Puisi Lilis Suryani (Tanah Laut, Kalsel)
Simbolik Diaframa Hati
masih dua jam perjalanan Pelaihari ke Kintap
Ini sudah kelima tahunnya bung, pak, bu, nak
Pemandangan sekitar berubah tak enak
Lima tahun silam kesegaran masih hiasi retinaku
Sekarang kegersangan menusuk ke dalam pupilku
Tersisa kerukan, lubangan, genangan hasil tangan mesin dan manusia
Tanahku hilang sudah
berganti bongkahan emas hitam berkilauan
Kintap,
Juni 2016
Puisi Linsy (Hulu Sungai Tengah, Kalsel)
Hutanku Hilang
Kala itu hutanku
hijau
desau riang diterpa
angin
daunnya yang jatuh
ke tanah adalah penyelamat
tapak kaki kami dari licinnya tanah dan nakalnya
akar
gemercik air seolah
bernyanyi dan berseru memanggil
ikan-ikan di hulu
untuk menuju ke hilir
gemertak ranting dan
buah yang berjatuhan
nuansa alam rindang
yang sedang berdendang
Kau tempat termanis
bagi kami si anak negeri
wadah bermain
menjulang hayal
menatap langit
merangkum cita-cita
berlari kencang
menyongsong pajar
bersembunyi di sela
daun
menatap takjub
matahari tenggelam
kaulah penghibur lara tempat kami menuai tawa
berteduh dari hujan berlindung dari panas
rumputmu kasur di kala lelah
menyeruput nira bila
haus menerpa
bara lalang membakar
jagung di saat lapar
Bertahun kau
kutinggalkan
sejuta rindu
membahana
aku terpaku
ke mana hutanku
yang berdaya magis
luar biasa itu
tempat dulu kami bercengkrama mengunyah rasa
hutanku pasi dan gersang
tak ada lagi barisan hijau penyejuk mata
tertutup oleh asap nan perih menghitam oleh ganasnya
api
oleh nyala dari mancis si jari iblis
Ikan-ikan diraup
sampai kecalon penerus
burung-burung tak
lagi bernyanyi mendendangkan lagu pagi
tak pula berbaris
rapi bersenandung lagu senja
nadanya terganti oleh raungan gergaji dan auman
traktor
Alam yang tenang berganti
amarah
memuntahkan bah
longsor membencana
akarmu tak lagi kuat
mencengkram bumi
tanah yang retak tak
mampu menadah resap
ke mana kau hai tuan berdasi
suara yang dulu bergelora dengan orasi
begitu semangat bervisi dengan ribuan janji
bagi kami si pewaris bumi
Barabai_enambelas
Puisi Lubet Arga Tengah (Surabaya, Jatim)
Ketika Pohon Bicara
Setiap matahari menyampaikan salam
daun-daun selalu menengadah
seperti mengucap syukur
menyimpan hangatnya untuk buah-buah kami
Hijaunya membuat pandangan jadi dingin
jalanan tampak rindang-berangin
bila ada yang datang seakan tak mau berpaling
Kami adalah tempat menampung harapan
akar-akar berdoa untuk menyerap mata air
mengalirkan dari hulu ke hilir
maka kami bikin tanah tak gersang
agar seluruh yang tumbuh bisa berkawan
Tapi apabila kami dipenggal
daun-daun kehilangan hijaunya
cabang-cabang kehilangan arahnya
runtuh berhamburan
kami menangis siang-malam
Kami jadi cemas
disepikan burung-burung yang biasa bertandang
karena mendengar lantunannya di saban pagi
tak lupa kami menari
saat terlelap-pulas di malam hari
kami senang melihat matanya yang cantik
Nasib terakhir kami ialah ketika terbakar
sementara orang-orang tidak menaruh belas-kasih
kami berakhir cerita dengan cara tumbang
Sidoarjo,
2016
Puisi Lutfhi Dwi Satrio Utomo (Jakarta)
Lanskap Lenyap
parasnya pernah lugu nian polos
poros surainya kini kian plontos
tunas eloknya tiada lagi merekah
ah terjamah paksa gairah temaah
senyum yang sempat mekar gembira
di wajah ramah berubah teringa-ingat
juga tampak peluh memenuhi tubuh
yang terus tabah meski makin keruh
tangan siluman buas berangan-angan
mencipta segala sampai ia kerasukan
menciptakan kerusakan via kerakusan
tindak asal tanduk sudah tandus lahan
tak belajar apa-apa kah kota?
