Puisi Achmad Hidayat Alsair (Makassar, Sulsel)
Mendengar Arang Bercerita
kutanggalkan kulitku yang rapuh
menantang hujan dan deru mesin
kupasrahkan nyawaku pada benih
entah ke mana mereka berlarian
ke hulu atau ke hilir, sama saja
tubuhku kokoh akan runtuh
menjadi cerita di koran pagi
hujat dan cibiran jadi efek samping
mereka pura-pura lupa, akting murahan
cengkerama batangku dengan bara
ruhku gentayangan, abu dan asap
hantui jalanan dan perkotaan
arwah penasaran, minta tanggung jawab
akarku kehausan, kering meranggas
tak ada aliran air maka jadilah dahaga
berkepanjangan, musim hujan fana
berdoa pada Tuhan, sekedar mohon
dan buliran turun dari langit
tempias di gunung-gunung telanjang
benteng kokoh telah rapuh
dimakan gergaji besi, roda, dan beton
longsor dia, luruh sekaligus gusar
marah pada para manusia
malu pada sang Pencipta
menebalkan tanah lalu menerjang, deras
kawah berisi nafsu, kau gali sendiri
mengantarmu ke jalan pintas bencana
siapa yang kausalahkan? diriku?
lekas bakar tubuhku yang menghitam
tak sudi kudengar alibimu
Makassar,
24 Juni 2016
Puisi Ade Fadli (Samarinda, Kaltim)
Nak
Nak, tanah yang kaujejak itu dulunya hutan. Merah merekah mengering
tak lagi membantu kini. Tak perlu ada tanya. Kerakusan yang masif telah
memusnahkan keindahan lebih cepat dari waktunya. Belum sempat pengetahuan dan
teknologi yang tak pernah berpihak itu menghadirkan jawaban atas tanyamu itu.
Oksigen semakin mengerutkan wujudnya dalam aliran angin yang tak merimakan
hembusannya. Ozon sudah enggan melindungkan bumi dari gelombang matahari yang
selalu menjadi jingga, seperti namamu.
Nak, tulang ikan haruan dan biawan itu baru saja menjadi fosil.
Rawa dan gambut yang kerap mencuci racun yang dialirkan pada sungai-sungai
tercemar itu telah lama mengering. Kumpai berulang dibakar agar ada jalur untuk
menyetrum ikan-ikan yang bermain di antaranya. Kahoi, kadamba hingga rambai pun
harus bertumbangan satu per satu secara perlahan. Dekomposisi gambut tak
berlangsung lama. Methane pun
mengangkasa. Semakin menyelimuti bumi yang semakin menghangat.
Nak, lihatlah kolam-kolam biru hijau yang indah itu. Seolah lautan
telah berpindah ke daratan. Dulu banyak anak-anak seusiamu yang bermain di
tepinya. Beberapa mereka berenang dan bermain-main pada airnya. Mereka lupa,
itu adalah kubangan yang terbentuk setelah batubaranya digali untuk menerangi
kota. Satu per satu mereka meregang nyawa. Logam berat yang bercampur di
dalamnya menjadikan perenang tangguh tak lagi mampu menggerakkan tangan dan
kakinya. Kolam-kolam ini tak hanya satu. Ratusan kolam-kolam serupa semakin
mendekat pada ruang belajar dan bermainmu. Tak hanya pepohonan dan satwa yang
dikuburkannya. Generasimu pun tenggelam di dasarnya.
Nak, tengoklah batu akik itu. Hitam legam mengkilap. Itu bukan
batu. Ulin yang telah menjadi fosil telah menjadi sebuah perhiasan yang
menghias jari. Itu hanyalah bongkah ulin yang ditinggalkan karena para penebang
itu tak sanggup membawanya. Hamparan ulin di antara dipterocarpa yang menjulang ke langit dalam sekejap berganti pada
hamparan tanah memerah ini. Rumah, jembatan, hingga tisu toilet menyerap
selulosa dari hutan tropis dataran rendah. Pun minyak goreng, sabun hingga
kosmetik yang mempercantik para lelaki dan perempuan pendandan itu, menjadikan
satwa harus bermigrasi sebab hutannya telah berganti menjadi hamparan karpet
sawit.
