Puisi Rind Dea Putri (Tanah Bumbu, Kalsel)
Di Hutan Itu
Di
hutan itu,
semua
orang lupa waktunya tidur
sembari
menarik akar-akar akasia yang lapuk
atau
mengais tanah yang menghambur
aroma
renta di senja baur harum pinus-pinus
di
hutan itu,
semuan
dikisahkan
kemarau
bukan lagi pahlawan
yang
menepikan amal pada surau
di
tengah parenkimnya
lalu
mereka bukan lagi rimbun
di
daunnya
dan
hujan adalah hening di jelaga
di
hutan itu,
kurebahkan
rumput-rumput kering
dalam
desah:
"La ilaa ha illallah..."
Simpang Empat, Tanah Bumbu, 28 Juni
2016
Puisi Rissari Yayuk (Banjarmasin, Kalsel)
Hutan Mati
Kepak elang tak lagi terlihat di ujung kampung
Dia beri kabar kalau mangsanya tinggal
belatung
Pemburu tak lagi tambatkan jebakannya di
lereng gunung
Mereka beri kabar kalau babi hutan dan kijang
tak lagi bisa terkurung
Pencari rotan pun kini tak bisa bawa hasil dalam gulungan
Mereka beri kabar kalau belukar kini semakin hilang
Peracik obat alam kini tak leluasa temukan
dedaunan
Mereka beri kabar kalau kini daun berganti tanah merah
Ya. Tanah merah yang membuat kayu manis
menangis
Aroma daunnya tak mampu semaikan perkampungan
dan pegunungan
Sebab tubuhnya telah diberangus oleh parang
dan mesin raksasa pembunuh
Ya. Tanah merah yang membuat gunung tak
lagi biru
Sebab gaun indahnya telah dikoyak paksa untuk
lahan batu bara tanpa keluh
Ya. Tanah merah yang memberi tanda kalau telah
telan hijaunya alam rimba
Alam yang kini telah berganti dengan lahan
karet dan kelapa sawit
Ke manakah elang kan cari mangsanya
Ke manakah pemburu kan tambatkan jebakannya
Ke mana para pencari rotan kan tambah
gulungannya
Ke mana para peracik obat kan temukan dedaunannya
Ke mana?
Ke mana elang kan mengadu, jikalau kampung
kini diam membisu
Ke mana pemburu kan mengadu, jikalau gunung
kini tak lagi biru
Ke mana pencari rotan kan mengadu, jikalau
belukar tak lagi menghijau
Ke mana peracik obat kan mengadu, jikalau daun
kini sudah tak punya pohon dan ranting
Hutan negeri tak bisa lagi beri janji
Janji pada elang, pemburu, pencari rotan, dan
peracik obat
Janji tuk bisa terus berbagi
Sebab jantungnya mati ditusuk bayonet putra
sendiri dan yang mengaku kerabat!
Puisi Rizkawati (Tanah Bumbu, Kalsel)
Kembalikan Hutanku
Hilang
sudah
tempayan
penyejuk paru-paruku
pecah
terhempas angkuh
Ke
mana lagi aku mencari tempat senyaman itu
Akar-akarnya
telah tumbang
Ranting-rantingnya
luruh
Di
antara keringan perasaan
Teganya
kau wahai tangan-tangan yang lapar
Kaukeruk
isinya tanpa sisa
Tanpa
ada rasa belas kasihan pada anak cucumu
Aku
rindu warna itu
Suasana
itu
Bau
itu
Rasa
itu
Hai
para penguasa dunia
Kembalikan
hutanku seperti dulu
Kembali
menghijau
Tanah Bumbu—Banjarbaru, 23 Juni 2016
Puisi Rizky Anggraini (Jombang, Jatim)
Secercah Embun di
Kesunyian
Sorak-sorak riuhnya Cyornis ruckii
Terendam bungkamnya
Hijau-hijau yang selalu
menari
Diam tanpa jiwa
Hanya tertinggal jejak
kelabunya
Terik yang tersaji
Tak
mampu salurkan hangatnya lagi
Justru
menjadi candu tuk mengobarkan api
Yang
dulu menjulang, kini tak ada lagi
Yang
dulu melindungi, kini tinggal memori
Semua pergi
Yang melata, yang merayap
Yang
terbang, yang berlari
Tersisa
setetes, secercah embun
Mungkinkah
semua berawal? Kembali?
