
Maka,
telah saatnya kini
jernihkan suara hati
hidupkan tekad peduli
tebar bibit pohon di setiap titik
sirami dan ayomi
agar kelak dinikmati
hutan memayungi negeri ini
pepohonan kembali menari
binatang menyanyi lagi
air terus mainkan musik
tercipta irama hayati
demi anak negeri
hingga ke buyut cicit
: ilustrasi surgawi
Tangsel,
Juli 2016
Puisi Haitami (Banjarmasin, Kalsel)
Elegi Kematian Pohon-Pohon di Tanah Zamrud Khatulistiwa
Awan-awan mengerucut di ufuk barat
Asap-asap menggelayut di cakrawala
Mata-mata menatap sendu kelabu
Hutan-hutan habis terbakar bara
Kelatu-kelatu beterbangan sampai ke kota
Langit-langit hitam membara
Hewan-hewan mati terpanggang
Pohon-pohon sisa arang
Manusia-manusia serakah yang tak tahu
Sawit-sawit tumbuh subur hijau
Minyak-minyak sawit di ekspor
Cukong-cukong tertawa bak mandor
Rakyat-rakyat tertawa ompong
Pohon pohon raksasa ditebang
Upacara kematian pun siap dilakukan
Balian menari bak kesurupan
Tanahku tanah Hitam
Kayuku kayu baja
Alamku mati, alamku hidup
Alamku hijau, alamku kotor.
Puisi Halimatus Sadiah (Tanah Bumbu, Kalsel)
Jeritan Penopang Kesejukan
saat hutan menawan mata,
ia ditoreh, disayat
dimutilasi
tanpa reboisasi
pohon-pohon yang melindungi kita dari polusi
erosi
dan tsunami
kini
sekarat, seperti pasien koma yang nyaris mati
lupakah, tanpa hutan kita tak bisa bernapas
hutan
menyayangi kita
hutan
menghidupi kita
tapi,
tangan-tangan
tak tahu diri terus merusaknya
Batulicin,
Tanah Bumbu, 24-06-2016
Puisi Halimatussa’diyah (Tanah Bumbu, Kalsel)
Cinta Alam Damaiku
Setinggi-tinggi melanting
Walaupun itu sesat di ujung jalan
Sekedip mata pun
Tak terucap
Sia-sia menjaring angin
Aku tidak seperti otak udang yang tidak peduli
dengan hutan
Telunjuk lurus kelingking berkait
Bukanlah jati diriku
Hutan
Tanah luas yang ditumbuhi pepohonan
Sudah seharusnya kita pelihara
Sudah seharusnya kita indahkan
Hutan ini
Inilah rahmat karunia
Penuh nuansa damai dan tentram
Kita pelihara sepanjang zaman
Pagatan, Tanah Bumbu,
29 Juni 2016#08.13
Puisi Hamdani Mulya (Aceh)
Jerit Tangis Belantara Leuser
Leuser menangis dalam isak tak terkira
Mendesah karena pohon yang tumbang
dan ranting yang dicincang
Leuser menjerit menggelegar seperti suara pohon
yang dikorbankan oleh kaum rentenir
Demi dijadikan lumbung uang
Sungai yang dulu biru
Gemercik airnya suara merdu
Laksana alunan puisi bertalu-talu
Kini bercampur debu dan serbuk kayu pun
Mengalir di rimba Aceh itu
Karena ulah mesin gergaji
yang dikemudikan orang tak dikenali
Lalu banjir bandang pun datang menyapu
Hingga atap rumah roboh karena longsor
Mari! Ayolah mari ...
Rawatlah hutan negeri ini
Sebagai rasa syukur atas karunia Ilahi ya Rabbi
Seperti mimpi-mimpi burung
yang dulu bernyanyi di sarangnya
Sambil menatap sungai jernih di pagi hari
Berdiri di ranting dan pohon
yang dulu indah itu
Masih ada lagi yang peduli hutan Aceh
yang ranum segar itu?
Setelah tsunami datang menyapu Aceh
dalam tangis pilu yang tak bertepi itu
Semoga tak lagi datang banjir bandang
yang pernah menerjang Tangse
di Pidie pada hari yang mencekam itu...
Catatan: Leuser adalah nama gunung di kawasan konservasi Taman
Nasional Gunung Leuser di Provinsi Aceh.
