Heri Kurniawan
(Yogyakarta)
Kidung Hilir Ilir-Ilir
Gemercik riuh buat bumi berbasuh,
liukan liar tegas mengular
melibas bumi dalam bingkai muara
hilir.
Sambil menembang ilir-ilir, kau
berujar jika semua menunggu takdir
Ingatku kala lalu, saat aku sanggup
membelaimu tanpa rasa curiga
sembari bersiul nada-nada surga,
mozaik cerahmu tak akan terlupa
Sambutmu, beningmu, senyummu, selaksa
irama sukma
mendera benak lari ke sana kemari
dalam kenangan lama.
Sendiri pun terasa ramai waktu itu
Tak lama kau bergumam, kemudian
berdeham
sindir diri karena muka terlanjur
lebam
Penunggumu kini kaku, ada pula diam
membatu
jiwanya rapuh berderai-derai namun tak
dapat terurai, sinis berderu
Sepotong senja beranjak pergi, aku
terpaku
ingat nyanyian Ilir-Ilir yang pernah
kita dendangkan bersama
ketika harum tanahmu masih wangi
kusuma.
Hitam pekat ulat pun bahkan tak ingin
dekat
mereka terberit melangkah cepat
laksana kilat
enggan menari bersamamu lagi, entah
sampai kapan?
Gemercikmu sunyi, angin lunglai, walau
kadang mereka memelukmu erat
Arusmu, sungaiku, aku rindu menari
bersamamu
dengan bermandi gugusan bintang yang
dulu ada
Sambil menembang ilir-ilir, kau
berujar jika semua menunggu takdir
Yogyakarta,
14 Februari 2016
Heri Kurniawan
lahir di Sleman, Yogyakarta, 13 April 1981. Aktif menulis sejak semasa kuliah.
Keseharian bekerja sebagai pustakawan sebuah SMA di Kulon Progo. Dapat
dihubungi via Pos-El: ryawan_81@yahoo.co.id
Husnul Khuluqi (Banyumas)
Menyusuri Musi
Malam Hari
-bersama
pedagang pasar kalangan
perahu
yang kita tumpangi
mampukah
membaca derasnya arus
dasar
kali?
di
atas geladak
orang-orang
duduk memeluk lutut
sebagian
menyelimuti tubuhnya dengan jaket
dan
juga kain sarung
di
kaki malam
perahu
terus bergerak
menuju
dusun-dusun yang jauh terpencil
dusun-dusun
yang tersembunyi
yang
belum tergambar
dalam
peta
negeri
ini
aduhai
ribuan
kerlip bintang
adalah
petunjuk bagi nahkoda
agar
perahu tak sesat
ke
rawa-rawa gelap
yang
dikurung hutan-hutan
dan
semak lebat
perahu
yang kita tumpangi
terus
mengayun di atas sungai
melewati
kebun-kebun karet dan sawit
melewati
rumah-rumah kayu yang sunyi
dalam
sekapan malam
dan
angin dingin dini hari
amboi
berapa
lama lagi pelayaran ini mesti ditempuh?
di
atas geladak orang-orang pulas mendengkur
tinggal
aku terjaga sendiri
di
bawah kerlip bintang-bintang
yang
tampak kian tinggi
2016
Husnul Khuluqi
atau biasa disapa Lulu lahir di Banyumas, Jawa Tengah. Puisi dan cerpennya
dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo,
Media Indonesia ,Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Nasional, Suara Karya, Pikiran
Rakyat, Lampung Pos, Riau Pos, Sinar
Harapan, Merdeka dan Fajar Banten.
