Puisi Supandi (Tanah Bumbu, Kalsel)
Burung-Burung di Hutan Cemara
Kabut dingin merendah
Perlahan menyapa
Semak-semak tanah basah
Langkah kaki seiring
Pandangan hijau terhampar
Di hutan cemara
Suara kicau burung-burung
Merdu dalam pohon cemara
Asyik riang dalam kicuan
Membuat hati senang dan riang
Burung burung pun menari nari
Dalam ranting-ranting cemara
Wahai alam dekaplah jiwaku
Elok suara burung
Membuat aku terbuai
Dalam keindahan hutan cemara
Karang
indah,(angsana), 2016
Puisi Supi El-Bala (Tangerang, Banten)
Hutan Baduy
Dulu aku rasakan
Hening. Hening di puncak kendeng,
Hutan lindung, sopan-santun dan aliran kesucian
Bahkan dua jentik embun kutadah dengan lidah
Tak ada limbah, segar di sumsum tubuh
Penghuni yang mengawini
tanah rawayan dengan kasih sayang
Sekarang aku risaukan
Anak-anak hutan yang lincah, meloncat-loncat di antara tebing
Berlarian ke ketinggian, tersenyum di akun durian, rambutan,
dan tanggungan nangka pengisi pulsa
atau memenuhi hasrat berburu Minimart di Ciboleger.
Di Hutan Baduy itu setapaknya telah kususuri
Daun, kayu bercampur plastik adalah megalitikum pengunjung
Yang kutemui
Sampah-sampah kota besar kini bermigrasi ke hutan budaya
Dan berkembangbiak sembarangan!
Di hutan yang penghuninya di selimuti kejujuran
Di hutan yang penghuninya diajari kesucian
Masihkah menampung songong tangan-tangan pelancong ?
Kp.
Marengo, Baduy Luar, 18012016
Puisi Syahriannur Khaidir (Sampang, Jatim)
Amit-Amit
Kabar duka
melangit
Mata supit
Cengkeram
menghimpit
Tak mampu
kugalang jerit
Jika tubuh
terjepit kait
Tali
kawat membelit
Robot
gergaji berkomat-kamit
Aku sakit!
Tergeletak
morat-marit
Gelagat
banjir duit
Ngengat dan
nafsu melejit ke langit
Mengusir
burung-burung terbirit
Adakah kau
pedulikan naas alit?
Menyemai
tawa bibit
Hijau yang
tak lagi tambun membukit
Karena usik
dan ungkit
Tercabik-cabik
Iprit
Menggoda
ricuh anak cucu merakit
Atau
membalik cekik sisa pahit
Rimbun yang
tertanggal sedikit
Sampang, 20 Juni 2016
Puisi Syarif Hidayatullah (Banjarmasin, Kalsel)
Nyanyian Sebatang
Pohon
Burung-burung terbang
tersesat di kotamu
Mencari hutan untuk jalan
pulang
Mendengar nyanyian pohon
Yang semakin terkikis
peradaban
Dan pagi sedang menikmati
kopinya
Di antara jalanan tua
Tempat orang
berlalu-lalang menuju pasar
Tanah terkikis bersama
pohon yang tumbang
Kawah bumi menjadi
genangan terbaikan
Di tumbuhi lumut dan
jentik bersarang
Rumput pun menjadi mati
Tempat yang dulu jaya
kini merana
Sementara kita di desa
terus mencoba menanam oksigen
Kembali berharap
mendengar nyanyian pohon
Meskipun hanya sebatang
Bantuil, 8 Juli 2016
Puisi Taberi Lipani (Barabai, Kalsel)
Tangis Hutan Benuaku
Coba selami arti
ketika batang kayu-kayu tumbang
di antara kerlip bintang-bintang
buram kelabu
masa hijau benua ini telah ternoda
hati daki berdasi
Kering renta merana
hutan ini menangis rawan
sungai-sungai lali
kehilangan batu-batu pualam
ketika langit kita muru muram
Sisi hutan nan rawan
gelap tak terlalui mimpi
dan langkah pribumi yang serba salah
tak kuasa mengajak sanak saudara
pergi menjauhinya
Mari mendaki lembah-lembah
barangkali di sana terbaca sebabnya
tentang bayu yang memanas
kering merana
karena bibir tanah rengkah
tak kuasa memetik embun
senyap, getir bisiknya
kepada siapa ia dermakan air mata
berliku tak terjawab
Bila amarah sungai menyapa
tiada bergumam tentang kedamaian
yang keruh gemuruh
menyerbu padang-padang
tanpa sesunting senyum menyapa
dan dari hulu sungai-sungai itu
ada gunung yang hanyut
tanpa isak menyambutnya
Wahai kepada siapa bumi mengadu
apakah kami masih bias menangis
demi anak cucu