ataupun bisa jadi malah kita?
selewat angin lekas turun hujan
merawat nasib di sekujur hutan
Puisi Mahda Emjie (Tanah Bumbu, Kalsel)
Lamaran untuk Dedaunan Hijau
Cukuplah menjadi hunian ternyaman pencari tempat berlindung
Merangkul kehidupan dalam murninya oksigen tak terbendung
Ibu pertiwi menyajikan hunian ternyaman penuh kehangatan
Suara jangkrik riang berpadu kicau burung dalam alunan senandung
Meramu
kasih saling memberi tiada henti
Tak
akan biarkan makhluk bermigrasi
Tak
ada eleminasi dini dalam tatanan mata rantai ini
Jangan luruhkan daun-daun hijau tabir surya alami pelindung selayak
tulang punggung
Jangan terima lamaran cakar-cakar raksasa meski tumpukan mahar
selaksa
Jangan sandingkan nyanyian pohon perdu dengan auman alat berat
pembuat galian tambang
Jangan pakaikan gaun pengantin bermanik debu-debu batu bara
Tak perlu kereta kencana dengan roda sepuluh untuk menculik harta
nan tersimpa di balik pohon rindang
Satui,
2016
Puisi Makmun (Amuntai,
Kalsel)
Hutanku Malang
Kala mata memandang penuh haru
Kala senja datang mulai membelenggu
Baru kali inikah kalian sadar
Saat di mana udara tak lagi segar
Pekat melekat penuh sesak
Seakan bernapas melalui otak
Ini hutan bukan lagi hutan
Api menjalar bagai lautan
Siapakah yang pantas kita salahkan
Bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan
Menanam seribu bukan untuk diserbu
Kicau pilunya tak pernah berhenti sejak deru gergaji menggigit
tiada henti
Lestari hutanku kaulah yang akan memberi segar anak cucuku
Puisi Mahfuzh Amin (Tanjung,
Kalsel)
Sebatang Pohon yang Memohon
Kepada Tuan kami yang terhormat
Maafkan jika keberadaan kami tiada berguna
Hanya bisa berdiri tanpa membantumu berusaha
Terkadang malah menghalangi gerakan langkahmu
Juga merepotkanmu akibat kotoran kami di pekaranganmu
Mungkin juga kau tak suka warna kami, atau keteduhan kami
Apalagi ketika kami semakin tua dan besar, Berhantu, katamu
Kami memang batang-batang yang hina di padang fana
Sebagai sang pemimpin, Tuan berhak marah, kecewa, pada kami
Kami pun pasrah terhadap keputusan Tuan untuk kami
Tapi, kami hanya berharap engkau tak menghukum mati kami
Jangan kepada bapak-ibuku istri-anakku
Juga adik-kakakku serta tetangga dan sahabat-sahabatku
Cukup aku saja!
Aku saja yang kau adili
Aku saja yang dimutilasi
Cukup aku yang mempertemukanmu pada puas
(Meski
aku yakin engkau tak mengenal siapa itu “puas”)
Tanjung,
20072016
Puisi M. Amin Mustika Muda
(Marabahan, Kalsel)
Hutan dalam Senja yang Menyisakan Kelabu
Hutan adalah cinta yang meneduhkan di sepanjang waktu. Seperti pohon-pohon
tinggi yang kokoh menjulang ke langit biru, dalam kalimat doa meski bisu.
Hutan adalah reruntuhan waktu yang membungkus kita menjadi
kenangan. Seperti idealisme masa lalu yang kobarnya menyala-nyala, dalam
kesaksian rangkaian peristiwa.
Hutan adalah masa kini yang murung dan masa depan yang berwarna
hitam, sebab luka-luka lebam di tubuhnya telah mengubur beberapa bait puisiku,
dalam senja yang menyisakan kelabu.
20
Juli 2016
Puisi Mardiana Kappara
(Yogyakarta)
Ibu Bumi
Usiaku,
Sudah rentan dengan tahun
Terlalu melelahkan untuk menghitungnya dengan
jari
Walaupun dengan jari-jemari anak-anakku
sendiri
Aku,
Sudah terlalu tua
Menampung beban anak-anakku
Anak-anak yang tumbuh dewasa
Namun tetap balita,
Anak-anak yang merangkak dengan cawatnya
setiap masa
Bertindak bak tak berdosa
Mengoek
memecah telinga
Aku merasa lelah
Menjadi Ibu yang diperbudak berjuta-juta jiwa
Anak-anak yang memeras susuku
Hingga jadi darah
Yang meletakkan beban di pundakku
Hingga jadi tulang-tulang patah
Ragaku,
Menjadi semakin kering
Semakin layu
Semakin sesakitan
Akibat buah hatiku
Tapi murka apa
Yang mungkin kutujukan untuk anakku?
