BLANDONG


Sepanjang utara agak jauh sungai Bengawan tandus tanahnya. Tanah pucat, putih, tandus dan kering. Adalah  daerah yang tak teraliri sungai Bengawan adalah daerah kapur dan tandus. Deretan pegunungan  kapur yang memanjang. Dikelilingi hutan jati. Tak ada sawah. Paling hanya sepetak dua petak tegalan yang tak subur, ditanami penduduknya dengan singkong dan ubi jalar, sesekali juga jagung. Kebiasaan mereka hanya mencari kayu kering di hutan dan beberapa daun jati untuk di jual. Buat makan itu saja. Juga menangkap ikan di waduk. Kemiskinan ini betul betul membuat mereka tidak punya waktu untuk ke sekolah atau belajar di sekolah.

Sarman, tak berani mengajukan protes pada Emaknya karena beberapa bulan ini menunggak pembayaran SPP. Ia hanya diam mencari akal wajahnya yang legam dan bajunya kotor sehabis membongkar arang buatan kemarin. Lalu bersama emaknya memindahkan arang itu ke tempat wadah kresek. Sekarung kresek paling cuma dihargai  5000,- saja. Itu sangat tak cukup buat bayar SOP-nya yang nunggak berbulan-bulan belum terbayarkan. Sarman baru kelas II MTs. Karena sering ikut kerja ”mblandong” Bapaknya ia sering juga bolos sekolah. Surat dari Wali Kelasnya masih ada di dalam tas sekolahnya. Tak ia sodorkan pada Emaknya.

         ”Man, besok kau ikut ngantar arang ini ke Pasar, besok ‘kan Pahing, pasaran yo!” jelas Emaknya

Sarman hanya mengangguk keluarganya butuh makan dan hidup. Terpaksa ia meninggalkan bangku sekolah lagi hari itu. Ia mengangkat beberapa kresek arang buatannya dan  Emaknya.

Emaknya menerawang jauh Siti, Imah, dan Sarto adik-adik Sarman butuh makan dan sekolah. Emak pernah juga menyarankan suaminya untuk mencari pekerjaan lain daripada mencuri kayu di hutan. Bahaya. Emak tidak mau membayangkan kematian. Cukup tetangganya yang lain saja yang mengalami kejadian mengerikan itu. Emak berkali-kali sudah menyarankan suaminya untuk menjadi tukang kayu saja, tetapi mungkin hasilnya tidak mencukupi. Pekerjaan mencuri kayu di hutan dijalankan karena terpaksa.

            ”Pak, jangan ngalas lagi ya Pak, aku takut kalau terjadi apa-apa. Mbok jadi tukang kayu aja to Pak!” begitu seloroh Sulipah pada Saiman

Pernah beberapa tahun lalu memang ketika mencuri kayu, konangan petugas Saiman ditangkap. Dan harus ditebus dengan uang tebusan 1 juta rupiah. Baru Saiman dibebaskan. Waktu itu Emak Ipah, gali lubang tutup lubang, utang sana sini pada tetangga dan kerabatnya serta jualan kambing untuk menutup uang tebusannya itu. Rasanya sudah kapok Emak dengan kejadian itu. Kejadian itu sudah membuat trauma Mak Ipah. Ia tak ingin kejadian itu terulang lagi pada suaminya. Tetapi begitu penyesalannya diungkapkan Saiman hanya cengar-cengir saja.

            ”Sudah, itu urusan laki-laki, kau enggak usah ngurusi. Aku akan hati-hati,  Make !”kata Saiman

Arang, menjadi tempat bertumpu makan mereka, jika tak ada pekerjaan Blandong. Keahlian turun temurun yang diwariskan Bapak–bapak mereka di sekitar alas jati itu. Membuat arang juga sudah diwariskan oleh nenek-kakek mereka pada anak-anak, termasuk Sarman. Ia tahu betul kayu apa yang bagus untuk membuat arang yang baik. Tanpa di suruh Emaknya ia membawa peralatannya ke pinggiran hutan mencari kayu-kayu kecil buat arang.