yang belum mengenal benua
hanya mampu merindu
ingin memeluk batang kayu
karena hutan ini jangan sirna
dimakan si tamak tama
matahari sudah mereguk ubun-ubun
gunung-gunung terapung
keringnya paya-paya
tuan, bapak, saudara-saudara
ini ruh gunung-gunung datang bertamu
menuntut setiap ulah polahmu
Sungguh karena kalian
sungai-sungai menjadi kubangan lumpur besar
setiap benua akan akan tahu hal ini
tentang kami yang telanjang tak berbaju
mencoba memberi wangi-wangi bunga
pada bau lumpur hutan bernanah
petikan dawai panting tak mampu mencanda kalbu
hanya pucuk-pucuk kering dimangsa sepi
balai-balai tanpa kehilangan balian
hutan jangan kehilangan tuah
Memang tak seharusnya beku kalbu
pura-pura tak merasa
di langit sana tertulis ribuan cerita
tentang keramahan sejuk benua kita
dan maaf tuan,bapak, saudara-saudara
berhentilah memamah kayu dan tunas-tunas
karena kami telah lebih mawas
saat dada rindu anak cucu menunggu
Barabai,
01 Juli 2016
Puisi Tajuddin Noor Ganie (Banjarmasin, Kalsel)
Jangan Tanami Sawit
Jangan tanami sawit
Hutan-hutan galam kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak ada lagi
Burung-burung liar berbiak di sini
Ikan-ikan liar berbiak di sini
Jangan tanami sawit
Hutan rawa-rawa kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak ada lagi
Buaya-buaya rawa berbiak di sini
Tidak ada lagi
Biawak-biawak liar berbiak di sini
Jangan tanami sawit
Hutan-hutan galam
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak ada lagi
Pelanduk-pelanduk liar berbiak di sini
Puraca-puraca liar berbiak di sini
Jangan tanami sawit
Padang rawa-rawa kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak ada lagi
Ular kobra liar berbiak di sini
Ular sawa liar berbiak di sini
Jangan tanami sawit
Hutan-hutan galam kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak bisa lagi
Ilung-ilung tumbuh subur di sini
Purun tumbuh subur di sini
Jangan tanami sawit
Hutan rawa-rawa kami
Nanti habitatnya
rusak binasa
Tidak bisa lagi
Nipah tumbuh subur di sini
Pohon rumbia tumbuh subur di sini
Ketahuilah,
di hutan-hutan galam itulah
Di hutan rawa-rawa itulah
Tuhan membangun depo logistic alami
Tempat menyimpan
sumber nutrisi dan kalori kami
Supaya hidup kami makmur di negeri sendiri
Supaya kami tidak perlu menjadi budak di luar negeri
supaya kami tak perlu berdesak-desakan
berdarah-darah, sampai meregang nyawa
berebut zakat fitrah, sedekah, atau
sumbangan social dari pemerintah
Tak perlu itu
Tak perlu.
Kami bisa hidup makmur, mandiri
Jika hutan-hutan galam kami
Jika hutan rawa-rawa kami
Tidak dirusak ditanami sawit
Banjarmasin,
16 Juni 2016
Puisi Tato A. Setiawan (Tanah Bumbu, Kalsel)
Menunggu Murka
semenjak
itu
pohon
tak lagi sebagai rumah sungai
bukanlah
lumbung
lembah
tak lain hanyalah lubang kubur
bukankah
leluhur berwasiat rimba raya semesta
harus
menjadi karib
ayah
sekaligus ibu bagi anak cucu
hingga
bumi mati
pohon-pohon
ranggas
air
sungai serupa seringai
Ikan-ikan
menduri mencari pertiwi
O
Sang Hyang Wenang,
ke
manakah kau pergi
jangan
tinggalkan kami
jangan
biarkan kami mati
jangan
biarkan kami membara api
yang
membakar mungkar
yang
melumat laknat hari ini
lusa,
atau nanti
ketika
kami mati
adalah
masa-masa suram yang cekam
sebab
tak ada yang bisa lagi dipijak
tanah
ialah entah
udara
hanyalah suara
dan
air sekadar desir
bagaimana,
dan serupa apa
masa
depan anak cucu kelak
sedang
isi rimba sudah habis, titis!
menunggu
murka
menunggu
murka
menunggu
murka
menunggu
murka
dan
kami melata mendupa
Batulicin, Tanah Bumbu, 29.06.16
Puisi Taufik Nor (Tanah Laut, Kalsel)
Apa Kabarmu Hutanku
Kenapa harus terjadi?
Ke mana hijaumu dulu yang aku agungkan
Di mana rindangmu yang selalu aku banggakan
Tempat burung-burung bermain sandiwara
Bergurau lepas tanpa cela
Ke mana hijaumu dulu yang aku agungkan
Di mana rindangmu yang selalu aku banggakan
Tempat burung-burung bermain sandiwara
Bergurau lepas tanpa cela
Apa yang akan aku ceritakan nanti
Pada hujan yang turun deras
Pada angin yang berembus
Pada lelah hati berselubung luka
Luka lara ....
Pada hujan yang turun deras
Pada angin yang berembus
Pada lelah hati berselubung luka
Luka lara ....
Aku masih merindukan hijaumu
Hutanku ....
Tempat bersandar lelahku
Berbagi inspirasiku
Yang siap kubagikan pada anak cucuku
Hutanku ....
Tempat bersandar lelahku
Berbagi inspirasiku
Yang siap kubagikan pada anak cucuku
Aku masih berharap lestarimu
Hutanku ....
Penopang polusi asap kehidupan
Cerita masa depan
Yang siap kubagikan pada anak cucuku
Kembalilh hijaumu hutanku
Lestarilah hutanku!
Hutanku ....
Penopang polusi asap kehidupan
Cerita masa depan
Yang siap kubagikan pada anak cucuku
Kembalilh hijaumu hutanku
Lestarilah hutanku!
Puisi Tri Adhit Bayu Pamungkas (Singkawang, Kalbar)
Riak-Riak Hijau
Riak-riak hijau
Bukan tentang ruang
lingkupnya
Bukan juga tentang
prasastinya
Hanya saja sepoi
terasa parau
Dedaunan yang bergemercik
Sunyi riang berbahagia
dalam tari
Peri hutan yang enggan
berlari
Berbahagia dia dalam
tercekik
Entah berawal dari
mana
Angin api bertiup
dengan tergesa-gesa
Membubarkan paguyuban
gembira tanpa rasa
Entah berawal dari
mana
Riak-riak hijau
Memerah dengan
tiba-tiba hutannya
Seketika berhentikan
hujannya
Sepoi-sepoi kemarau
Peri hutan berlari
Menjauh, meninggalkan
adikuasa
Tertinggallah kutukan
dalam apinya
Hingga padam dengan
sendiri
Sunyi-sunyi sendiri
Hutan yang gembira tak
lagi terasa
Mereka terus bertanya
tentang fakta
Hingga akhirnya
tertinggal mati
Seribu pasukan tanpa
dosa tiba
Menggenggam belati,
gergaji dan tanpa hati
Sedikit menyeringai di
tepi hutan yang mati
Bersiap meluluh
lantahkan tanpa iba
Gemericit di tengah
sunyi
Tertawa puas pasukan
yang kini berdosa
Tanpa sadar tanduk
mereka mulai terasa
Hai lihat, mereka
bernyanyi
Setelah mereka puas
Setelah mereka bahagia
Setelah tak ada yang
tersisa
Mereka tinggalkan
dengan wajah buas
Riak-riak hijau
Kini hanya tinggal
nama yang tersisa
Entah apa kabar peri
hutan yang mati rasa
Hanya terdengar lirih
suara parau
Terlihat dari sudut
keputus asaan
Anak kecil dengan
wajah sedih tiba
Dengan sebatang pohon
muda di tangan kanannya
Mulai ditanamnya
dengan penuh harapan
Berharap…
Kelak…
di luluh lantahkan…
lagi.
Puisi Untung Prasyatyo Fahrurahman HB (Kandangan, Kalsel)
Kehancuran Anak Tuhan
Ia menangis. dalam binar mata airnya pancarkan kehancuran tiada
tara. kesejukan jiwa dan keabadian raga. hancur seketika. sekejap alunan musik
keangkuhan pengusaha.
Ia dicipta bukan dari tangan manusia. Ia tak bercampur cairan
kimia. Ia suci. Ia jernih. Bahkan setitik noda sekalipun tak menggiring
penciptaannya. Ia menjadi tempat bagi orang yang mencari kedamaian jiwa.ia
menjadi tempat semua cipta bersemi. ia juga menjadi pelarian orang yang
terpaksa hilang dari peradaban dunia.
Namun siapa sangka. Keanggunan. Keperkasaan. Kesucian. Keramahan.
dan kejernihannya dirampas oleh keangkuhan nafsu gila manusia. Ia hancur tak
tersisa.
Tak ada lagi cerita tentang kearifannya. tak ada lagi dongeng
tentang ribuan pasukan yang tersesat di dalamnya. tidak ada lagi setetes
harapan seorang anak akan cerita penghantar tidur dari ibunya
;tentang dirinya.
Banjarmasin
/Desember/ 2015
Puisi Uwiks Tutupang (Tanah Bumbu, Kalsel)
Sisa Hutan
Lalu
rinai hujan disaur saum
Lantas
apa menyurutkan niat merambah sisa hutan
menyisir
rawa
Langkah
masih dilamun
Lantang
pandang menembus tirai hujan
di
ujung cakrawala
Lamunan
waktu lalu
tentang
hutan kita
tentang
kegembiraan menikmat harta hutan
Lantas
kita berkejar waktu
mengais
disisa hutan yang mengubah wajah dengan pasti
Lengking
jerit hati masih bersama gerimis subuh
mana
hutanku
kami
anak hutan
yang
hidup dari hasil hutan
Lenguh
menunggu imsak
jadi
hangat linangan
Borneo, Tanah Bumbu, Juni 2016
Puisi Varli Pay Sandi (Kalimantan Barat)
Enggang Tak Lagi Bersayap
Jika keserakahan jadi raja
Puing-puing tak bersisa
Tuan-tuan ber-"Tuhan" Uang
Asal senang hutanpun hilang
Anak cucu tertimpa malang
Oleh ulah para jahanam
Demi mencapai ambisi, penjahat berKOALISI
Hukum, adat dan tradisi dianggap polusi
Segala cara menjadi amunisi, untuk mengancurkan harmonsasi
Enggang tak mengepakan sayap lagi
Pun paruh yang selalu siap memangsa tak beringas lagi
Enggang menanti mati
Enggang tak punya rumah
Kuku enggang tak bisa lagi mencekeram dahan-dahan
Akhirnya enggang mati tak ber-paruh
Enggang tak lagi terbang hingga ujung negeri
Lebih baik enggang mati, dari pada melihat wajah pencuri negeri
Enggang memilih mati, dari kehidupan bumi
Puisi Widya Hastuti Ningrum (Kudus, Jateng)
Kidung Rimba Raya
kidung rimba memeluk senja
mengaduh pada angin hingga bulan mendera malam
merintih rindukan rimbun pepohonan di sudut kota
yang bersenggama dengan dingin dan segarnya napas
mencium mesra suatu pagi dengan kabut yang megah
dan kicau burung yang bercinta di atas dahan yang rindang
Oh, angin yang semilir
mengapa kau tak lagi datang memeluk rimba nan menjulang
memanjakan harum bunga kembang jati
dengan akar yang menghunjam kuat pada bukit-bukit kecil
berderet menjuntai ranum hijau penuh pesona
nyanyikan kidung rimba dengan riang gembira
Lihatlah
kidung rimba rayamu kini tak lagi nyanyikan cinta
hanya terdengar sayup rintih bukit yang pucat warnanya
memenjarakan dendam dan kecemasan jiwa
pada hutan-hutan bopeng yang kehilangan surganya
akar-akar yang tak lagi kokoh mencengkeram bumi
hingga langsor pun menyapu ratusan nyawa
meregang hidup dari murka rima raya
sisakan duka meratapi sesal yang sama
nyanyikan kidung doa pada Yang Kuasa
merindukan rimbunmu kembali menghijau
di sepanjang bukit hingga lembah dan danau
Puisi Win Gemade (Aceh)
Erang Rimba Bur Lintang
kabut
menipis
masih
terasa basahnya dari sisa-sisa pohon yang menjulang
melindungi
hewan-hewan
dari cuaca
tak terbaca
kabut
menipis surut
enggan
hinggap di dada bukit yang sedang sakit
enggan
bergayut di ranting kering
aroma
berbagai warna
plastik
berbagai rupa
benda-benda
asing tanpa identitas
mengerubuti
dada bukit ini
menghisap
sari bumi
menetaskan
racun di aliran akar
di kakinya
hewan-hewan memagut rumput-rumput menguning
di kakinya
orang-orang desa menghisap air dari jari-jari terluka
di kakinya
pohon-pohon kopi tak kuasa berbunga
di kakinya
para petani menangisi panen yang ternoda
kabut
menipis surut
pamit pada
ranting kering
pada daun
menguning
pada
rumput-rumput mati akar
erang bukit
bur lintang
di tubuhnya
masih tersisa sperma dari kondom buatan eropa
remah
makanan dari kemasan made in china
perdu-perdu
enggan berbunga
pohon-pohon
mati warna
hewan-hewan
menjauhi rimba
erang rimba
bur lintang
mata air
yang tertimbun
perdu-perdu
yang layu
hewan-hewan
yang tak sempat membeli masker
kabut
menipis
menangis
pergi
embun
kehilangan daun
kabut
kehilangan pohon
air
kehilangan akar
rimba
kehilangan suara
Takengon 2014
Puisi Wyaz Ibn Sinentang (Ketapang, Kalbar)
Pertiwi dalam Bingkai Metropolitan
Tanah pusaka terjaga dari peraduan seabad
zaman mimiknya terperanjat, wajah peradaban berpoles dan bertiangkan
beton-beton megah. Di sana sini parfum kemunafikan usir lebatnya belantara yang
dulu molek, perawan hijau itu telah uzur digertak serta disuap sekelompok
begundal perusak lingkungan hidup
Cangkang-cangkang baja memonopoli sejuknya
hawa perkampungan yang tadinya asri, lugu dari glamornya duniawi. Hijau
dedaunan tak lagi pamerkan ramahnya berganti dengan lempengan metal panas
mendera napas celingukkan mencari-cari
oksigen yang tersisa ozon menangis kian menipis tercemar polusi asap-asap besi
berjalan
Sumber air kering kerontang tersedot nafsu
sawit-sawit serakah yang ingin menggeser kedudukan pohon-pohon belian, meranti,
kelapa, dan segala pakis-pakis menghijau. Kita semua dibutakan oleh lembaran
berharga belaka sementara tanah pusaka merintih terkuras segala isinya dijarah
tangan-tangan tak bermoral
Di hulu pabrik-pabrik bermunculan mengusir
hijaunya bukit-bukit, napas kita pun semakin sesak menghirup asap-asap beracun.
O – kehancuran tinggal di ambang mata tak pernah digubris setiap tirani
bertahta. Tanah pusaka kini menangis menagih janji sang penguasa kapan hijaunya
kembali ke pangkuan pewaris mendatang
Bumi Ale-Ale, 13 Juli 2016
Puisi Yanti S Sastroprayitno (Semarang, Jateng)
Hutan Impian
Langkah-langkah kecil gemerisik
meningkah dedaunan mblasah* di tanah basah
sejuknya embun mengalun di dedaunan rimbun
sinar mentari kesulitan mengintip di sela reranting
Kicau burung berdendang riang
bersautan suara aneka satwa bergema
sungguh harmoni alam tengah berkumandang
melantunkan syukur pada Sang pengatur
Langkah tersita terkesima
sejuknya hawa meresap ke dasar jiwa
ketentraman melingkup semesta
memeluk raga yang kian menua
lamat-lamat gemercik air
sungguh bagaikan sihir
laksana jiwa baru terlahir
Hai
di manakah aku berada
di bumiku atau di negeri antah di mana
pepohonan tinggi menjulang tak terkira
sulur-sulur bertautan merenda asa
bersinergi dengan alam semesta
Sebongkah batu terantuk ujung kaki
terjagalah aku dari mimpi
tak ada lagi hutan rimba riuh marga satwa
semua termakan napsu angkara
tinggalkan alam merana
tak ada lagi hutan hijauku
menyisakan asap yang menyesak dada setiap waktu
hamparan tanah gersang menangis pilu
merindu kedamaian hutanku
bilakah negri ini mampu menuju
Semarang,
20 Juli 2016
*mblasah: bertebaran di mana-mana ( Jawa)
Puisi Yoga Permana Wijaya (Cianjur, Jabar)
Elegi Embun yang Hilang di Tanah Gersang
Embun tengah mencium dedaunan hijau,
Mengaduk rindu makhluk melata yang kemarau.