Puisi-puisinya
juga tergabung dalam beberapa antologi seperti Trotoar, Antologi Puisi Indonesia 1997, Cisadane, Rersonansi Indonesia,
Bisikan Kata Teriakan Kota, Empat Amanat Hujan, 142 Penyair Menuju Bulan, Wajah
Deportan, The Poetry of Nature, Akulah Musi, Percakapan Lingua Franca, Antologi
Penyair Muda Malaysia-Indonesia 2009,
Tara Tuah No Ate, Sauk Seloka, Ibu Kota Keberaksaraan, Negeri Abal-Abal, Negeri
Langit, Negeri Laut, Tifa Nusantara 1,
Tifa Nusantara 2 dan Kitab Karmina Indonesia.
Buku
puisi tunggalnya berjudul Romansa
Pemintal Benang (2006). Bergiat di Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta.
Mantan buruh pabrik benang di Kota Tangerang, Banten ini sekarang kembali ke
kampung halamannya seraya tetap belajar menulis puisi dan cerpen.
Iis Nia Daniar
(Bekasi)
Rindu Wadi
Gersang ... tanpa
dedaunan pada batang yang bergesekan menyapa kekerontangan di atas padang
pasir.
Putaran angin bergelombang menyapu butirannya di
tengah ketandusan.
Pancaran mahabola pijar memanas kulit, mengelupas epidermis
tepat di atas titik pusat diameter bumi.
Di mana hujan?
Di mana sungai?
Di mana oase pemberi kehidupan Ismail?
Berjalan menyusuri wadi berharap akan turunnya tetesan
airmata langit hingga terisi lengkung
panjang yang mendamaikan ketandusan meski hanya setumit tapak.
DAS tidak lagi hanya artefak yang menyembunyikan banyak
kisah, inginku....
Bekasi,
6 Maret 2016
Nama penulis Iis Nia
Daniar dan nama pena: Senja Menjingga. Lahir di Bekasi, 15-08-1977.
Pendidikan S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Bandung
(2000). Beberapa karya telah dimuat di koran lokal Madura dan antalogi puisi
AFSI, Jogyakarta. Aktif di Forum Sastrawan Bekasi (FSB). Pengajar pada
PRIMAGAMA cabang Bekasi dan SMP N 31 Kota Bekasi. Nomor Ponsel: 085280873946
Kebahagiaan di Arus Sungai
Di kala senja yang mulai tipis
di pinggir sungai
dulu kita berempat
bersenda gurau di temani waktu
di pinggir sungai
dulu kita berempat
bersenda gurau di temani waktu
Tawa dan keisenganmu
bermain gemercik air
tak peduli
membasahi sebagian tubuh
hanya agar kapalmu
berlaju terdepan
bermain gemercik air
tak peduli
membasahi sebagian tubuh
hanya agar kapalmu
berlaju terdepan
Sorak sorai kemeriahan
sepanjang arus
dengan ego yang menggebu-gebu
rasa gembira yang memuncak
sepanjang arus
dengan ego yang menggebu-gebu
rasa gembira yang memuncak
Dan begitu riang
di saat kapal memasuki finish
yang pertama
di saat kapal memasuki finish
yang pertama
Aku, Fais dan Iqbal
merasakan kebahagiaan kemenanganmu
walau itu hanya kemenangan kosong
merasakan kebahagiaan kemenanganmu
walau itu hanya kemenangan kosong
Senja pun mulai terlelap
kita pun melepas senang
saling merangkul
dan kembali pulang
kita pun melepas senang
saling merangkul
dan kembali pulang
Icham,
Tambun Selatan – Bekasi. 089635998411/ 089633146847. Kode Pos 17519
Imam
Budiman (Jakarta)
Mengeja Riwayat Kota Seribu Sungai
suatu
ketika ada satu waktu di mana tambak-tambak ikan dan udang yang berjejer
sepanjang halu ini akan saling bercakap dengan sulur-sulur kariwaya, akar
rerambai, serta batang handil yang ditanam pasak kakinya pada kedalaman lumpur
di dasar sunyi gulita. konon, percakapan itu terjadi saat di mana orang-orang
sudah mulai lupa dan tak berniat membaca petatah-petitih lembaran arkais.
mereka
membicarakan banyak hal, membincangkan persoalan ini dan itu, termasuk nasib
kebudayaan dan identitas lokal tanah rawa tempat kita menanam serta menuai
sejumlah bilangan napas kini. tempat di mana di atasnya pelaku riwayat
cabang-cabang anak sungai; umak, abah, kayi, padatuan dahulunya menafsiri
dengan saksama keberimanan hakikat air yang suci kepada arus dan ulak sesungai,
dari masa hilir mudik para nini, amang, acil membawa sayur-mayur untuk dijual
serta jaminan hidup, hingga masa di mana deretan jukung tak lagi banyak
berfungsi sebagai transportasi utama melainkan sekadar menjadi sebuah simbol
pada pegelaran festival tahunan kota ini.
mahasiswa
biasa –ia sungkan sekali menamai dirinya
sebagai
aktifis lingkungan hidup atau alam atau apalah,
menerakan
sederetan papan tanya dalam lubuk pikirnya:
jika
tercemar wajah sungai ini, siapa hendak menanggung?
jika
semakin anyir akibat limbah, semakin hitam karena sampah
kepada
siapa kami menuding-busur rasa sesal dan iba?
jika
hanya sekadar julukan, adakah kami masih bermakna sejarah
di
dalam kepala-kepala penduduk kota ini tertinggal nama?
maka
arus maka tepi maka siring maka jukung maka lanting
maka
hayapak maka tongkang maka jamban maka jaring
maka
ilung maka anang maka aluh maka pembaring
:
adalah saksi atas segala rangkai-sederetan reranting waktu
Ciputat,
2016
Imam Budiman, dilahirkan di Loa Bakung, Samarinda,
Kalimantan Timur. Ia menamatkan pendidikan Aliyah-nya di Pondok
Pesantren Al-Falah Putera, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Kini berstatus
sebagai Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di waktu yang sama, ia tercatat pula sebagai Mahasantri Darus-Sunnah International
Institute for Hadith Sciences, Ciputat, di bawah bimbingan Prof. Dr. KH.
Ali Mustafa Yaqub, MA.
Beberapa cerpennya terhimpun dalam kumpulan cerpen bersama,
diantaranya: Iblis Tidur (Minggu Raya Press, 2013), Sang Penulis (LPM
Mercusuar, UNAIR Surabaya, 2015), Penjerat Malaikat (Sabana Pustaka,
2016)
Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi puisi bersama
antara lain; Teriakan Bisu (Tahura Media, 2011), Ada Malam Bertabur
Bintang (Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), Tifa Nusantara II
(Dewan Kesenian Tangerang, 2015), Pilunya Negeriku
(Oase Pustaka, 2015), Kalimantan Selatan Menolak untuk Menyerah (Disbudparpora
Kabupaten Banjar, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Dewan Kesenian
Kota Banjarbaru, 2015), Pelabuhan Merah (Sagang Intermedia Riau Pos,
2015), Mata yang Becerita (Rumahkayu Publishing, 2016) Gelombang
Puisi Maritim (Dewan Kesenian Banten, 2016).
Adapun kumpulan puisi tunggalnya; Perjalanan Seribu
Warna (2014) dan Sepilihan Sajak Kampung Halaman (Tahura
Media, 2016).
Beberapa cerpen dan puisi-puisinya
juga dimuat di berbagai media cetak/portal nasional dan lokal seperti:
Media Indonesia, Indopos,
Riau Pos, Babel Pos, Media Kalimantan, Lampung
Post, Koran Madura, Metro Riau, Sumut Pos, Malang
Post, Mata Banua, Cakrawala Makassar, Post Metro Jambi, Kaltim Post,
Radar Banjarmasin, Radar Tarakan, Kalimantan Post, Banjarmasin Post, Solopos,
Sastra Sumbar, Majalah Warta Bahari, Majalah Iflah, Majalah NABAWI, Majalah
SANTRI, Majalah INSAN, Buletin Sastra
Lakonik, Buletin Sastra Pawon, Buletin Pojok Pesantren, Buletin Mantra, Buletin
DENTA, Buletin D’Ruang, Buletin Harokah, Buletin Jejak, Buletin Literasi,
Buletin Lentera, Tabloid Kabar IIQ, Tabloid INSTITUT, Tabloid RUANG, Jurnal
Rusabesi, Sayap Kata, Ruang Aksara, Detakpekanbaru.com, Banjarmazine.com,
Qureta.com, Kompasiana.com, Antasaria.com, Sastrapedia.com. Lokerpuisi.web.id,
Forumpenulismuda.com, Mahasiswabicara.com, Ciputatbergerak.com,
Riaurealita.com.