Puisi Hardi Nasri (Kepulauan Riau)
Perginya Sepasang Bul-Bul
Senja ini sudah tak kedengaran
nyanyian merdu burung bul-bul
pada tiap ujung ranting akasia
biasanya ada sepasang bul-bul
yang riuhnya
melabuhkan senja
ke tempat akhir perhentiannya
Aku telah menemukan sesuatu
ketika gaung
bul-bul telah lesap
barangkali bul-bul tak berimba
sebab rimba sudah hilang gema
segala sukma
pelan-pelan pergi
karena ulah manusia yang aniaya
Kini tak ada deru pohon akasia
pun tak
ada teduh pohon pinus
rimba jadi senyap-sesenyapnya
angin kini sudah ngalir datar saja
dan merebaklah segala bau luka
yang tersisa tanah tak berwarna
Bul-bul kini sudah beranjak pergi
suaranya yang merdu mendayu
akan tersimpan rapi dalam hati
kelak kukisahkan kepada zuriatku
bahwa bul-bul pernah ada di sini
nyanyi di tanah yang tak bernadi
Tanjungpinang,
22 Juni 2016
Puisi Hatmiati Masy'ud (Amuntai,
Kalsel)
Hutan Rindu
Kutuang jelaga-jelaga rindu di bibir musim yang kerontang
Angin bertiup serupa badai yang menampar ranting-ranting penantian
Hutan itu telah meleleh dalam kobaran cinta musim panas yang kering
Di ambang batas, dirimu dan dirinya berjarak ratusan mil dengan
surganya
Malam belum lagi pudar bersama tungku yang menyala,
Ratusan batang telah terbakar dengan sumbu matahari dan helium
Dalam kawah candradimuka yang menyala dari labirin adam dan hawa
Pernah kau berteriak sambil tergelak geli, “inikah untuk warisan
anak cucu?”
Tawamu itu terbawa angin sampai ke beranda dan lenyap disapu
dinding waktu
Pagi ini, musim benar-benar garing
Daun menggelepak seperti ikan kehilangan insang
Batang dan ranting berbalur warna coklat susu yang rimis
Bunga tak pernah sempat mengecap nikmatnya buah yang ranum
Dia jatuh bersama angin yang lisut dan cinta yang terlanjur beku
Bolehkah aku bersandar di pundak musim dan menumpahkan gametku
Waktu berputar sama dengan hitungan jam yang lalu
Hutan rinduku menjulang di antara dinding-dinding yang tumbuh di
tebing mimpi
Berbalut senyum giris yang terbungkus dalam kebenaran hakiki
Kau bersenda gurau serupa dahaga anak-anak Afrika kepada musim yang
basah
Langit senja meneduhkan gerimis yang sempat mampir di beranda
Menegaskan kau dan aku hanya pemanis di bibir waktu bersama cinta
merah tembaga
Puisi Henni Martini (Sumatera Selatan)
Surat untuk Nenek
Lumut-lumut hitam
Sesegar sesak-sesak
Gambut mengabut
Manusia merengut
Kepada sungai keruh tak tawar
Liukan kubik pahat bergilir
Burung bertemu hilang
Beriring perawan hutan diaborsi
Berganti milik korporasi
Apa itu Meranti, Nek ?
Puisi Hidayati Desy (Banjarmasin, Kalsel)
Teduhku Hutanku
Hijau hutanku
Hening hutanku
Air berpasangan dengan derasnya ombak
Di temani sepoi air yang syahdu
Dan dilagukan dengan angin surga
angin daunan hijau
hijau peponohanku
pepohonanku raja hutanku
jika hewan-hewan mampu memelihara
mengapa manusia lebih biadab menerjang pohon
hutan hingga gundul yang menjadikan panas, kusam, berdebu, dan sengsara.
Maka, sebelum air matamu terjatuh
jagalah ia sepenuh hati mulai sekarang
Puisi Imam Budiman (Jakarta)
Gunung Tunggal dari Sepetak Jendela
;
rumah kecilku di Loa Bakung
jauh
lebih kurindui kampung kecilku loa bakung–konon dulunya sebelum kakek buyut
terlahir dari dasar bebatu, telah dinamai para arwah leluhur kutai ribuan tahun
silam; berwajah sekelebat hijau yang berjajar dan akan senantiasa dari waktu ke
waktu, membiakkan anak-anak pepohon mungil yang tumbuh-kembang dari celah rahim
tanah ilalang. kita dapat menikmati rekahan tubuh matahari yang menyembul di
baliknya setiap pagi. kemahapurnaan yang senantiasa berulang-ulang.