Raungan macam mana
Yang bisa dipahami oleh anakku?
Aku,
Dilahirkan takdir,
Yang meredam air mata,
Dendam dan sakit hati.
Aku bergaris tangan sebagai Bunda,
sehingga maafku melebihi rentang langit
Lapis tujuh milik Tuhan.
(Yogyakarta, 5 Mei 2000)
Puisi Maria Roeslie
(Banjarmasin, Kalsel)
Kurindu Hutanku
Mana hutan hijauku nan teduh
Mana bunyi serangga yang bersahutan
Mana wangi dedaunan
Mana bunyi gesekan antar dedaunan
Mana sang teduh
Mana embun pagi
Mana secercah sinar yang bergoyang di rerimbunan
Mana batang-batang coklat yang kokoh
Mana akar-akar yang menyembul bahkan bergantungan
Mana tanah basah itu
Mana cacing tanah dan semut hutan
Mana hewan-hewan liar
Mana bunyi serangga yang bersahutan
Mana wangi dedaunan
Mana bunyi gesekan antar dedaunan
Mana sang teduh
Mana embun pagi
Mana secercah sinar yang bergoyang di rerimbunan
Mana batang-batang coklat yang kokoh
Mana akar-akar yang menyembul bahkan bergantungan
Mana tanah basah itu
Mana cacing tanah dan semut hutan
Mana hewan-hewan liar
Ku ingin alam kembali ke hadapanku
Tidak jauh menggapainya walau memang licin dan basah
Bukan rongga-rongga buatan penuh air hujan tanpa kehidupan
Bukan pula barisan tanaman perdu buatan yang menghancurkan
Tidak jauh menggapainya walau memang licin dan basah
Bukan rongga-rongga buatan penuh air hujan tanpa kehidupan
Bukan pula barisan tanaman perdu buatan yang menghancurkan
Jakarta,
22 Juni 2016
Puisi Marlina (Tanah Bumbu,
Kalsel)
Menata Akarmu yang
Terkapar
Melepas
senja di tengah keremangan
Indahnya
hijaumu terbayang
Tersimpan
di sudut retina
Menghiasi
bumi yang tercipta
Di balik
tegakmu
Hidup si
hidung panjang
Si pipit
dan orang utan
Bahkan
elang yang mengepakkan sayapnya
Mereka
melewati siang dan malam
Bersamamu
Andai ada
bulan, Hutan
Agar dapat
kupandangi bayang-bayangmu
Yang kini
meranggas
Apakah aku
harus menunggu hari esok lagi
Bersama
menjamah akar-akarmu
Yang telah
terkapar
Wahai
Tuhanku
Mungkinkah
rasa sadar kembali menyentuh kalbu
Menata alam
ini
Menjadi
hijau dan sejuk lagi
Untuk
anak-cucuku kelak
Pagatan, Tanah Bumbu, 22 Juni 2016
Puisi Maydian
Andriani (Cirebon, Jawa Barat)
Di Ambang Batas
Ketika napas mulai tergesa
Kau hadir dengan semua yang kau punya
Saat dunia sibuk dengan badai dan topan
Manusia resah dengan kebakaran hutan
Lalu
ke mana
Jalan
untukku damai dan reda
Akulah
yang diam dan kaku adanya
Berbaring
dalam ranjang tak berdaya
Nafsu dan debu yang menebal
Seperti perang ombak dengan kapal
Melewati batas metropolitan
Diriku yang lalai terhadap hutan
Kini
kuyakinkan
Tiada
lagi kesunyian
Tercekik
pepohonan hutan
Maka
bara api akan tenggelam
Bagai bintang menemani rembulan
Cahaya menerjang gelap malam
Bagai pohon berdampingan
Pemberi warna dalam kehidupan
Puisi Merta Baskara (Bali)
Inti Kehidupan
Jika nanti kau hanya jadi ilusi
Rintih renta sapa mentari
Rintik kasihmu terulur
Dalam akar daun menjulur.