Nak, gedung-gedung tinggi yang berupaya mengejar langit itu pun
berawal dari debu kapur gamping di hulu sungai ini. Bentang karst yang dulunya menjadi awal
peradaban kehidupan manusia, diruntuhkan agar kemudian kota semakin menjulang.
Batuan kapur menjadi semen. Lalu kemudian air tawar yang telah disaringnya,
yang dulu selalu mengaliri anak-anak sungai, untuk membasahkan sawah dan
ladang, menjadi mengering. Maka berlanjutlah pangan-pangan industrial yang
menebarkan herbisida, insektisida, hingga benih-benih yang dimodifikasi
genetiknya. Agar manusia tetap mampu mengenyangkan lambungnya.
Nak, ingatlah bila dulu pernah ada pesut yang bemain di aliran
Kedang Kepala hingga Mahakam. Bekantan yang berkerumun menyaksikan buaya-buaya
berpesta. Gajah yang sedang asyik mengemut umbut dan kambium. Enggang terbang
rendah, yang sedang membawa pesan
leluhur. Badak yang merendam di dalam sepan. Babi hutan yang selalu berpindah
dan berenang mencari pohon berbuah. Dan ratusan sekawanan satwa yang selalu
meramaikan hutan dan perkampungan.
Nak, inilah bumi yang telah kau dan generasimu pesan dan titipkan
pada kami dulu. Keindahan terbaik ini yang mampu kami berikan. Yakinlah, selalu
ada kebahagiaan di dalamnya. Tanpa oksigen, air bersih dan pangan yang
menyehatkan. Hanya dengan racun generasimu akan terus bertumbuh. Sebagaimana
benih-benih dulu ditebar dan berupaya untuk mencengkeramkan akarnya di sela
bebatuan agar mampu meraih air yang melepasdahagakan, hingga kemudian
memberikan karbohidrat, protein dan vitamin pada raga. Seperti satwa-satwa yang
dilahirkan dan ditetaskan dari generasi mereka yang masih bertahan dan mampu
menghindar dari perburuan yang melelahkan.
Nak, inilah bumi terbaik yang kami berikan pada generasimu.
Teknologi yang kabarnya mampu memberikan jawaban kehidupan lebih baik, tak akan
mampu menggantikan denyut kehidupan yang menyenangkan. Oksigen kaleng tak akan
mampu dibayarkan oleh setiap generasimu. Air kemasan tak akan mampu terbelikan
oleh setiap kawanmu. Pakaian dan rumah yang melindungi dari teriknya matahari
yang menyeruak diantara lapisan atmosfer itu, tak akan mampu dimiliki oleh
setiapmu.
Nak, bukalah kembali catatan sejarah peradaban. Bagaimana dulu
generasi awal peradaban membangun keyakinan dan kepercayaannya bahwa hutan
adalah ibu dari kehidupan. Hamparan kerangas dengan kantung semar dan
tetumbuhan tak tinggi itu selalu dirawat, tanpa pernah tahu lapisan batuan
mineral keras dibawahnya sudah pasti tak akan mampu ditembus akar pepohonan,
hingga tak boleh ditebang. Bunga-bunga keruing, bengkirai dan meranti yang
berterbangan pada musimnya, tertancap pada serasah yang basah, hingga kemudian
tumbuh menggantikan pepohonan yang menua. Hanya rotan, madu, buah, umbi dan
tetumbuhan obat yang dimanfaatkan mereka, agar tetap memiliki energi untuk
berjalan.
Nak, hutan itu rumah. Hutan itu ladang bermain. Hutan itu sekolah.
Hutan itu pusat perbelanjaan yang sangat berkelas. Hutan itu pabrik kehidupan.
Dan hutan itu telah dimusnahkan generasiku. Tak perlu memberi maaf pada kami,
karena kami telah gagal untuk menjaga amanah yang kalian berikan. Dan selalulah
hadirkan hutan dalam mimpimu. Mungkin satu waktu, peradaban manusia akan
kembali pada titik bermula.
::dongeng
sebelum tidur untuk jingga
:28
Juni 2016_11.11
Puisi Ade Samriati Waruwu (Batam)
Lukisan Nyata
Hutan, seperti lautan berwarna hijau di mataku
udaranya sejuk di antara
liuk-liuk ranting yang tampak indah di batang-batangnya
akarnya kokoh, menyerap mata air dari langit
kicauan burung, aliran sungai, dan gesekan-gesekan daun, rumput
semuanya adalah pesan damai kepada semesta
Puisi Adhitya Tri Hari Pamuji (Malang, Jatim)
Mereka yang Terlambat Pulang
Mereka yang terlambat
pulang
Menyeru tidur pada
sebuah bahu dermaga yang tua
Bersandar hampa pada
galangan kapal tinggi menjulang
Gagah, tak terbantah
kata rasa
Lalu langkah, satu per
satu serdadu
Menjejak pada sejumput
rumput labirin waktu
Adalah jiwa mereka,
meriuh-rendah dalam satu senandung langit merdu
Setia bersitahan pada
semburat tangisan senja yang merintih rinai
Terbangun pada genuruh
lirih air terjun
Menyerap setiap bait
kata yang tersembunyi dalam relung dan ceruk
Dalam relief alam pada
ujung cakrawala berayun
Menitipkan seikat
mimpi keemasan pada kaki horizon, jingga
Mereka raih sekuntum
mawar putih tanpa tangkai pada tungkai pelangi
Mengemasnya menjadi
hening
Mengangkat
setinggi-tinggi tumit Ilahi
Dan terasing
Dalam bening-bening semilir
ombak angin
Kucium samar, wangi
pinus sepucuk menghijau
Mereka yang terlambat
pulang
Merapal mantra
sepanjang jalan
Berharap menemu titik
terang pada jelaga hidup yang panjang
Menenggak sepikul
pahit kenang-menggenang
Pada telaga yang
terlanjur terinjak terjerembab pada punggung jenjang tanpa badan
Mereka yang terlambat
pulang
Merenda kasih
terpungut dari tapak jejak kala
Menyusun not-not
rintihan pertiwi jalang
Dan merangkapnya abadi
pada pena partitur tiang gema
Membukukannya dalam
kitab gelap jantung sesat sepasang angsa hitam
-Mereka yang terlambat
pulang
‘Tak tau lagi ‘lah
kemana kaki kan langkah
Ketika rumpun rumah
hijau hampa sirna
Kaki sungai suara
dalam nyanyian asmaraloka dedaun dan reranting alam
Kita terlambat
mempersiapkan upacara sakral, ‘tuk kasih sambut
Mereka yang terlambat
pulang.
Hingga tak lagi yakin
akan sebuah kabar isak tersiar
Akankah kau mengharu
di sana, sedang rimba tak lagi pada nyata
Ataukah, membisu dan
sendu, Demeter?
00:07, 31 Desember '15
A. T. H. Pamuji
Puisi Aditya Putra Pidada (Bali)
Burung Kecil
Aku adalah burung kecil
Tinggal bersama ayah dan ibuku
Di atas pohon, rumah kami yang mungil
Dengan cerita megah hangat di sana
Aku burung kecil mencoba terbang
Di antara rimbun dedaunan hutan
Hinggap di batang-batang, mematuk biji buah
Cabang tumbuh melambai, tanah gembur subur
Bersama rintik hujan tropis, dan aku mendekap teduh di sarang
Bermain kala siang
Dengan kabut hutan dengan sulur-sulur rimba
Sebelum mereka datang
Dengan mesin-mesin sembarang menebang
Mengusir anak kijang, orang utan, dan teman-temanku
Seiring rintih pohon tumbang
Aku burung kecil sedih pilu
Mengigil takut dalam peluk ayah ibu
Melihat hutan menghilang dan
Ketika rumahku
Menjadi pohon terakhir di hutan halamanku
10
Juli 2016.
Puisi Afriza Yuan Ardias (Semarang, Jateng)
Melihat Kumpulan Eksploitasi
Dirimu merupakan tempat singgah yang ingin kulupa pada
padanan kata sifat dan kata kerja
Dari tubuh yang menjadikan sawah bekerja dari tepi langit
yang dikunjungi matahari hingga korporasi mengunyah langit menyentuh kaki,
bulan berdenyut.
Sembilan orang menuju di persimpangan musim pada tempat
yang dirimu kunjungi, aku mendapati mata kaki hingga keringat mendadak
menggumpal menjadi eksplorasi dan eksploitasi.
Menjatuhkan hidup pada gelisah,
menghindarkan jatah hidup lain datang mengencam. Sedangkan kalian sepertinya
sibuk berbagi senyum di depan kamera televisi, berbagi partikel debu hasil
bisnis aman.
Sampai pada aku yang merasa tejebak
dalam gumpalan doa yang dibentuk oleh aktivitas industri. Seperti dalam antrian
berita tentang tanah mereka tak pernah dipasang dalam media. Di tanah mereka, tangis, keringat, dan mati tak
pernah digubris
menelanjangi dengan sisa mengiris. Di tanah mereka, jerit suara
dihadapi dengan melebur
nyinyir dan tak pernah dipedulikan, satire.
Kuperdengarkan melalui garis lingkaran
napas
menjadi kata dan beringsut pada langit ketika menjuntai sepi
Ketika dirimu mulai menjual senyum di
depan kamera. Kami, anak matahari hingga anak bumi memanggul tubuh-tubuhmu
dalam kertas putih bertanda tangan “Merdeka”.
Semarang, 15 April 2016
Mendekati (HANYA) peringatan
Bumi.
Puisi Ahmad Ahyani (Banten)
Hilang Hijau Tertelan Asap
Sejuk yang beranjang menyelisik hingga belulang
Tenang yang membuat khayal terbang melayang
Kicau yang terdengar mengundang dendang
Hijau yang membentang dalam pandang
Kini tak bisa kuraba
Kini tak bisa kuhirup
Kini tak bisa
kudengar
Kini tak bisa kupandangi
Menggenggam ranting dalam khayal
Menghirup udara tercekik asap
Menginjak bumi tak beralas
Menatap langit tak terhalang daun
Sejuk telah
tergantikan panas
Tenang telah
tergantikan gusar
Kicau telah
tergantikan deru api
Hijau telah
tergantikan merah membara
Panas
Gusar
Berselimutkan
deru api
Yang
merah membara
Puisi Ahmad Alfisyah (Pekalongan, Jateng)
Lima Belas Tahun Lagi!
Tiada Bunda di muka bumi
Sekaya Bunda Pertiwi
Hutan tumbuh properti besar
Kebun rimbun gedung
Sawah panen rumah-rumah
Tiada Bunda di muka bumi
Sekaya Bunda Pertiwi
Gelisah lagi gelisah cemasku kan Bundaku
Kan kakak-kakak jua adikku
Menderu seru jeritku kian tak karuan
Detik-detik kini kala
Pohonan tiada lagi tinggi mendulang cakrawala
Kulayang pandang mendangak menganga setengah gila
Tidak!, bukan ku lagi melamun
Tragis!, mereka dibabat ludes ditebas kejap dalam kedipku
Kasihan!, kini rumahan, hotelan, belanjaan, manjaan malah
merajalela kokoh menyata
Bunda?
Dimana rumah Putra-putrimu wahai Bundaku, Pertiwi?
“Lima belas tahun lagi!”
Puisi Ainun Jariah (Tanah Bumbu, Kalsel)
Tangis
Jeritan Hutan
Bentangan darat
Hijau merata, semuanya tampak serupa
Tapi ada corak-corak yang menjamah
Ada yang berkemeja putih abu dan bawahan merah
menyala
Ada yang lainnya lagi
Mereka menyulap hijau menjadi hitam
Meluluhlantakkan kehidupan penghuni rimba
Ini bukan lagi surga seperti kata orang-orang
dulu
Paru-paru bumi ini sedang sakit
Sedang menangis, menjerit sejadinya
Maka dengarkanlah tangis dan jeritan hutan
Jaga bersama paru-paru kehidupan kita
Untuk hari esok, bagi anak cucu tercinta
Pulau Salak, Tanah
Bumbu, 24062016
Puisi Akhmad Zailani (Samarinda, Kaltim)
Aku Ingin Mengajak Kau ke Hutan
I
Aku ingin mengajak kau ke hutan. Berkelana menulis puisi yang
indah. Puisi tentang hutan. Mumpung belum punah. Sekalipun keindahannya hanya
sedikit. Tentang pohon-pohon yang kita
lihat di sepanjang langkah. Jangan takut ada harimau, ular, beruang atau
binatang buas lainnya. Ada aku. Aku bisa menjadi lebih dari harimau untuk
membunuh harimau atau aku bisa lebih menjadi ular dan beruang untuk membantai
ular dan beruang. Untuk mengusir rasa takut kau. Tapi tentu saja, binatang
binatang itu sudah tak ada lagi. Orang
orang telah memelihara di dalam diri. Ya, aku berharap di dalam hati. Bila aku dan kau beruntung; kita akan mendapati kupu-kupu yang terbang ,
mungkin akan ada bunga anggrek hutan, yang tumbuh liar di antara pohon-pohon
besar, yang aku pun tak tahu
namanya, lalu kau berteriak girang ; “
oh indahnya”.
II
Seorang kenalan menawarkan kelezatan hutannya. Mungkin dia bercanda. Mungkin masih hutan.
Tapi aku kurang terpikat, dan berpikir;
hutan dia, hutan ku dan hutan kau, tidak berbeda jauh. Sudah
dijamah. Aku dan kau memang bisa saja
mencari hutan di daerah lain, berkelana untuk menulis puisi. Mencari kupu kupu
dan inspirasi pun muncul berterbangan ke luar lewat telinga, mata dan
mulut. Tapi cukup lah sementara hutan
yang ada di pikiranku saja. Atau hutan di kepala kau saja, yang belum
dijamah. Tapi tidak menutup kemungkinan,
bisa saja kita diam diam sambil mengendap-ngendap menengok hutan kenalan itu,
lalu merasakan aromanya. Seperti menghirup secangkir kopi nikmat di hari dingin
dan kita rasakan perbedaannya ; “oh
lezatnya”
III
Hutan perlu buru-buru diubah menjadi puisi, karena mimpi-mimpi dari
tidur aku dan kau tentang hutan telah habis dimakan babi-babi, yang berdatangan
dari jauh. Hutan perlu segera diberi sayap, agar segera terbang bersama kupu-kupu,
dan tidak merasa kesepian. Karena kupu-kupu bukan sepenuhnya asesoris
hutan. Bila suatu ketika aku dan kau
beruntung, akan ketemu kupu-kupu yang terbang bersama hutan-hutan secara
terpisah. Bila hutan sudah beterbangan,
babi-babi hanya bisa memakan kotoran sendiri secara berulang-ulang, tiada
habis. Hutan-hutan berterbangan, bersama
kupu-kupu, lalu ada bunga anggrek yang menuliskan harapan di
pohon-pohon besar, dan kau pun terkagum kagum melihatnya;” oh mari buru-buru
kita lukis kenangan”
IV.
Tapi terlambat. Aku dan kau gagal membungkam waktu. Babi-babi tak
bisa ditahan, terus berdatangan seperti hantu.
Mungkin berkendaraan angin. Tidak tampak, namun terus mencukur hutan
hingga botak. Kau pun menangis sejadi jadinya. Hutan-hutan beberapa di
antaranya tak sempat diterbangkan. Hutan-hutan yang tak sempat diberi sayap,
lenyap dimakan babi-babi hingga tak bersisa.