:
demikianlah hutan menjadi tempat bagi kami mengenang masa kecil, berkebun
bermacam jenis buahan, dan merawat kasih sayang peninggalan para tetuha.
jendelaku
terkuak setengah, angin semilir berembus dari timur. maka usah dicederai
batang-batang pohon beserta usianya yang ratusan atau bahkan tak berbilang.
usah pula, hey kau para penanam modal yang tak paham kesakralan adat istiadat,
jangan sesekali berupaya meluluhratakan pasak-pasak kampung kami dengan
perumahan dan mall-mall. meski kelak kami akan disebut primitif dan
hidung-hidung kami dituding bodoh; betapa mulianya ujaranmu dengan apa yang
disebut-sebut sebagai bagian dari perkembangan zaman dan arus modernisasi yang
tak lebih dari sekadar bualan.
biarkan
hutan kami menjadi tempat bersarang berbagai jenis burung.
biarkan
hutan kami menidurkan amuk bandang bila hujan serupa air bah.
biarkan
hutan kami memelihara muasal jernih mata air di bawah lembah.
biarkan
hutan kami membekas dalam ingatan masa kecil bocah kampung.
biarkan
hutan kami menyediakan payau, kancil dan babi untuk diburu.
hutan
adalah tempat kami menggantungkan hidup
dan
kelak akan berpulang selama-lamanya.
Samarinda, 2016
Puisi Imam Bukhori (Balangan)
Propaganda Hutan Klenik
hutan
adalah wajah Indonesia
bibir
orang hutan kering pecah-pecah
tetap
sunggingkan senyum tropis
dari
lembab belukar kayu manis
karena
setiap ekspedisi
selalu
temukan species terkini
namun
mitos flora dan fauna
makin
guratkan serbuk nestapa
tak
terhitung sungai peluh
puluhan
juta masyarakat yang melenguh
lalu
keajaiban ekonomi
hajar
habis wajah itu
pulp
dan kertas industri
sebabkan
lebam hitam dan membiru
kebijakan
era dan zaman
hancurkan
hak tradisi lingkungan
pada
masyarakat lokal
paksa
jadi guide pembalakan ilegal
hantu-hantu
deforestasi
menyusup
dalam volume horor imaji
tolong
jangan gunakan mantra pancasila
sebab
kerusakan hutan jutaan hektar per tahunnya
atau
khotbah soal nilai-nilai hakiki
yang
menjadikan kerusakan hutan Indonesia tertinggi
hingga
pertengahan abad delapan belas
hutan
di Jawa masih segar paras
berakhir
seumur jagung di tegalan
tinggal
koma di belakang nol juta hektaran
dan
itu hanya sekian persen
dari
luasan Jawa inkonsisten
apalagi
wajah hutan Kalimantan
yang
katanya paru-paru kemukjizatan
hanya
sisakan genangan gambut berjuta hektar
bikin
Greenpeace berkoar-koar
“Hutan
Kalimantan tersisa semaumu”
sampai
Guiness
Book of The Record bertopang dagu
seraya
anugerahi laju kerusakan hutan tercepat
dalam
catatan reptil terlaknat
bersama
luasan-luasan prosentase
giring
katulistiwa terkikis dalam etalase
wajah
hutan Indonesia menuju abad kepunahan
teriakan
kesakitan akar dan kayu-kayu gelondongan
“Aku
sekian persen hutan tropis dunia”
“Aku
sekian persen spesies mamalia”
“Aku
sekian persen spesies ampibi”
“Aku
sekian persen spesies burung”
“Aku
sekian persen spesies ikan dalam sesaji tempurung”
sebagian
diantaranya adalah endemik
selebihnya
adalah propaganda-propaganda hutan klenik
Puisi Ichin Gepe
Tentang Ranting
Tanyakan saja pada ranting
Tentang rasanya kehilangan
Ditinggalkan sang dedaunan
Bersama kehampaan
Terbang oleh angin perlahan
Tanyakan juga pada ranting
Perihal rasanya kebahagiaan
Menunggu pucuk dedaunan
Bersama mimpi juga harapan
Dan tersenyum ketika ia dilahirkan
Bukankah begitu kita semestinya?
Pada luka dan juga cinta
Selayaknya ranting yang bijaksana
Pada alam dan semesta
Puisi Ichsan Tjokronegoro (Madiun, Jatim)
Diskusi
Kita duduk bersama menikmati akhir pekan di sebuah hutan
Memandang langit dan gemintang malam ini
Berdiskusi tentang alam, tentang pohon carica yang baru kita jumpai
kemarin
Berdiskusi saat kau dan aku minum teh di Jalan Afdeling Kemuning
Lebih dari dua dekade kita habiskan masa muda di tanah ini
Di tanah yang dulunya tempat koloni jauh-jauh datang berburu hasil
bumi
Malam ini kita dan diskusi memecah angin dingin
Betapa ngeri waktu menuju kemari melihat plastik, kaleng bekas,
botol kaca bak penghuni lain yang tinggal di sini
Ingin suasana diskusi malam ini layaknya kita minum teh kemarin
atau saat kita petik carica langsung dari pohonnya
Udara terasa begitu segarnya dihirup kala itu
Kita akhiri diskusi
Di atas sana kita lihat langit masih sama indahnya
0 comments:
Post a Comment