Meski
dalam kesunyian?
Puisi Robbi Ainul Yaqin (Jember, Jatim)
Andai Saja
Andai saja...
Gergaji menjadi ketan
Tak akanlah ada tangan-tangan setan
Andai saja..
Yang berdasi bukanlah hanya berjanji
Tak akanlah ada yang sakit hati
Andai saja...
semua berdiri dengan insan
tak akanlah gumuk menjadi korban
andai saja...
cahaya datang menderang
tak akan ada banjir menerjang
andai saja...
bukan hanyalah celotehan
tak akanlah ada longsor berhamburan
andai saja...
tak bertuhan kertas
tak akan ada yang bermalas-malas
andai saja..
semua tak membisu
alam pun tak akan menjadi lesu
Jember,29
Mei 2015
09:06
WIB
Puisi Rosita (Jakarta)
Kisah Hutanku
Aku
diberi tahu tentang sebuah hutan
Yang tiangnya pepohonan rindang
Fondasinya bebatuan besar yang diterjang air sungai
Dindingnya diselimuti udara
bersih dan menyejukkan
Aku diberi tahu tentang sebuah hutan
Yang di dalamnya terdapat berbagai makhluk ciptaan Tuhan
Ada yang menggonggong mengaung
Bahkan ada yang berkicau indah bagaikan seorang biduan yang
mengajak untuk berdendang
Ah indahnya hutan
Aku rindu kau
Dua puluh tahun kemudian
ketika aku sudah besar
Aku mencari yang namanya hutan
Sudah melayang-layang
bayangan hutan di pikiran
Sudah pasti membuatku senang
Namun
Seketika dadaku sesak
Rongga dadaku menyempit
Aku yakin ini bukan asma
Tapi aku merasa oksigen enggan memasuki rongga dadaku
Tubuh ini bergetar
Air laut keluar dari kulitku
Wajahku mulai menghangat
Tanganku mengepal dengan kuat
Air terjun tanpa izin meluncur dari pelupuk mataku
Ketika kudengar rintihan
Suaranya lemah pilu aku mendengarnya
Dia mengadukan kepadaku
Bahwa telah terjadi sesuatu
Yang merenggut kehormatannya
Dia telah dirampas mahkotanya
Hutanku telah dijamah tangan itu
Tangan-tangan tak bertanggung jawab
Menikmati surga tanpa peduli padanya
Dor dor dor
Suara tembakan itu telah membuat telingaku mendengung
Apa yang sedang terjadi
Aku bertanya pada diri ini
Tak lama terdengar jeritan kesakitan
Mereka tertawa
Hahaha
ketika hewan-hewan itu sudah tak berdaya
Aku diberi tahu tentang sebuah hutan
Yang tiangnya pepohonan rindang
Fondasinya bebatuan besar yang diterjang air sungai
Dindingnya diselimuti
udara bersih dan menyejukkan
Ah bohong lirihku
Semua itu hanya hayalan
Faktanya sekarang hutan-hutan itu tak lagi indah
Tiang-tiang mereka tak dapat berdiri lagi
Fondasi mereka dihancurkan untuk keperluan di jalan
Dinding mereka tak lagi menyejukkan rongga
Yang tersisa hanyalah polusi di mana-mana
Polusi udara air bahkan
tanah
Oh Tuhan sungguh memilukan kisah hutanku ini
Aku diberi tahu tentang sebuah hutan
Yang di dalamnya terdapat berbagai makhluk ciptaan Tuhan
Ada yang menggonggong mengaung
Bahkan ada yang berkicau indah bagaikan seorang biduan yang
mengajak untuk berdendang
Ah bohong lirihku
Semua itu hanya hayalan
Kini mereka telah langka bahkan binasa
Akibat para pemangsa yang gila harta
Tak peduli apa akibatnya
Yang mereka pikir hanya materi
Tidak memikirkan generasi
Ah kini hutan indah itu hanya ilusi
Kini banyak yang tak peduli
Pada kesucian hutanku ini
Puisi Roso Titi Sarkoro (Temanggung, Jateng)
Betapa Kita Telah Bersalah
hutan rimba hutan belantara
hutan lebat hutan hakikat
hutan belukar hutan liar
hutan perawan hutan sabda alam
hutan ramah, tak terjamah tangan-tangan jahanam
hutan lindung hutan punggung gunung
hutan unggas bebas bersarang
hutan surga satwa bertualang liar
hutan peredam bencana mengancam
hutan hijau, nyanyikan burung-burung kicau
hutan wisata hutan arena plesiran semesta
hutan tropis hutan daun-daun romantis
hutan cengkerama hutan berbunga cinta
hutan cemara hutan spoi derai asmara
hutan bergincu batu, kera-kera pemburu nafsu
hutan hantu hutan bersiul batu-batu
hutan terkapar hutan terbakar
hutan telanjang hutan dirampok setan jahanam
hutan marah hutan menggelontor bandang bah
hutan menghentak, bencana bicara menelan beribu jiwa
betapa kita telah salah bertingkah
babi-babi buta merampok dan menjarah
hutan kini kering telanjang sublim hilang
bumi perlahan mati kering terpanggang
kehilangan paru-paru, menunggu badang air mata
Temanggung,
2003 - 2016
Puisi Rusdi Fauzi (Barabai, Kalsel)
Hutan Penuh Air Mata
Hijau hutanku terhampar luas
udara yang sejuk berembus di antara pucuk-pucuk
tanah gembur menghasilkan kehidupan
flora dan fauna yang baru
Air hutanku mengaliri sungai-sungai
Yang bertanah, berumput, dan berbatu-batu,
menciptakan panorama benua kita
dalam deras segala di hati ceria berpadu
Kini hutan mengadu dalam lusuh
benua hewan, tumbuhan hampir musnah
tanah pun merintih
oleh nafsu penuh keserakahan
Apakah semua berakhir, bencana di benua
mungkinkah, kami telah banyak meminta
kalian telah bangga dengan salah dan dosa
ketamakan yang membuat hutanku tak tersisa.
Barabai,
15/07/2016
Puisi Sami’an Adib (Jember,
Jatim)
Warisan
tak seberkas pun
purnama membayang
kelam, menghitam di
antara bebatu dan belantara arang
sisa kejayaan masa
silam
:sejarah yang tertikam
kukira mendung
menghalau kilau bintang
pekat, membumbung di
antara pengap asap bakaran hutan kerontang
puing kepiawaian
cendikia menyamarkan perambahan
:warisan muram peradaban
tak ada lagi suluh
penerang
semua semu berpendar
dalam khayal jalang
kecuali kafilah
kunang-kunang tetap setia berbagi kisah
meski embun di bekas
rerimbun kebun
pecah di ranggas
pohon-pohon tak bergetah
:tilas moyang para pecundang
kemana lagi hendak
melangkah
bila peta-peta
kehilangan penjuru arah
sedang kaki ini
terlanjur membangkai?