Pada tahun 2014 meraih nominasi kategori Puisi Terbaik Institut
Award, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Naskah puisi berjudul Menjaga
Harum Aroma Pandan Tanah dinobatkan sebagai puisi terbaik dalam rangka
ulang tahun ke-III Rumahkayu Indonesia. Puisi berjudul Mata Gus Dur dalam
Bayangan Masa Kecilku meraih juara ke-II dalam event Haul Gus Dur ke-6 yang
diselenggarakan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Di akhir
tahun 2015 cerpennya berjudul Empat Mazhab Penulis meraih nominasi
terbaik event menulis nasional, LPM Mercusuar, UNAIR Surabaya. Cerpennya
berjudul, Jabang Bayi Banyu Pilungsur meraih terbaik pertama dalam event
Kemah Aruh Sastra XII, Martapura, Kalimantan Selatan, 2015. Cerpennya bejudul, Puisi
Kematian Penyair Sapardi meraih terbaik pertama dalam event lomba yang
diselenggarakan Sabana Pustaka.
Kini ia bergiat di Komunitas Sastra Inggris Rusabesi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif sebagai Anggota Divisi Pendidikan dan
Pelatihan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Pusat. Twitter: @Imambudiman23
Imam Bukhori
(Balangan)
Saksi Sungai
darah di-palas, dari hulu sampai ke hilir
kaki-kaki telanjang berlari, lalu tajun ke arus menghilang
atau suara derap dan ringkik kuda,
menyisir di pinggir sungai
teriakan-teriakan takbir dan
kesakitan, seperti menelan dentum meriam
ujung keris masih sisakan darah,
terbawa arus sungai sejarah
dan aku, Sungai Barito
dingin
dan diam
lalu lelaki belia yang teguh pendirian
itu
darahnya desirkan habar, “Dangsanak, ada di
hadapanmu”
ia menggemuruh haru, melihat dangsanak-nya seperti kehilangan ibu
“Dingsanak
Temenggung Jalil,” sapanya ramah, yang menyimpan duka
keduanya terdiam, mereguk derita
sungai Tuhan
lalu Sungai Barito, meng-habar-kan kecamuknya perasaan
dengan dingin
dan diam
hari itu di alun-alun kota, setelah
perjamuan minum dengan kalangan yang bukan jaba
Belanda jatuhkan hukuman gantung
tapi kematiannya, tak menghentikan
leher yang dipancung
seketika, arus sungai berubah menjadi
darah
yang merahnya bergulung melawan arus,
dari hilir muara menuju hulu
seraya Sungai Barito berteriak,
“Demang Lehman sang penghulu!”
dengan tetap dingin
dan diam
itu dulu, yang cangul-kan para pahlawan abu-abu
sekarang, arus Sungai Barito masih
saja dingin dan diam
namun mampu bernyanyi lagu Banjar:
kapal api gandengan dua
kapal api gandengan dua
hilir mudik di Sungai Barito lah
sayang
membawa tumpangan lawan barang
hilir mudik di Sungai Barito lah
sayang
membawa tumpangan lawan barang
demikian
kesaksian Sungai Barito
ba-nyanyi
yang tetap dingin
wan
diam
Hamparaya
Batumandi, Ahad, 14 Pebruari 2016
Catatan:
dipalas = dilumuri
tajun =
terjun
habar = kabar
dangsanak = saudara bagi yang lebih tua
dingsanak = saudara bagi yang lebih muda
daba = tokoh yang berasal dari kalangan jelata
cangulkan = munculkan
banyanyi = bernyanyi
wan = dan
Imam
Bukhori. Ia
lahir 46 tahun lalu di Kota Surabaya, Jawa Timur, tepatnya pada tanggal 25 Juli
1969. Sempat mencicipi bangku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sunan Giri
(Unsuri) Surabaya, tapi hanya sampai rampung bikin skripsi, dikarenakan
keasyikan bekerja dan berkesenian, hingga nasib menghantarkannya “kujuk-kujuk”
ke Bumi Borneo dan “tapatak” di Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.
Menulis sedikit serius
justru berawal dari keakrabannya dengan dunia teater di Surabaya pada tahun
1990. Selain berteater, ia mulai membuat puisi, cerita pendek, dan esai. Namun
tidak begitu banyak—kalau tidak mau disebut tidak ada—tulisan-tulisannya yang
dipublikasikan secara resmi.
Hanya saja ada satu dua
puisinya yang sempat “nyangkut” di buku Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan
Selatan serta buku antologi puisi lainnya. Dan beberapa tulisan esainya yang
“nongol” satu dua di Surat Kabar Harian (SKH) Media
Kalimantan,
SKH Radar Banjarmasin, serta nyangkut
secara berkala di kolom Serumpun Bambu,
Majalah Bulanan Journal of Kalimantan,
yang sudah “almarhum”.
Kini, selain tetap senang berkesenian seperti baca puisi
ketawa ngakak-ngakak kayak orang gila, ia juga bernasib baik dipercaya
teman-teman seniman dan budayawan Kabupaten Balangan untuk menjadi Wakil Ketua
Dewan Kesenian di daerah yang bergelar Bumi Sanggam.
Selain itu, ia bernasib baik pula untuk pernah merasakan
jadi wartawan di beberapa media massa lokal, mulai SKH Media Kalimantan, Majalah Bulanan Journal of Kalimantan, Tabloid Urbana, SKH Borneo
News, dan saat ini menjadi kontributor di Banjar TV.
Imam Dairoby
(Banjarbaru)
Sampai Kapan Sadarmu?
Dia
mengering
Ketika
langit marah
Tak
mengirimkan tetes airnya
Di
Bumi ku
Mahluk
bersirip dan bersisik kelojotan dalam lumpur
Mata
melongo terbelalak milik sang pembawa Gentong
Kemana
perginya aliran bening di ceruk ini?
Mengapa
tak menyisakan untuk kami
Nun
jauh disana
Deru
mesin menebang rerimbunan rumah satwa
Teriakan
pemilik benua seakan terhapus denting gemerincing pundi
Mereka
tak peduli
Ketika
langit kembali murka dengan limpahan air hari demi hari
Menggulung
dari bukit-bukit yang telah gundul
Tak
ada penghalang
Tak
ada yang berani menghalang
Menyaput
semua yang dilewati
Menuju
ceruk yang telah lama mengering
Memenuhinya
dengan air dan apa pun yang tersaput
Banjir
Banjir
Banjir
Teriak
mereka yang memiliki mulut
Sungai
kering kami menjadi penuh dengan air berwarna cokelat comberan
Mereka
mengutuk
Mereka
menggerutu
Mengapa
selalu ada bencana tanya mulut rombeng mereka
Tak
sadarkah
Diri
sendiri yang menganiaya
Sungai
Indah menjadi kering
Sungai
Indah menjadi Comberan
Gemerincing
pundi telah menutup mata dan otak mereka sendiri
Masih
tak sadarkah ?