Pernah juga suatu ketika Sarman ditegur petugas ketika mengambili kayu buat arang di hutan.

            ”Betul Pak, saya enggak nyuri kayu!”

            ”Kecil-kecil sudah belajar nyolong, sekolah sana yang bener!”

          ”Betul Pak, sumpah saya enggak nyolong kayu itu Cuma ranting-ranting kecil buat arang Pak!”

            ”Betul kamu dak nyolong!”

Sarman kemudian berlalu dibiarkan berlalu dan dibiarkan petugas. Sarman tahu betul kayu untuk membuat arang yang baik. Seperti kayu Mahoni, kayu Lamtoro, Kayu Nangka, dan lainya. Blandong juga keahlian turun temurun yang diwarisi para lelaki di desa itu. Mblandong mencari kayu dan menebang kayu, menjadi keahlian para lelaki di pinggiran alas Jati itu.

       ”Mak, Sarman keluar saja dari Madrasah yo Mak!”kata Sarman ketika Emaknya menyiapkan makanan tiwul dan sambel terasi di dapur.

            ”Kenapa Le?””Karena kau belum bayar SPP, nunggak berbulan-bulan kau malu?” jawab Emaknya.

            ”Iya Mak, sebentar lagi ‘kan semesteran Mak, setiap hari Sarman terus dipanggil Wali Kelas!” jelas Sarman.

            ”Iya sabar to Le, Mak ‘kan baru saja mbayari juga sekolahnya Siti masuk MTs itu uang banyak lho Le!”

            ”Saya juga ngerti Mak, daripada Sarman bolos terus, sehari masuk sehari enggak ya mendingan keluar saja!” bantah Sarman.

Emaknya yang polos dan lugu itu terhenyak disadarinya selama ini sering menyuruh anak laki-lakinya itu untuk membantu pekerjaanya. Membantu pekerjaan Bapaknya juga. Wajahnya yang keriput dan hitam legam terbakar matahari siang yang terik karena ”ngalas” terlihat jelas tergambar di Emak Sulipah. Malam itu suasana malam lengang. Penduduk alas Jati jadi gempar beberapa malam yang lalu. Mencekam. Seperti suasana malam ini hanya suara jangkrik yang mengusik malam di gubuk reot Mak Ipah. Maklum suaminya, Bapaknya Sarman belum juga kembali dari Blandong. Ia ikut juragan Kartolo mengantar kayu dagangannya ke luar kota subuh tadi. Beberapa orang ada yang ketangkep karena kata mereka kayu mereka kayu ”ilegal” yang tanpa diperlengkapi surat resmi. Rasanya Saiman dan warga sekitar membenarkan begitu saja,begitu mereka dapat ”pekerjaan” dan dapat uang. Juragan Kartolo menjadi tumpuan mencari uang yang lebih ”gedhe” dari sekedar membuat arang dan dan menjual kayu bakar atau daun jati.       

            ”Bapak belum pulang ya Mak!”

            ”Belum Le, Emak takut jangan-jangan Bapakmu ketangkep lagi!”

        ”Kita berdoa saja ya Mak, mudah-mudahan Bapak selamat sampai di rumah!” kata Sarman

Beberapa tahun silam, karena pekerjaan suaminya itu berbahaya, pernah Saiman ketangkep. Di sel. Dan di penjara beberapa hari. Uang tebusannya jutaan rupiah. Itu pun berkat jasa Juragan Kartolo dan bekingnya, sehingga Bapaknya Sarman bisa keluar, dengan jaminan.

Udara menggigil dingin. Di luar suara deru pohon jati kencang diterpa angin malam itu. Udara gerah tak ada satu bintang di langit. Sepertinya mau turun hujan. Kilat berkelebatan. Kemudian turun titik-titik gerimis.