Bukan sekedar mati. Bahkan hingga ke dalam jantung hati. Tersisa galian
lubang-lubang besar seperti mulut
raksasa. Air mata kau menetes, tertampung
di dalam lubang yang telah memakan anak-anak pewaris mimpi-mimpi aku dan
kau. Lalu dari lubang lubang berlarian
babi-babi. Kau pun makin menangis sejadi-jadinya. “ Oh …”
Puisi Al-Fian Dippahatang (Makassar, Sulsel)
Kajang
1. Borong Luara’
Segala yang kami kerjakan.
Tak lepas dari hutan.
Di sinilah kami mengelolanya.
Sesama tak boleh saling
membelakangi perihal nilai.
Sejak kecil, tinggal di hutan
adalah tegak bagai pohon.
2. Borong Batasayya
Aku menunduk, Amma.
Tak berani kutatap wajahmu,
sekalipun suasana dikuasai gelap.
Hutan yang memanggil hujan, katamu.
Sudah berkali-kali kudengar
di bibir ayah dan ibu.
Malam ini, aku berjanji untuk menjadi
manusia yang lebih mendengar lagi.
Aku menaruh hormat padamu
bukan karena engkau mengapit
sesuatu di sarungmu. Tidak Amma,
—lantaran aku tahu, Orang-Orang Dalam
menjaga hitam dituntun olehmu.
Di sini, engkau biarkan kami
menebang pohon jati.
Asal tahu, kapan waktunya
dan menanam bibit yang baru
buat cucu-cucu yang dirindukan
bergabung dengan kami.
3. Borong Karamaka
Hanya satu, yang lain adalah larangan.
Amma yang tahu dan kami mengikut.
Kami tak ingin membantah.
Membantu keperluan ritual
menghadap Yang Tunggal.
Tubuh kami utuh disusui
pesan untuk melindungi.
Makassar, 2016
Catatan:
1.
Borong Luara’ (Hutan Rakyat) merupakan hutan
yang bisa dikelola oleh masyarakat suku Kajang (Orang-Orang Dalam). Kajang
terletak di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
2.
Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan
hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan masih ada dan
seizin Amma (Ammatoa) selaku ketua adat di suku Kajang.
3.
Borong Karamaka (Hutan Keramat) merupakan
hutan yang terlarang untuk semua kegiatan kecuali kegiatan ritual. Dan hitam
warna pakaian adat Kajang yang selalu digunakan tiap hari dan menunaikan
kegiatan tersebut.
Puisi Ali Syamsudin Arsi (Banjarbaru, Kalsel)
Hutan Kaca
hutan daun yang kami tawarkan bukan untuk disia-siakan
kita semakin berpijak pada jarak yang sulit, sama-sama sulit,
tetapi kami yang lebih sulit
ini hutan, hutan nenek moyang kami
kami yang merawatnya, tapi mengapa bukan kami yang memetiknya
hutan itu telah menjelma keping-keping kaca
udara yang berputar di sekitarnya, bukan udara dari celah daun-daun
matahari bertambah dekat saja, semakin ke ubun-ubun
sungai jauh membentang tetapi resapnya sudah bukan kemurnian rasa
cinta
keping-keping kaca itu sangat meluka
sama dengan duri yang sedang menusuk cahaya
hutan kaca, bukan yang diharapkan oleh nenek moyang kami semula
pantulnya mengiris pedih bersayat seluka-luka, berluka-luka,
diluka-luka
/banjarbaru,
desember 2012
Puisi Almuna (Banjarmasin, Kalsel)
Pohon Kehidupan
Emosiku tak terbendung
Melihat tanah gersang disengat cahaya
Pohon-pohon tinggal akarnya saja
hatiku tercabik, menjerit!
Damai seperti tiada
Mungkin lebih tepat hanyalah mimpi, mimpiku:
“aku bernapas damai dengan kesegaran alami”
Dan hanya satu yang bisa kutanam dalam tubuhku,
Aku
akan tetap berusaha menanam pohon kehidupanku
Banjarmasin, 20 juli 2016
0 comments:
Post a Comment