Jika kau gugur
Darahku kan hancur
Kau napas tanpa batas
Resapi segala jiwa.
ku tertunduk di antara rintihmu
ku memandang baris dewa kematian
Terpanggil rintihmu
Bak lonceng tanda telah dekat
Jiwa-jiwa lemah terampas
Tanpa tahu sumber pemusnah.
Hanya untuk nilai ekonomi
Untuk pendapatan kantong menanjak
Awan gelayuti mimpi-mimpi
Tengoklah jika tulang ini telah rapuh
Kita kan pergi tinggal mereka
Yang bertaut dengan nafsumu
Apakah mereka menanti tanpa hutan inti
hidupnya?
Kita buka jendela
Untaikan seribu sulur
Ikat mimpi serta nafsu
Untuk mereka kan bertaut
Tak temu lara.
Puisi Mia Ismed (Tanah Bumbu,
Kalsel)
Paruku Pecah
(Kepada hutanku)
Paruku
kini pecah
Seperti
tangis bayi di tengah malam
Manusia
menjual ayat-ayatnya untuk melumerkan isi dada
Ditebas
tebias hingga koma
Ibu
meronta,
parunya
menganga lubang-lubang neraka
Kulit
ditelanjangi oleh debu revolusi
Dipasaknya
dengan jarum globalisasi
Paruku
pecah
Digoreng
mentari bersaus modernisasi
Darah
mengucur di atap-atap manusia pinggiran
Menyisakan
bau amis kemiskinan
Sungai-sungai
menangisi wajahnya yang terampas
Susu
coklat bercampur nanah
Paruku
kini koma
tinggal
menunggu keajaiban
duhai
hutanku yang tiada
Kersik Putih, Tanah Bumbu, 1 Juli 2016
Puisi Micky Hidayat (Banjarmasin, Kalsel)
Hutan di Mataku
sebuah hutan
tak bernama
tak berpeta
tak terbaca
terhampar di anganku
sebuah hutan
tak berpohon
tak berakar
tak berdahan
tak beranting
tak berdaun
terbakar di jantungku
sebuah hutan
menjerit-jerit
melolong-lolong
mengerang-erang
meraung-raung
merintih-rintih
terkapar di lorong jiwaku
sebuah hutan
menjelma jadi api, asap,
bara, dan puing
berserakan di ruang sunyiku
sebuah hutan
adalah luka adalah duka
sebuah hutan
adalah perih adalah pedih
sebuah hutan
menjadi hujan di mataku
menderaskan bencana
berkepanjangan
2005
Puisi
Miftahul Masail (Tanah Laut, Kalsel)
Hijaumu
Tak Tergantikan
bentang alam yang menghijau di kaki senja
penuh pesona dengan flora dan fauna
awan senang menemani pucukmu di malam hari
warnamu indah di lantai dunia
penyejuk mata keindahan dunia
namun barisan hijau yang kemilau itu
kini bak petasan lebaran di malam hari
telah musnah disapu rata untuk meraup batu bara
satu demi satu ditebang tanpa ampun
sungguh gila...
hilang sudah udara sejuk
kering sudah keinginan harapan
ditanah di mana aku lahir
aku terbuang di negeriku sendiri
hanya ratapan kesesalan yang ingin aku
katakan
betapa sangat aku rindukan pohon pohon itu
sungguh hijaumu tak tergantikan.
Puisi Mira Tri
Widyawati (Tanah Bumbu, Kalsel)
Merajut Angan Menjaga Hutan
Semilir angin tak begitu sejuk
Kicau burung pun tak terdengar
Apalagi desir angin yang begitu lembut
Biota hutan entah ke mana
Karena bingung harus tinggal di mana
Tempat tinggal yang hijau kini tinggal
kenangan
Akibat dari tangan-tangan nakal
Apakah aku akan diam saja?
Tentu tidak,
Aku akan bangkit untuk semua ini
Bagaimana aku bangkit?
Tentu saja dengan menjaganya
Dia aman, pasti indah dipandang
Dia tentram, sudah pasti nyaman di hati
Mari kita bersama merajut suatu misi
Merajut suatu angan
Untuk kenikmatan bersama
Jaga hutan, jaga tangan, dan jaga keamanan
hutan
Apabila aman sudah pasti hutan indah, udara
segar
disertai mentari yang tersenyum di pagi hari
Karang
Bintang, Tanah Bumbu, 24-06-2016
0 comments:
Post a Comment