Imam
Dairoby, seorang
wirausaha di Kota Banjarbaru. Penikmat sastra dan seni. Pernah menulis buku
genre cerita anak seperti Icha dan Bunga
Mawar penerbit leutika prio, Cerita Islami terpopuler sepanjang masa
penerbit Qudwah Publiser. Beberapa buku kumpulan cerpen pernah ditulis seperti Lelaki dalam Kisah, dan Akasia (penerbit Leutika Prio). Aktif
menulis di Baltyra.com dan laman
pribadi Tenun Kata Pustaka Akasia.
Imam Khanafi
(Kudus)
Nasib Sungai-Sungai
Kaf,
Di sekitar kita ada sungai
Tapi kita dan tetangga kita lupa
Tubuh sungai sekarang banyak sampah
kasihan sungguh
kasihan sekali nasib sungai
Kaf,
tangan jahil manusialah
yang membuat sungai kotor
mereka lupa
akan kebutuhan air
Air menjadi tumpuan hidup
kata Kaf:
sungai bersabarlah
Kudus,
2016
Imam
Khanafi lahir di Kudus, 11 April 1989. Bergiat di Kelompok Penulis
Sastra (KELOEPAS) Kudus, Jawa Tengah. Puisi-puisinya termaktub dalam antologi,
antara lain Indonesia dalam Titik 13
(2013), Puisi buat Gus Dur: Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel
(2013), Ensikopledi Koruptor (2015), TRINETRA WALGITA (bersama Aji Ramadhan
dan Jumari HS, 2015), dan Bayang-Bayang
Manara (Pustaka KPK—Keluarga Penulis Kudus—2015). Ia bisa dihubungi via
ponsel: 085726946092, Pos-El: imam_peka@yahoo.co.id,
atau datang langsung ke alamat: Desa
Samirejo 03/04 Kecamatan Dawe, Kudus, Jawa Tengah.
Indahsari
(Kraksaan)
Di Kapuas Kaupinang Aku
Payungmu mengayomi aku hingga tepian
sungai.
Membuat sarang laba-laba lebih rumit
lagi.
Tarikan napas serba terbatas.
Mengharap impian jadi kenyataan.
Di Sungai Kapuas kau tabur bunga di
dadaku.
Musafir cinta bawalah aku dengan
sampanmu.
Kau melantunkan nada-nada
kosong.
Yang memberi arah arti yang
dalam.
Aku terbangun dari kesadaranku.
Merentang sepanjang masa.
Jika harapan telah nyata mencapai arti
klimaks.
Di situlah aku tersadar arti sebuah
harapan,
Di Kapuas kau pinang aku.
Menggenggam seberkas sinar di
matamu.
Pohonku berdaun, daunnya jarang,
jarang sekali.
Senang sekali kumenanti saat kau beri
kenangan
Jack Efendi (Bekasi)
Brantas Suatu Malam
: Ci Ronabaya
Di sempadan sungai yang menyimpan riwayat
Juga sejarah yang semakin tua menuju pucuk purba
Aliranmu menuju muara yang paling jauh
Jiwaku mengembang seperti khazanah Brantas
Di kedalamanmu, cadas dan batu-batu semakin mengeras
Seperti rinduku pada aroma tanah yang
menyimpan peradaban
Brantasku yang manis seperti lengkung
senyum perawan
Menyihir mata penambang pasir mengais
nasib yang papa
Malam ini, Brantas
Aku berada di pelukanmu yang tak lagi hangat
Sebab gigil dingin kian binal menjilati tubuh yang lelah
Ingin aku kawinkan saja aroma kopi dan kepulan tembakau
Untuk memikat serpihan peristiwa silam yang masih bias
Sebias kedalamanmu, Brantas
Ingin kubalut sunyi yang tawar ini
Agar cahaya purnama ikhlas I’tikaf di
bantaranmu
Di mana kausembunyikan Kidung
Perjalanan Bujangga Manik
Bekasi,
29 Februari 2016
Jack
Efendi (Ponadi Efendi Santoso) lahir di Mojokerto 11 Februari
1982. Beberapa puisinya pernah dimuat di antologi Ponari for President, antologi
Gempa Padang G-30 S., antologi BMK Bandung Sihir Betis Ken Dedes, antologi Negeri Sembilan Matahari, antologi puisi BMK Bandung Berkaca
pada Waktu,
antologi Indonesia Titik 13, Pengantin Langit (2014), Jaket Kuning Sukirnanto (2014), antologi
puisi Jejak Tak Berpasar (2015), dan
175 Penyair dari Negeri Poci 6: Negeri
Laut (2015).
Selain menulis puisi, juga menulis cerpen yang pernah
dimuat di Buletin Jejak Bekasi,
Tabloid Serapo Balikpapan, dan antologi sembilan cerpenis Mojokerto Tentang Kami Para Penghuni Sorter, Radar
Bekasi, www.kabarBekasi.com, www.tintahijau.com, antologi puisi
LESBUMI Kab. Tegal, www.bekasiinfo.com, Tabloid Media
Patriot Bekasi, serta antologi 17
Penyair Kepada Bekasi 2013.
Sekarang aktif
di kelompok seniman Kabupaten dan Kota Bekasi “Forum Sastra Bekasi (FSB)”
Tinggal di Jalan Bengkulu Blok F/36 Komp. Masnaga – Jakamulya, Bekasi Selatan,
Jawa Barat. Nomor ponsel: 085693069297
Jen Kelana (Jambi)
Mendaras
Risau Kemarau
Pagi yang menggores di relung kekanak
memainkan warna pelangi di ujung
langit
dan tersebab ricik air di selangkangan
batu-batu
memetakan mega di antara hijau dedahan
Begitulah angin selalu menjadi penanda
atas gemulai arus sungai mengeja kata
gunung melukis alam. di piguranya
kabut
dan risau pepohon mendaras aroma
dedaunan
petani menyibak sawah dalam kubangan
lumpur-lumpur bersama kerbau menghela
bangau di dekatnya menyajisiap
diorama
desa dalam gapai matahari
Menggigil waktu mencumbui kenang
aku tak tahu di mana persinggahan itu
berlabuh. pada risau kemarau yang
asing
sungai-sungai itu kini mengering
menyisakan rengkah-rengkah menguning
menelanjangi sunyi-sunyi jiwa
2016
Jen Kelana (Jambi)
lahir di Nganjuk (Jatim),
besar di Sumut dan Jambi. Menulis
puisi, cerpen, feature, esai,
artikel, dan karya ilmiah. Pernah mengikuti pertemuan Sastra Numera di Padang
(2012). Puisi dan cerpennya terangkum dalam antologi tunggal dan bersama. Di
antaranya Eksodus (1992), Kemarau (1999), Kelana (2000), Menyisir Senja
Sungai Putih (2001), Nukilan Kabar
dari Arasy (2002), Tafsir Malam
(2015), Nubuwah Kelahiran (2001), Tembang Padang Merangin (2001), Nuansa Tatawarna Bathin (2002), Senandung Merangin (2008), Menguak Senyap (2012), Igau Danau (2012), Risalah Para Pembual (2012), Lacak
Kenduri (2015), Puisi Menolak Korupsi
4 (2015), Memo untuk Wakil Rakyat
(2015), Pendaras Risau (2015), Rumah Cinta (2015), Sakkarepmu (2015).
Sebagian karyanya juga
dipublikasikan di media massa dan media digital. Hobi elektronik, hardware, software, computer, dan web
develover di samping menekuni bidang matematika, statistika, dan penelitian
pendidikan. Aktivitas sebagai kuli di STKIP YPM Bangko. Pos-El: jen_media@yahoo.com, nomor ponsel: 081366980324. Alamat
Surat: STKIP YPM Bangko, Jalan Talangkawo, Dusun Bangko, Bangko, Merangin,
Jambi, 37314.
0 comments:
Post a Comment