Menetes jatuh di jantung pohon beringin,
Memantik segala ingin.
Menelusup ke akar-akar jati,
Memekarkan suasana hati.
Mahoni dan gandaria tersenyum ceria,
Seisi alam gembira.
Cahaya mentari menelusup malu-malu,
Disambut celah-celah kanopi penuh rayu.
Anggrek di pangkuan batang trembesi,
dengan manja ucapkan selamat pagi
Kepada burung berwarna-warni
Kepada tupai yang melambai
Kepada kancil yang terampil
Kepada ular yang pintar
Kepada monyet yang nakal
Bahkan kepada harimau yang liar
Kepada seluruh fauna.
Tetapi semua, tinggal cerita.
Sebab bertahun-tahun lalu,
Para manusia
Dengan mesin-mesin perkasa
Mencabik batang-batang menjulang
Merobek daun-daun rindang
Menguliti hewan-hewan malang
Lalu setelah semuanya porak-poranda
Kobaran api pun melumat tanpa sisa,
Meninggalkan sumpah serapah
Hutan yang meregang nyawa.
Kini, di bawah jasadnya
Telah bangun air dan tanah -- jiwanya yang marah
Serta di atas jasadnya,
Telah bangkit langit dan udara -- ruhnya yang murka
Mengumpati sebuah nama: "manusia"
Sukabumi,
29 Juni 2016
Puisi Yuditeha (Surakarta, Jateng)
Kota Pohon
rimba merayap
mimpi itu hadir
embun menghangat
menetes pada bumi
udara menghijau
menyadarkan napas
kenanganmu abadi
bumi yang mengandungmu
menetas dalam waktu semi
seiring terciptanya puisi
meski di kamar-kamar sempit
tapi berlangit-langit
daun membuka
gairah itu ada
satwa berkicau
menggaung pada jiwa
musik alam tertata
mengusir kekacauan
kata-katamu tereja
salam tersampaikan
tentang sebuah taman
kota lahir dan batin
sejalan terbacanya sajak
di ruang-ruang sukma
selamat tak terbatas
Puisi Zham Sastera (Pandeglang, Banten)
Wajah Hutan di Negeriku
Negeri ini, negeri yang amat kian hijau dalam hamparan hutan nan
memukau
Dari ujung sabang tampak memukau sampai merauke hijau memukau
Tampak indah jika dua bola mata lepas memandang akan hijaunya hutan
nan rindang
Di negeri ini, ya negeri yang kaya akan seribu satu hutan indahnya
melebihi berlian
Hutanku napas kehidupan nyata, jangan sampai terbinasakan
Tanpa hutan, kehampaan besar tumpah di negeri tak ada senyum tawa
hewan-hewan berlari
Inilah wajah hutanku hutan yang penuh dengan harapan besar dalam
abdiku
Hutanku, kan’ ku jaga kau di setiap langkah musnahkan mereka yang
mengancam serakah
Wajah hutan di negeriku berharap terus terjaga dalam tubuh tanah
airku
Meski sebagian di seberang pulau sana masih bersatu dalam buai
bencana
Ya, bencana yang di buat oleh tangan-tangan jahil manusia seperti
bukan manusia
Mereka bermain-main dengan api seolah tak tampak wajah bersalah
meratapi
Meraup hutan-hutan di tanah negeri dijadikan lahan-lahan gersang
rakus materi
Penuh dengan di buai hitam. ya, para penguasa negeri di madu kelam
Detik ini, mari jaga hutan negeri# agar terus semerbak nan berseri
Wajah hutan di negeriku# kembali, perlahan kan’ terus ku jaga dalam
abdiku
Bukan sekedar ucap dalam kata. ya, itu bisa saja di buai manis
dalam dusta
Kini perlahan mulai menjaga dengan menanam bibit nan baru agar
nyata terjaga
Kembali, hutanku napas kehidupan tanpa hutan, tak ada yang namanya
kehidupan
Di setiap jejak dalam langkah semoga niat baik berbuah berkah
Demi hutanku di negeriku kembali, ya hutan tanah airku
Adalah maha karya Tuhan, Rabb Yang Maha menciptakan.
Pandeglang,
29 Juni 2016
0 comments:
Post a Comment