Jember, 2014—2015
Puisi Sarianah (Tanah Bumbu, Kalsel)
Paru-Paru nan Hijau
Terdengar
suara riuk-piuk mesin
Pohon-pohon
tumbang
Paru-paru
hijau
menjadi
abu-abu
Batulicin, Tanah Bumbu, 25 Juni 2016
Puisi Sitti Syathariah (Kepulauan Riau)
Sebab Angin
sebab angin menyiat-nyiat
lembar pagi dengan igau sumbangnya
lalu mengoyak moyak tabir
hijau yang tergerai sungsang di pentas kita
tak lagi menawarkan aroma
asri di setiap helai daun pagi
pun mentari letih menginfakkan nutrisinya ke haribaan
bumi
maya pada berjelaga
Ini mungkin daun dan
dahan terakhir
pun mungkin adalah pagi
penghabisan
semua karena keteduhan
telah terbunuh
kerindangan telah
termutilasi
hingga kau kebiri rohani
yang menanggak di setiap hela napas durjana
keindahan itu pun telah
kau wafatkan sebelum ajalnya
karena kau telah
menghunjamtunakkan belati ke jantungnya
hingga pekat legam
darahnya
hingga lemah nadi di
detak hidupnya
sebab angin menyiat-nyiat
lembar pagi dengan igau sumbangnya
lalu mengoyak moyak tabir
hijau yang tergerai sungsang di pentas kita
tak kuasa menyingkap
tabir yang tercabik-cabik masai
berayun berkibar melambai
lemah mengikuti alunan parau senandung dodoy separuh
meratapi daun yang
kehilangan ranting…
menangisi ranting yang
meranggas dahan
menatap nanar batang yang
kehilangan akar hidupnya
merindu mengecup lembut
daun-daun pagi di pucuk alam
aku, kau dan mereka ingin
terlelap dengan mimpi sempurna
April 2016
Puisi Sizqa ID (Jakarta)
Suara Rimbanesia
Semburat lentera alam retak melahirkan pagi
Seketika Raja Siang berjalan dari persemayaman
Riuh satwa belantara mencuri pandang
Dari kediaman di balik tirai dedaunan
Kicau Kenari bersambut di Pantai Losari
Desir ombaknya menyisiri tepian Ibu Pertiwi
Kala Merak terpanah jatuh hati
Menarikan tarian cinta tiada henti
Tapi kemana Raja Hutan bersembunyi
Anoa dan Badak ikut bersedih hati
Rupanya mereka berimigrasi dari api
Lalu beradaptasi sebagai benda mati
Oh tanah Merah Putih
Kembalikan sang penguasa rimba ini
Benahi kediamannya tak cukup konservasi
Reboisasi Negeri ini bukan eksploitasi
Lampung,
12 Juli 2016
Puisi Setia B Borneo (Banjarmasin, Kalsel)
Kerakap
Membatu Musim demi Musim
Menancap di dinding berbatu
Kerakap musim kemarau
Sekadar mencuri air
Menghisap lumut berplasenta
Demikianlah bukit-bukit hutan menyerah pada longsor
Sejuta cengkeram tercerabut ribuan bolduzer
Mata gergaji dengan geram memotong nadi
Akar gantungan tinggal kenangan
Anak-anak dengan tangisan rintih mengirimkan kabar pilu
Ibunda mereka terkubur tercerabut menghantam sawah ladang
Ibunda itu bernama Dewi Sri yang menggenggam setangkai
padi
Memberi mereka buah-buah dan sayur mayur
Siapakah yang salah
Ataukah pada pergantian musim
Ketika malapateka runtuh dari atas bukit
Akar kering menutup sumur tua di lereng perbukitan
Sebab air telah lama beracun pestisida
Kerakap itu membatu musim demi musim
Sedang Ibunda Dewi Sri telah lama menghilang
Terbang jauh bersama asap dupa dan kematian
Malay 2014
Puisi Siswondo (Bandar Lampung)
Hutan
Aku tersesat di lingkaran hijau yang
membentang luas..
Aku berlari ke sana kemari tak menemukan
arah..
Aku lelah, aku capek, aku kebingungan..
Sepertinya daku tersesat dalam-dalam, hingga
jalan pulang pun tak kutemukan..
Bisingan suara lantunan irama terdengar di telinga..
Aku terbaring di rerumputan, aku terlena oleh
keindahan pepohonan hijau bergoyang..
Mataku asyik memandang ke arah langit biru..
Kulihat di sekelilingku yang ada hanya pohon,
pohon, dan pohon..
Hutan rimba, hutan hijau, hutan yang rindang
indah di pandang mata..
Aku suka hutan, hutan menghidupkan seluruh
bumi..
Hutan kau adalah bagian terindah dan
terpenting yang dimiliki oleh manusia bumi..
Kaulah hutan yang harus dilindungi.
Puisi Siti Maimunah (Tanah Bumbu, Kalsel)
Selamatkan Hutan Kita
Kurambah
pohon demi pohon
Kupijakan
kaki mengitari hutan
Ke
mana diriku ?
Masih
pantaskah tempat ini disebut hutan.
Mata
tercengang terpana melihat keadaan ini
Teriris
hati tak kuasa menahan sedih
Hutan!
Inikah disebut hutan
Terkikis
habis oleh ego serakah manusia
Tak
memikirkan nasib anak bangsa dan alam sekitar
Lihatlah,
Ibu pertiwi menangis tak berair mata
Serentak
hutan termakan habis.
Peduli
tak tercermin di dalam diri
Hutanku,
Hutanmu,
Hutan
kita.
Generasi
penerus bangsa
selamatkan
dunia
mulai
sekarang
Satui, Tanah Bumbu, 15 Juli 2016
Puisi Suaidah (Kudus, Jateng)
Akar Kering di Padang Gersang
seekor kadal kecil sedang menunggu air dan embun
pada sebuah akar kering di padang gersang
anjing pun tak kalah menyalak lebih keras
sesiapa yang melewat di depan matanya
bahkan keduanya tahu hanya debu dan pasir saja yang dijumpa
rezeki tak pernah memilih sesiapa
rezeki yang paling berkah
adalah ketika hutan kering menunggu air dari langit
dan rindu yang paling rindu dari segala rindu
adalah ketika akar kering di padang gersang menunggu air dan embun
kadal tak henti berharap terhadap akar kering
anjing tak henti menyalak lebih keras
sebuah harapan yang seperti angan kosong
kadang seperti kebencian tak tertahankan
namun, jikalau harapan melebur bersama hujan
laik sabana di padang gersang
seperti fatamorgana di gurun pasir
dan selayak hutan belantara di tanah tropis
Kudus,
15 Juli 2016
Puisi Sulchan MS (Kudus, Jateng)
Apa Kabar Hutan
Mendengar, rumput-rumput mati
Tanah kering kerontang
Tandus retak berlubang
Mendengar, asap-asap liar meracuni
Daun dan ranting terbakar
Hangus rata terkapar
Mendengar, pohon-pohon tumbang
Tunas-tunas terpasung
Gersang tak terhitung
Mendengar, pembalakan liar membabi buta
Merampas, menjarah seenaknya
Tak tersisa, hingga akar-akarnya
Seketika hati pun merintih pedih
Menyaksikan hutanku yang kini merangkak tertatih
Hilang segala teduh merimbun
Yang dulunya hijau dibasahi embun
Kini rata dengan arang dan sisa asap
Tergeletak, berserak, panas, dan pengap
Apa kabar hutan ?
Bagaimana jika nanti anak cucu bertanya tentangmu
Tentang sejuk rindangmu dan aneka jenis pohonmu
Tentang hijau rimbun daunmu dan subur tanahmu
Tentang rumah satwa berlindung dan istana burung-burung
Tentang nasib berpuluh ribu nyawa darimu mereka bergantung
Apa hanya mampu terdiam bisu
Menyaksikan nasibmu tak lagi sehijau dulu
Menyimpan cerita kelam tentang kebinasaan hutan
Dari muramnya sejarah peradaban
Apa kabar hutan?
Kau kah itu,
Yang kini sedang menjerit bagai diiris sembilu
Kudus,
27 Juni 2016
0 comments:
Post a Comment