            ”Pake!” kelebat lelaki kekar masuk itulah Saiman suaminya Sulipah.

            ”Aku bisa lolos Mak,Paijo ketangkep, Karno tertembak kakinya!” papar Siman.

            ”Gusti Allah nyuwun ngapura, apa ada operasi di jalan Pak!”

            ” Ya besar-besaran, dan gabungan!” jelas Siman

            ”Aku dak bawa duit Emak!”

            ”Sudah lah Pak, yang penting Bapak selamat!”

Deru sirine meraung-raung di sepanjang jalan menuju desa di tepi hutan itu. Mobil Patroli Polhut memang sering lalu lalang melintasi desa ini. Operasi besar-besaran digelar. Tidak main-main. Begitu gertak mereka terhadap warga. Yang nekat mencuri kayu di alas. Tembak. Tetapi tak juga ada yang kapok-kapoknya. Dengan kucing-kucingan petugas, mereka terus menebang kayu di hutan.

Pada beberapa waktu kemudian. Malam hening di desa Ngargotirto di pinggir alas Jati itu gempar lagi. Warga desa berhamburan ke luar rumah. Titir dan kentong bertalu-talu. Bayi-bayi dan anak mereka menangis. Sebagian kaum perempuan menangis. Emak Ipah ikut menghambur keluar rumah. Bersama para warga desa lainnya. Deru sirine dan tembakan terus bersahutan. Warga mengamuk dan memprotes petugas yang berjaga di Wanabaya. Pos Polisi Jagawana itu sudah jadi arang abang kebranang, api melumat. Desa Ngargotirto geger. Orang orang menjerit histeris, menangis termasuk Mak Ipah dan anak-anaknya. Kaum laki-laki para Bapak bersenjata lengkap golok, arit, parang,pethel serta palu, mereka mengacung-ngacungkan serentak seperti barisan semut menuju sarang. Menyerang petugas. Melawan.  Pos Polisi dibakar. Mereka mengamuk karena dua orang  warganya tergeletak tewas terkena tembakan,ketika di hutan sedang mencuri kayu. Mayatnya terbujur kaku dikerumuni kerabat, tetangga dan warga lainnya  di halaman pos itu 

Salah satunya Saiman suami Sulipah. Tertembak di hutan ketika Saiman tengah mencuri kayu jati di hutan. Terjadi kejaran petugas Saiman tak mau menyerahkan diri bersama barang bukti. Saiman justru menambah kecepatan larinya di sela-sela reranting daun dan semak di hutan. Malam merintik, tanah basah dan jalanan licin. Kejadiannya begitu cepat dan keadaan gelap. Kejar-kejaran petugas, tembakan peringatan diulangi lagi. Saiman tak menggubris. Justru lari secepat kilat.

Doooooor !!!! Saiman tertembak. Saiman terhuyung jatuh di tanah basah. Tak berdaya peluru bersarang di jantungnya. Darah mengalir. Jasadnya di bawa ke markas Pos Jagawana.  Warga tak berdaya menghadapi jumlah petugas gabungan. Beberapa warga lainnya luka-luka. Darah segar mengalir, bersama hujan malam itu. Tanah memerah.

            ”Pake. . . . pakee. . . . . Pak. . . . !” tangis Siti dan Sarman bercampur tangis warga desa lainnya yang menangisi kematian Bapaknya.

            ”Pak, kenapa kau nekat!” ucap Emak menyesali diri.

Malam itu bagaikan pemburu menembak dua ekor tikus di hutan. Tubuh mereka membujur kaku. Matanya terpejam. Tanah kapur yang membentang, putih pucat. Sepucat wajah Saiman. Dan darah merah terus saja tumpah di tanah pucat berkapur itu. Membawa jasad kembali ke tanah.

Selanjutnya? Klik Daftar Isi atau Bagian Selanjutnya, yakni Menerjang Ombak, Menempuh Badai.

0 comments: