Banjarbaru tahun 1964
sudah pasti berbeda dengan Banjarbaru tahun 2012. Ketika itu, Jalan Panglima
Batur masih sangat sepi. Lahan di tepi kiri dan kanannya masih banyak yang
kosong. Seingatku, bangunan gedung yang sudah berdiri ketika itu, hanyalah Kantor Gubernur (sekarang Kantor Walikota
Banjarbaru), Kantor Agraria, Kantor Pos, dan gedung SGPD (sekarang Kantor Balai
Diklat Pemprov Kalsel).
Keluargaku tinggal di
salah satu kamar besar yang ada di gedung SGPD. Gedung SGPD direncanakan
sebagai asrama bagi para mahasiswa APDN Meskipun sudah lama rampung, namun
gedung SGPD tak kunjung difungsikan juga. Sementara belum difungsikan itulah
maka sejumlah warga kota Banjarbaru menjadikannya sebagai tempat pemukiman
gratis.
Bangunan gedung SGPD
terdiri dari 6 kamar. Ukuran kamarnya sangat luas, karena memang dimaksudkan
sebagai asrama, bukan sebagai kamar tidur biasa. Sesuai dengan jumlah kamarnya,
gedung SGPD ketika itu dihuni oleh 6 kepala keluarga. Setiap kamar dihuni oleh
satu keluarga yang berjumlah antara 4-6 jiwa.
Orang yang paling
berkompeten di komplek pemukiman gratis ini adalah ayahku.Beliau ketika itu
bekerja sebagai buruh bangunan merangkap sebagai tenaga honor daerah dengan
tugas utama menjaga keamanan bangunan gedung. Dalam hal ini untuk jasanya itu
beliau juga menerima gaji bulanan dengan jumlah tertentu dari pejabat
pemerintah daerah yang menugaskannya.
Aku masih ingat, fasiltas
umum dan fasilitas sosial yang tersedia di sekitar bangunan gedung tempat
tinggal kami ini sangat minim. Listrik belum dipasang, leideng apa lagi, dan
tidak ada sumur galian. Setiap pagi ibuku pergi menimba air ke sumur tetangga
yang tinggal di Jalan Kenanga Banjarbaru (tempat tinggal para pegawai Kanwil
Deppen Kalsel). Tidak ada masalah karena ibuku memang bersahabat baik dengan
ibu-ibu pemilik sumur itu. Bahkan persahabatan itu masih tetap berlanjut hingga
sekarang ini. Hampir setiap bulan mereka saling bertemu di Kantor Pos Giro
Banjarbaru untuk mengambil uang pensiun janda mereka masing-masing.
Setiap sore selepas
bermain layang-layang, aku dan kawan-kawan sesama anak-anak (usiaku ketika itu
baru enam tahun) pergi ke sungai Durian untuk mandi bersama. Tempat kami mandi
bersama ketika itu tak jauh dari jembatan Panglima Batur sekarang ini. Airnya
sangat jernih dan bersih, di kanan kiri sungai itu masih ditumbuhi oleh
semak-semak belukar. Bangunan gedung Sekolah Dasar Pembina (Banjarbaru IV)
belum ada, apa lagi kincir angin Comet Raya. Suasana di sekitarnya masih asri,
khas alam perkotaan yang baru saja dibangun.
Masih mengenai sungai
tempat kami mandi bersama, sungai ini juga banyak sekali ikannya. Siang hari
aku sering diajak kakakku pergi memancing ikan puyau, lele, dan haruan (gabus)
di sungai ini. Hasilnya cukup lumayan. Tidak jarang kami saling bertukar ikan
dengan pemancing lain yang berasal dari Desa Sumber Rejo. Kawan-kawan dari Desa
Sumber Rejo pada umumnya orang Jawa, mereka tidak doyan makan iwak haruan. Sebaliknya
kami, orang Banjar tidak doyan makan ikan lele.
Dulu bangunan Gedung SGPD
tidak menghadap ke arah Jalan Panglima Batur seperti bangunan Balai Pendidikan
dan Latihan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sekarang ini, tapi
membelakanginya. Pintu kamar rumah kami menghadap ke arah semak belukar yang
banyak ditumbuhi pohon karamunting.
Buah karamunting berwarna merah
kehitam-hitaman, rasa dagingnya manis, enak dimakan, bijinya kecil-kecil dan
keras. Di hutan karamunting ini ayahku memasang jipah atau jerat burung karuang dengan umpan sepotong buah
pepaya, hampir setiap hari aku makan nasi dengan lauk-pauk burung karuang goreng. Sungguh, suatu
pengalaman manis masa kanak-kanak yang tak mungkin dapat diulang lagi, karena
buah karamunting dan burung karuang sudah sulit diperoleh (mungkin
juga sudah punah).
Selain sebagai tempat
memetik buah karamunting dan menjerat
burung karuang, semak belukar
dimaksud juga kami jadikan sebagai tempat buang
hajat (ee) karena fasilitas WC memang belum ada di tempat pemukiman kami itu. Tapi, yang lebih
menakutkan kami, semak belukar dimaksud sering dijadikan sebagai tempat
persembunyian maling ayam dan maling jemuran. Aku sendiri sering ditakut-takuti
tetangga bahwa di dalam semak belukar itu banyak tinggal kuyang dan hantu beranak. Tapi, aku sendiri tidak begitu takut
dengan maling ayam, maling jemuran, kuyang
dan hantu beranak.
Sosok yang paling kutakuti
ketika itu adalah ngayau, yakni para
pencari kepala anak-anak yang diisyukan sedang berkeliaran di pinggiran kota
Banjarbaru. Para pengayau itu konon sedang mencari beberapa biji kepala
anak-anak untuk keperluan dijadikan sebagai tumbal pamalas (palas, bahasa Banjar artinya : tumbal darah) jembatan baru yang banyak dibangun di
kota kami.Aku masih ingat, suatu ketika aku lari tunggang-langgang (bahasa
Banjar, kada ingat burit kapala),
karena rasa takut yang amat sangat. Ketika itu aku sedang bermain layang-layang
di Jalan Panglima Batur, tiba-tiba kulihat tak jauh dari tempatku berdiri ada
seorang lelaki setengah baya sedang memanggul karung dan di tangannya memegang
sebilah arit. “Tidak salah lagi orang ini pastilah ngayau!”, ujarku ketika itu. Usut
punya usut ternyata orang itu cuma orang Madura pencari rumput belaka.
Tahun 1964, tak jauh dari
tempat tinggalku ada komplek pemukiman para insinyur Rusia yang bekerja di
pertambangan besi baja. Kami menyebutnya Kompleks Mess L. Pemukiman mereka
terletak di Jalan Garuda sekarang ini (jalan raya di belakang Komplek Museum
Banjarbaru). Aku dan kawan-kawan sebaya yang tinggal Gedung SGPD sering
berlarian ke komplek pemukiman insinyur Rusia setiap kali terdengar bunyi
helikopter mendarat di helipad (tanah lapang yang sekarang ini termasuk dalam
komplek Museum Banjarbaru). Kami ingin melihat dari dekat bagaimana helikopter
itu mendarat atau tinggal landas.
Secara batiniah, komplek
pemukiman insinyur Rusia di kawasan Banjarbaru IV, termasuk tempat yang relatif
dekat dengan anak-anak sebayaku yang tinggal di sekitarnya (Banjarbaru III).
Selain menjadi tempat untuk melihat helikopter, kawasan itu juga populer sebagai
tempat menonton filem gratis. Setiap malam minggu ada pemutaran filem di
kawasan ini, filem yang diputar adalah filem-filem propaganda Rusia dicampur
dengan filem penerangan produksi dalam negeri. Pada tahun 1964, filem merupakan
sarana hiburan yang relatif mewah. Ketika itu, tidak banyak warga kota
Banjarbaru yang mampu secara ekonomi membeli tiket nonton filem sebulan sekali
di Sederhana Teater milik DAWN van der Viel.
Pengalaman lain yang juga
sangat berkesan, aku pernah menemukan sebutir intan dengan ukuran cukup besar
di salah satu lubang kecil di Jalan Panglima Batur. Ketika itu, aku dan ibuku
tengah dalam perjalanan menuju ke pasar Banjarbaru. Di tengah jalan, seberkas
cahaya putih menyorot tajam ke arah mataku. Ternyata cahaya itu berasal dari sebutir
batu yang bentuknya seperti pecahan kaca biasa. Batu itu kuambil lalu
kuserahkan kepada ibu.
“Hei, ini bukan batuku
biasa. Tapi, Galuh. Syukur
Alhamdulillah,” pekik ibuku ketika itu.
Aku sendiri cuma bengong
melihat reaksi ibu seperti itu. Batu itu segera beliau bungkus dengan kertas
bekas bungkus rokok yang ditemukannya tak jauh dari tempat kami berdiri. Kami
tidak langsung pergi ke pasar, tetapi singgah dulu ke tempat ayahku bekerja.
Ayahku ketika itu bekerja sebagai buruh bangunan di gedung yang di kemudian
hari dijadikan sebagai kantor Telkom. Dugaan ibuku ternyata benar, batu putih
berbentuk pecahan kaca itu ternyata bukan batu biasa, tapi galuh atau intan yang berharga mahal. Hasil penjualan intan itu
kemudian ayah belikan sebidang tanah di desa Guntung Lua.
Gedung SGPD harus segera
kami tinggalkan, karena Pemprov Kalsel akan segera memungsikannya sebagai
asrama bagi para mahasiswa APDN. Kami segera pindah ke rumah kami yang dibangun
secara tergesa-gesa di Desa Guntung Lua. Rumah itu dibangun ayah dengan
memanfaatkan bahan bangunan bekas bongkaran rumah yang beliau beli dengan harga
borongan. Ketika kami pindah, ada sebatang pohon pisang manurun yang karena
buahnya masih muda sengaja tidak kami tebang. Kurang lebih sebulan kemudian
terjadi krisis pangan di keluargaku. Ketika itu kakakku teringat dengan pohon
pisang manurun milik kami yang tumbuh
di halaman asrama SGPD.
Dia lalu mengajakku untuk
menebangnya. Pagi-pagi sekali kami berangkat ke sana, ternyata asrama SGPD sudah ditempati banyak orang
(mungkin mahasiswa APDN angkatan pertama, maaf jika aku salah mengingatnya).
Apa yang terjadi ?
Beberapa orang penghuni
asrama SGPD mencegah kakakku menebang pohon pisang itu. Salah seorang di
antaranya bahkan sempat berlaku kasar pada kakakku. Kerah baju kakakku
dipegangnya seperti seorang anggota polisi menangkap maling jemuran yang baru
saja tertangkap basah warga di tempat kejadian perkara.
“Hei, maling. Jangan
ditebang!”
“Kami bukan maling. Ini
pisang kami. Ayah kami yang menanamnya ketika kami tinggal di sini!,” ujar
kakak saya membela diri.
“Jangan! Sekali jangan
tetap jangan!,” hardik orang itu lagi.
Ringkas cerita hari itu
kami gagal menebang pisang manurun itu.
Padahal, kami sudah
merencanakannya sebagai pengganjal perut yang keroncongan karena belum diisi
sejak kemarin. Ketika itu aku cuma menangis dan mengutuk mahasiswa APDN itu
sebagai orang yang merampas buah pisang manurun
milik kami. Terus terang, pengalaman buruk ini sangat membekas di hatiku. Tapi
aku sama sekali tidak menaruh dendam terhadapnya (boleh jadi mahasiswa APDN
dimaksud sekarang ini sudah menjadi birokrat berpangkat tinggi).
Belakangan, seiring dengan
berjalannya waktu, aku berkeyakinan bahwa peristiwa itu terjadi karena kakakku
tidak dapat menjelaskan dengan baik bagaimana keadaan kami ketika itu.
Seandainya mahasiswa APDN dimaksud mengetahui latar belakang krisis pangan yang
kami hadapi, maka yang bersangkutan sudah pasti tidak akan menghalang-halangi
kami untuk menebang pisang manurun
itu. Bahkan mungkin dia akan mengajak kawan-kawannya seasrama untuk urunan memberi kami uang untuk sekadar
membeli seliter beras.
Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.
0 comments:
Post a Comment